Selasa, 28 Maret 2023

Setelah kita mengetahui secara global klasifikasi kaidah-kaidah tarjih hadist ataupun ayat al-Quran, sekarang kita akan mencoba membawakan contoh dan penerapannya pada setiap kaidahnya.

BAGIAN KE 2
_______________
Setelah kita mengetahui secara global klasifikasi kaidah-kaidah tarjih hadist ataupun ayat al-Quran, sekarang kita akan mencoba membawakan contoh dan penerapannya pada setiap kaidahnya.

1. Bagian/kelompok pertama: Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sanad hadist.

A. Kaidah pertama: Hadist mutawatir lebih dirajihkan daripada hadist aahad.

Jika ada dua hadist di mana salah satunya mutawatir dan selainnya adalah aahad, wajib untuk mentarjih nash hadist yang mutawatir daripada yang aahad .

Yang demikian karena hadist mutawatir mengandung kebenaran informasi yang lebih yakin daripada hadist aahad, dan juga karena hadist yang memiliki jumlah perawi lebih banyak, sisi kebenarannya lebih kuat dan lebih jauh dari kemungkinan kekeliruan.

Yang dimaksud dengan hadist mutawatir adalah:

ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم على الكذب

“Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang banyak, dimana mereka mustahil untuk bersepakat dalam kedustaan”.

Adapun hadist aahad definisinya adalah:

ما لم يوجد فيه شروط المتواتر سواء كان الراوي له واحدا أو أكثر

“Hadist yang tidak terpenuhi di dalamnya syarat-syarat mutawatir, sama saja hadist dengan satu rawi saja ataukah lebih dari satu”.

Contoh penerapan kaidah:

Hadist dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma, ia berkata: saya mendengar Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إذا دبغ الإهاب فقد طهر

“Jika kulit hewan telah disamak maka ia telah suci”. (H.R Muslim) 

Dengan hadist dari Abdullah bin ‘Ukaim radiyallahu ‘anhu bahwa Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لا تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا عصب

“Janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai dan urat sarafnya”. (H.R Abu Dawud) 

Poin dari dua contoh hadist di atas, bahwa riwayat pertama bertentangan dengan riwayat ke dua, karena riwayat pertama menetapkan bahwa kulit (bangkai maupun bukan) bisa menjadi suci dengan cara disamak. Adapun riwayat kedua menetapkan bahwa kulit dari bangkai tidak bisa menjadi suci secara mutlak, entah dengan disamak maupun cara lain.

Pentarjihannya: Riwayat yang pertama lebih dirojihkan daripada riwayat kedua, karena riwayat pertama mutawatir, sedangkan kedua riwayatnya aahad.

Abu Ja’far al-Tahawi berkata: Hadist ini telah datang secara mutawatir berkenaan dengan sucinya kulit bangkai dengan cara disamak, dan itulah makna yang tampak. Hadist tersebut lebih diutamakan dari hadist Abdullah bin ‘Ukaim. (Syarh Ma'ani al-Aatsar, 1/471) 

B. Kaidah kedua: Hadist dengan sanad muttasil (bersambung) lebih dirajihkan daripada yang sanadnya mursal.

Jika terjadi kontradiksi di antara dua dalil hadist, yang satu sanadnya muttasil, dan yang lainnya mursal, maka wajib merojihkan hadist yang muttasil atas yang mursal.
Karena hadist yang muttasil (sanadnya bersambung) itu disepakati, sedangkan yang mursal diperselisihkan.

Alasan lain karena hadist mursal terkadang didapati rawi yang menjadi jembatan kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).

Definisi hadist muttasil adalah:

الذي اتصل إسناده، فكان كل واحد من رواته قد سمعه ممن فوقه حتى ينتهي إلى منتهاه

“Hadist yang rantai periwayatannya bersambung, setiap dari perawi hadistnya telah mendengar hadist dari rawi yang ada di atasnya sampai selesai di ujung sanad (rantai periwayatan hadist)”.

Adapun pengertian hadist mursal:

هو ما أسقط منه التابعي الصحابة، وحكاه عن النبي مباشرة

“Hadist yang disampaikan oleh tabiin tanpa menyebut sahabat sebagai perawinya, tabiin tersebut langsung menghikayatkan hadist dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam”.

Contoh penerapan kaidah:

Hadist dari Ibnu Abbas radiyallahu anhuma, bahwa suami Bariroh dahulu adalah seorang budak bernama Mughits, Ibnu Abbas: Sepertinya aku melihat dia (Mughits) mengikuti Bariroh di belakangnya dengan menangis, dan air matanya sampai mengalir di jenggotnya, kemudian Nabi sallallahu alaihi wa sallam berkata kepada al-Abbas:

يا عباس، ألا تعجب من حب مغيث بريرة، ومن بغض بريرة مغيثا

“Wahai al-Abbas, tidakkah engkau takjub dengan rasa cinta Mughits pada Bariroh dan kebencian Bariroh pada Mughits?”. (H.R Bukhori) 

Al-Hakam mengatakan dalam hadist yang lain:

وكان زوجها حرا

“Dahulu suami Bariroh adalah lelaki merdeka”. (H.R Bukhari) 

Poin dari dua hadist di atas adalah: bahwa hadist yang pertama bertentangan dengan hadist yang kedua, karena hadist yang pertama menetapkan bahwa Mughits adalah seorang budak, sedangkan dalam hadist yang kedua dikatakan bahwa Mughits adalah seorang yang merdeka.

Pentarjihannya: Dirojihkan hadist yang pertama atas hadist yang kedua, karena hadist pertama diriwayatkan secara muttasil, sedangkan yang kedua secara mursal.

C. Kaidah ketiga: Hadist yang disepakati kamarfu’annya lebih dirajihkan daripada hadist yang diperselisihkan kemarfu’annya dan kemauqufannya.

Jika ada dua dalil yang saling bertentangan satu dengan lainnya, yang satu sudah disepakati bahwa statusnya marfu’, dan yang lain diperselisihkan kemarfu’annya pada Nabi sallallahu alaihi wa sallam, dan justru jelas kemauqufannya pada sahabat, maka ketika itu wajib untuk merojihkan hadist yang marfu’.

Alasannya karena hadist yang marfu’ memiliki kevalidan informasi yang lebih kuat daripada yang mauquf, sebagaimana hadist yang marfu’ sudah jelas statusnya sebagai hujjah, adapun yang mauquf status hujjahnya diperselisihkan oleh ulama.

Definisi hadist mauquf adalah:

ما يروى عن الصحابة من أقوالهم أو أفعالهم ونحوها، فيوقف عليهم، ولا يتجاوز به إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم.

“Apa yang diriwayatkan dari sahabat berupa perkataan dan perbuatan mereka, berhenti pada sahabat, tidak sampai pada Rasul sallallahu alaihi wa sallam” .

Adapun definisi hadist marfu’ ialah:

ما أضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم خاصة، ولا يقع مطلقه على غير ذلك، نحو الموقوف على الصحابة وغيرهم

“Apa yang disandarkan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam secara khusus, dan penyebutannya tidak berlaku kepada selain Nabi sallallahu alaihi wa sallam, seperti hadist mauquf yang disandarkan pada sahabat dan selain mereka”.

Contoh penerapan kaidah ini pada hadist berikut:

Dari Ubadah bin Shomit radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

“Solat tidak sah bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah”. (Muttafaq Alaihi) 

Juga hadist dari Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كل صلاة لا يقرأ فيها أم الكتاب فهي خداج، إلا أن يكون وراء الإمام

“Setiap shalat yang tidak dibacakan di dalamnya Ummul kitab (surat al fatihah) maka ia kurang, kecuali dalam kondisi di belakang imam”. (H.R Malik di Muwatto & al-Daruquthni dalam sunannya)

Poin yang dipetik dari dua hadist di atas adalah: bahwa hadist dengan riwayat yang pertama berbenturan dengan hadist riwayat kedua, karena pada riwayat pertama mewajibkan pembacaan al-fatihah secara mutlak, jika tidak dibaca maka shalat tidak sah, sedangkan pada riwayat kedua tidak mewajibkan membaca al-fatihah tatkala di belakang imam.

Pentarjihan: Dalam kondisi ini hadist dengan riwayat yang pertama lebih dirojihkan daripada yang kedua, karena pada riwayat pertama disepakati kemarfu’annya, adapun pada riwayat kedua diperselisihkan kemarfu’annya dan kemauqufannya .

Bersambung.... 

#PembelajarKecil-kecilan
#MohonKoreksiJikaAdaKesalahan
Ustadz setiawan tugiono