Selasa, 02 April 2024

JADI IMAM ITU HARUS BIJAK

#FAWAID_RAMADHAN

JADI IMAM ITU HARUS BIJAK

Sesuatu yang sudah menjadi adah atau kebiasaan dalam sebuah masyarakat sepatutnya untuk dihargai, selama tidak menyelisihi aturan syariat. Ini berlaku dalam segala hal, begitu juga dalam masalah perimaman.

Karena di musim bulan Ramadhan seperti ini, banyak yang mendadak diangkat menjadi imam di tempat tertentu. 

Nah, ketika ditunjuk menjadi imam, maka perlu untuk mengetahui kondisi tempatnya, tentang bagaimana tata cara mereka shalat, berapa durasi bacaan rata-rata. Ketika punya pengetahuan seperti ini, maka akan meminimalisir kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.

Contohnya, dalam pelaksanaan shalat witir. Memang, bisa dilakukan secara fashl (dipisah jadi 2+1) bisa juga washl (langsung 3 rakaat). Ketika di sebuah tempat terbiasa fashl, maka otomatis setiap yang menjadi imam disitu akan disangka melakukan secara fashl.

Masalah terjadi ketika si imam ternyata melakukannya secara washl, masyarakat yang menjadi makmunya otomatis akan mengalami kebingungan. 

Ada mungkin yang bertasbih, karena berkeyakinan imamnya ketambahan satu rakaat. Ada mungkin yang tetep melanjutkan tasyahud, karena dia sedari awal berniat dua rakaat, dan ketika ganti niat, maka akan membatalkan shalatnya (menurut keyakinannya). Dan ada juga yang langsung merubah niat, terus ikut berdiri bersama imam. Mana yang benar dalam kondisi ini? Hal ini perlu jawaban dalam ilmu fikih.

Yang jelas, sikap imam tersebut tidak tepat. Ketika memang dia mau melakukan hal yang menyelisihi, seharusnya dia beritahu makmumnya tentang cara seperti apa yang akan dia kerjakan.

Saya pribadi pernah menyaksikan kejadian seperti ini, dan konon katanya, imam tadi, tidak pernah ditunjuk lagi oleh takmir masjid, dengan alasan menimbulkan kegaduhan.

Kejadian serupa ini kembali saya lihat di Masjid Syaikh Muhammad bin Ibrohim, di kampus Universitas Islam Madinah. Padahal imam2 sebelumnya selalu melakukan witir secara fashl.

Saya sedikit komentarin begini....
Memang dalam kitab-kitab fikih didapati ada anjuran untuk bervariasi dalam pelaksanaan ibadah, diantara tujuannya adalah untuk ta'liim (mengajari) manusia, bahwa pelaksanaan ibadah tidak hanya satu kaifiyyah. Dari sisi ini, iya benar. Tp ketika hal itu dilakukan tanpa ada pemberitahuan kepada orang-orang sekitar, itu namanya bukan ta'liim, tapi menabrak kebiasaan yang sudah berlaku.

Jadi bersikaplah bijak ketika menjadi imam. Tidak hanya dalam kasus shalat witir saja, tetapi dalam hal lainnya, seperti jahr nya basmalah dll. Ketika ingin bervariasi, tafadhdhol apabila masyarakat bisa menerimanya, tetapi sebelum memulai hendaknya ada pemberitahuan sebelumnya.

Ini sedikit komentar untuk sebagian imam-imam, terutama di bulan Ramadhan. Yang seharusnya disampaikan di awal-awal bulan, tetapi tidak mengapa bila telat, karena baru-baru ini kembali menyaksikan hal serupa. Semoga bisa memberikan pencerahan.

Madinah Munawwarah, 2 April 2024
Ustadz ahbib