IMAM ASY-SYĀFI‘Ī II MENGINGKARI ASYĀ‘IRAH !?
Imam Asy-Syāfi‘ī II ialah Al-Qāḍī Abul-‘Abbās Ibnu Surayj Al-Bagdādī Asy-Syāfi‘ī (w. 306 H) raḥmatullāh ‘alayh, beliau mendapat kehormatan dijuluki sebagai Asy-Syāfi‘ī Kedua karena kepakarannya dan kontribusinya dalam Mazhab Asy-Syāfi‘ī, berkat beliau Mazhab Asy-Syāfi‘ī tersebar ke penjuru dunia.
Al-Qāḍī Ibnu Surayj berkata:
لا نقول بتأويل المعتزلة والأشعرية والجهمية، والملحدة، والمجسمة، والمشبهة والكرامية والمكيفة، بل نقبلها بلا تأويل، ونؤمن بها بلا تمثيل، ونقول: الإيمان بها واجب، والقول سنة، وابتغاء تأويله بدعة.
“Kami tidak berpendapat (berkaitan nas tentang sifat Allah) dengan takwilnya Muktazilah, Asy‘ariyyah, Jahmiyyah, Mulḥidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karrāmiyyah, dan Mukayyifah. Namun kami menerimanya tanpa menakwil, beriman kepadanya tanpa tamsil, dan kami berpendapat: beriman kepadanya adalah wajib dan berpendapat dengannya adalah sunah, dan mencari takwilnya adalah bidah.”
Dari keterangan diatas, dapat kita ketahui bahwa manhaj akidah Al-Qāḍī Ibnu Surayj adalah tidak menakwil nas tentang Sifat Allah, mengingkari takwilan Asy‘ariyyah, bahkan menyejajarkan Asy‘ariyyah dengan sekte yang disepakati sebagai Ahli Bidah oleh ulama Ahlussunnah wal Jamaah.
Akan tetapi, kalam Al-Qāḍī Ibnu Surayj ini dinilai tidak valid oleh Al-Fadhil Ustaz Abdul Wahab Ahmad (Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember), dalam tulisannya yang disiarkan di situs nu.or.id (https://islam.nu.or.id/post/read/94360/benarkah-ibnu-suraij-menyesatkan-asyariyah), disebabkan 2 alasan sebagaimana dalam kotak hijau dan coklat. Untuk saat ini saya ulas kerapuhan alasan pada kotak coklat, biar tidak terlalu panjag tulisan ini.
Menurut Ustaz Abdul Wahab Ahmad, ketidak-validan kalam Al-Qāḍī Ibnu Surayj ini disebabkan terputusnya sanad sehingga tidak bisa diterima secara ilmiah, ada rentang waktu 74 tahun antara Imam Az-Zanjani dengan Al-Qāḍī Ibnu Surayj. Benarkah demikian?
Menurut saya, kesimpulan Ustaz Abdul Wahab Ahmad ini terlalu gegabah karena hujahnya sangat rapuh sekali (dan juga tidak konsisten). Ini saya maklumi karena beliau hanya merujuk kepada kitab Ijtimā‘ Al-Juyūsy Al-Islāmiyyah karya Imam Ibnul-Qayyim Al-Jawziyyah (lihat garis merah), andai saja beliau mau sedikit lebih rajin, meningkatkan bacaan menjadi sebuah kajian, maka kesimpulan gegabah ini tidak akan terjadi.
Sedangkal kajian saya, ternyata kalam Al-Qāḍī Ibnu Surayj ini ada rujukan primernya. Pada tahun 2006 yang lalu (4 tahun sebelum saya hijrah dari Akidah Asyā‘irah), syekh Dr. Walīd bin Muhammad Al-‘Alī telah selesai menahkik sebuah manuskrip berjudul Juz‘un fīhi Ajwibah Al-Imām Al-‘Ālim Abil-‘Abbās Aḥmad bin ‘Umar bin Surayj raḍiyallāhu ‘anhu fī Uṣūliddīn. Manuskrip ini tersimpan rapih dalam Maktabah Syahīd ‘Alī Pasyā, di Istanbul - Turki . Hasil tahkikannya ini kemudian diterbitkan dengan judul Juz‘un fīhi Ajwibah fī Uṣūliddīn.
Kitab ini ringkas, berisi jawaban Al-Qāḍī Ibnu Surayj ketika ditanya oleh para mahasantrinya tentang Sifat Allah dan Tauhid, lalu jawaban ini disebutkan oleh Abū Sa‘d ‘Abdul-Wāḥid bin Muhammad, dan kemudian dicatat oleh Imam Abul-Qāsim Sa‘d bin ‘Alī bin Muhammad Az-Zanjānī Asy-Syāfi‘ī (w. 471 H) raḥmatullāh ‘alayh. Berikutnya, catatan Imam Az-Zanjānī ini diterima dan disalin oleh santrinya dari generasi ke generasi.
Jikalau berdasarkan metode penilaian Ustaz Abdul Wahab Ahmad ketika menilai atsar Imam Ahmad (yang mencukupkan diri dengan nukilan Imam Az-Zarkasyi), tanpa kajian kritik sanad, maka atsar Al-Qāḍī Ibnu Surayj ini SAHIH. Sebab diterima dan dicatat oleh Imam Az-Zanjānī, yang mana beliau merupakan salah satu ulama besar Syāfi‘iyyah di zamannya, yang tsiqah lagi mutqin. Begitukah, yai Abdul Wahab Ahmad? [bersambung]
-----catatan:
1⃣ Sebagai orang yang berusaha menjadi Atsari/Salafi Sejati, saya belum puas dengan catatan Imam Az-Zanjānī, karena beliau menerima atsar tersebut (dari Abū Sa‘d ‘Abdul-Wāḥid) dengan sighah tamridh (samar/tidak jelas). Disisi lain, Abū Sa‘d ‘Abdul-Wāḥid ini berbuat tadlis, yakni tidak menyebutkan siapa mahaguru-mahagurunya yang meriwayatkan dari Al-Qāḍī Ibnu Surayj. Disisi lain lagi, Abū Sa‘d ‘Abdul-Wāḥid ini majhul, yakni belum diketahui biografinya, akan tetapi jahalah itu bukan Jarh (kritikan) dan bukan pula Ta‘dil (pujian). Sehingga atsar ini statusnya Daif Ringan, dan harus ada qarinah (indikasi) untuk mengangkat statusnya menjadi Hasan. Dan, qarinah itu ada.
Insyaallah akan saya lanjut apabila ada respon dari ybs, minimal mengakui bahwa atsar ini SAHIH menurut metode penilaiannya.
2⃣ Saran dari saya kepada Ustaz Abdul Wahab Ahmad, sebagai seorang peneliti maka lebih rajin dan bersikap konsistenlah. Jangan tergesa-gesa dalam menyimpulkan sesuatu, tingkatkan bacaan menjadi sebuah kajian yang mencerdaskan. Jangan seperti saya yang menurut anda tidak paham atau bodoh bhs.arab, maka "wajar" apabila keliru.
Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa