Asalkan kita baik cara menyampaikannya dan kuat argumentasinya, maka minimalnya mereka akan respect dan segan…
Tak sedikit dari mereka yang akhirnya penasaran dengan pemaparan kita, hingga mereka sowan dan ingin diskusi lebih panjang dan sejuk. Disinilah penetrasi fikrah dan kepiawaian kita berperan setelah taqdir Allah ‘Azza wa Jalla. Setidaknya hidayah bayan dan irsyad telah sampai, selanjutnya hidayah Taufiiq kita serahkan pada Allah Jalla fi ‘Ulaah…
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan mau’izhah hasanah; dan debatilah mereka DENGAN CARA YANG AHSAN. Sesungguhnya Rabb-mu itu yang paling tahu siapa yang sesat dan jalan-Nya; Dia juga yang paling tahu orang-orang yang memang layak diberi hidayah.” [An-Nahl : 125]
“Dengan hikmah” maksudnya adalah, هو ما أنزله عليه من الكتاب والسنة, yakni dengan apa-apa yang Allah turunkan atas Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Berarti kita sampaikan dengan benar. Demikian menurut Ibnu Jariir Ath-Thabariy.
“Debatilah mereka dengan cara yang ahsan.” Maksudnya فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب, yaitu hendaklah dengan cara yang bagus; yakni dengan kelembutan dan sebagus-bagusnya pembicaraan. Demikian kata Ibnu Katsir.
Semoga bermanfaat…
—Abu Hazim Mochamad Teguh Azhar, MA.—