Sabtu, 18 Maret 2023

MENILAI KUALITAS SEBUAH KITAB

MENILAI KUALITAS SEBUAH KITAB

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R. Rozikin, Dosen di Universitas Brawijaya)

Ada berapa banyak ahli yang dilibatkan untuk menjadi reviewer sebuah artikel ilmiah pada jurnal internasional terindeks scopus yang tergolong quartile 1 (Q1)?

Tiap jurnal mungkin berbeda-beda kebijakannya. Tapi paling tidak, barangkali rentangnya antara 2 sampai 6 orang saja.

Reviewer ahli diperlukan untuk menjaga kualitas tulisan ilmiah. Agar tidak sembarangan orang menulis dan berpendapat lalu menyebarkan pendapatnya di dunia ilmiah, padahal berkualitas sampah dan menyesatkan. 

Sekarang bayangkan bagaimana kualitas  sebuah karya ilmiah jika direview ahli dengan jumlah mencapai  400 orang!

Reviewernya bukan hanya 2, 4, atau 6 pakar, tapi 400 pakar!

Karya ilmiah itu terkait dengan ilmu fikih mazhab al-Syāfi‘ī.

Bayangkan, ada sebuah karya ilmiah yang “dikeroyok” oleh pakar-pakar sebanyak itu. Mereka yang mereview bukan ulama kaleng-kaleng, tetapi mereka yang benar-benar mengerti  mazhab al-Syāfi‘ī, yang sudah memiliki pengetahuan luas terhadap karya-karya al-Syāfi‘ī, kitab murid-murid al-Syāfi‘ī, karya mujtahid-mujtahid mazhab, termasuk semua karya muḥarrirīn di berbagai generasi. 

Mereka semua memeriksa dengan teliti, kata demi kata, huruf demi huruf, mulai kalimat pertama kitab sampai kalimat terakhir, untuk mengecek, memvalidasi dan mengoreksi kontennya. 

Wajar, jika sebuah karya ilmiah dalam mazhab al-Syāfi‘ī melewati proses review seketat ini akan muncul sebagai karya ilmiah bermutu tinggi yang belum tertandingi oleh karya-karya lainnya.

Tahukah Anda kitab apa yang direview sampai 400-an ulama tersebut?

Kitab tersebut adalah kitab Nihāyatu al-Muḥtāj karya al-Ramlī. Al-Bakrī berkata,

«وأعلم أنه إذا اختلف كلام المتأخرين عن الشيخين - كشيخ الاسلام وتلامذته - فقد ذهب علماء مصر إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملي، خصوصا في نهايته، لانها قرئت على المؤلف إلى آخرها في أربعمائة من العلماء ‌فنقدوها ‌وصححوها». «إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين» (4/ 268)

Artinya,

“Ketahuilah, jika ada ikhtilaf di antara pendapat ulama muta’akhirin terkait pendapat al-Nawawi dan al-Rāfi‘ī, misalnya ikhtilaf antara Zakariyyā al-Anṣāri dan murid-muridnya, maka ulama-ulama Mesir berpendapat untuk bertumpu pada hasil penelitian Syaikh Muhammad al-Ramlī, terutama dalam kitab beliau; Nihāyatu al-Muḥtāj, sebab kitab ini telah dibacakan di hadapan pengarangnya mulai awal sampai akhir di tengah-tengah 400 ulama yang mengkritisinya dan mengoreksinya” (I‘ānatu al-ṭālibīn, juz 4 hlm 268)

Yang lebih dahsyat lagi adalah kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj, sebab kitab ini disebut telah direview oleh banyak sekali ulama sampai susah menghitung! Informasi ini memberi kesan bahwa kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj ini direview oleh sejumlah ulama yang angkanya melebihi 400 orang!

Wajar jika kedua kitab tersebut sampai hari ini mencapai kedudukan sangat tinggi sebagai rujukan pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī yang belum bisa disusul karya baru semisal. 

Wajar juga jika ulama-ulama al-Syāfi‘īyyah belakangan juga berbeda sikap jika mengetahui ikhtilaf antara Ibnu Ḥajar al-Haitami dengan al-Ramlī. Ada yang memilih pendapat al-Ramli seperti umumnya ulama Mesir. Ada yang memilih pendapat al-Haitamī seperti umumnya ulama Hijaz dan Syām. 

Yang jelas, kualitas kedua kitab tersebut tidak bisa disamakan dengan kitab-kitab kontemporer semisal al-Fiqhu al-Manhajī, al-Mu’tamad fī al-Fiqh al-Syāfi‘ī, bahkan al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, al-Fiqhu al-Islāmī wa Adillatuhū dan semisalnya.

Apalagi karya-karya yang mengklaim mazhab al-Syāfi‘ī, sementara tidak ada reviewernya, atau reviewernya bukan pakar mazhab al-Syāfi‘ī, atau reviewernya tokoh komunitasnya  (yang tidak jelas kepakarannya dan hanya terkenal saja) dll. Apalagi jika kitabnya tidak direview, tapi hanya diberi kata pengantar tokoh saja yang juga tidak jelas kepakarannya.  

 
Melihat kenyataan ini, saya berpikir sebenarnya kita di dunia Islam itu punya  tradisi keketatan ilmu syar’i  yang sungguh luar biasa (dalam konteks ini: Penelitian tahrir mazhab).

Orang disebut pakar dalam mazhab al-Syāfi‘ī ya benar-benar pakar. Teruji oleh sesama pakar dan diakui sesama pakar. 

Disebut pakar mazhab al-Syāfi‘ī bukan sebuah self claim. Juga bukan karena mengaku lulusan pondok anu, atau mengaku punya sanad X, atau mengaku berguru pada syaikh fulan, atau mengklaim bermulazamah pada ustaz allan.

Apalagi disebut pakar mazhab al-Syāfi‘ī dengan standar yang  tidak ada hubungan dengan kepakaran misalnya karena terkenal, atau pandai orasi, atau punya santri banyak, atau punya follower banyak, atau punya ponpes, atau punya akademi atau punya majelis taklim, atau karena dia tokoh komunitasnya, atau mengasuh tarekat, atau menjadi mursyid dan semisalnya, padahal minus karya dan tidak ada pengakuan pakar. Yakni, semua hal yang disangka bukti validasi ilmu padahal sama sekali bukan.

Versi Situs: https://irtaqi.net/2023/03/07/menilai-kualitas-sebuah-kitab/
#tahrirmazhab
#mazhabsyafii