SEORANG AHLUS SUNNAH BUKANLAH SOSOK YG HARUS PARIPURNA TANPA KEKURANGAN SEDIKITPUN
Dauroh Du'at Sesi II Bersama Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaily حفظه الله
Di salin Oleh : Dr. A. Fuadi Romadhon Ritonga, M.Pd حفظه الله
Kedua: Hendaklah diketahui, bahwasanya yang benar-benar, ialah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama Islam, baik secara idiologi (i’tiqad) maupun perilaku (suluk).
Suatu kekeliruan, bila yang dianggap sebagai Ahlus-Sunnah atau seorang Salafi, ialah seseorang yang merealisasikan akidah Ahlus-Sunnah semata, tanpa memperhatikan sisi perilakunya, adab-adab Islam, ataupun menunaikan hak-hak antara sesama muslim.
Bukanlah merupakan ciri khas Ahlussunah bahwa ia tidak boleh jatuh dalam kesalahan walau sedikitpun dan kita tidak bermudah-mudahan dalam mengeluarkan seseorang dari penamaan Ahlussunah Waljama'ah, bisa saja salah satu dari individunya memiliki taqshir (kekurangan) dalam hal muamalah, adab atau perkara ibadah.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di akhir kitab al-’Aqîdah al-Wasithiyyah, setelah menyampaikan pokok-pokok ajaran Ahlus-Sunnah dalam masalah i’tiqad, beliau berkata:
“Kemudian mereka (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini, (yaitu) saling memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar sesuai tuntutan syariat, (maka) mereka memandang pelaksanaan ibadah haji, jihad, shalat Jum’at, shalat ‘Id dilakukan bersama para pemimpin (penguasa), baik pemimpin yang baik (adil) maupun yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan shalat berjama’ah dan menjalankan tanggung jawab memberikan nasihat kepada umat. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi ﷺ :
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ الْمَرْصُوْصِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Permisalan (peran) seorang mukmin terhadap seorang mukmin lainnya, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya.
Lalu Rasulullah ﷺ menjalin jari-jemarinya. Beliau ﷺ juga bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
Permisalan kaum Mukminin dalam kecintaan, berlemah-lembut dan berkasih-sayang, ialah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuhnya merasakan demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Mereka memerintahkan untuk sabar tatkala tertimpa cobaan (kesusahan), dan bersyukur tatkala mendapatkan kelapangan, serta ridha dengan perjalanan takdir yang pahit. Mereka menyeru kepada akhlak mulia, amal-amal terpuji, dan meyakini makna sabda Nabi ﷺ :
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya, ialah orang yang paling baik akhlaknya.
Mereka senantiasa menganjurkan untuk menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga. Mereka juga melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan maupun tidak. Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlak terpuji, dan mencegah dari akhlak tercela.
Semua perkataan dan perbuatan mereka yang disebutkan di atas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti al-Kitab (Al-Qur‘ân) dan as-Sunnah. Dan jalan hidup mereka ialah agama Islam, yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ “.
Ketiga : Di antara tujuan agung untuk diraih dan dianjurkan agama Islam, ialah mengajak manusia untuk menganut agama ini.
Hidayah yang dimaksudkan disini adalah hidayah Al Irsyad.
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)
Hidayah Taufiq
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qasas: 56)
Sebagaimana telah disampaikan kepada Sahabat Ali ketika Nabi ﷺ mengutusnya ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):
لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah. (HR Bukhari, no. 4210, dan Muslim no. 2406).
Dan sebaik-baik manhaj dalam beragama adalah petunjuk Rasulullah. Dan kita harus memahami bahwa tidak semua orang yg menyelisihi kebenaran pasti orangnya keras kepala menentangnya, bisa jadi karena dia belum mengetahui hakikat kebenarannya.
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah dikaruniai hidayah (petunjuk) untuk (mengamalkan) Sunnah, hendaklahbersungguh-sungguh mendakwahi orang lain yang masih tersesat dari Sunnah, atau kurang memperhatikannya. Dalam mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan Sunnah, hendaklah menempuh dengan segala daya dan upaya yang dapat mereka lakukan dalam menuntun manusia dan mendekatkan hati mereka untuk menerima kebenaran. Hal itu, diwujudkan dengan mendak
mendakwahi mereka dengan cara lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berkata kepada Nabi Musaq dan Harunq:
اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. (Qs Thaahaa/20:43-44).
Juga memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai kedudukannya. Sebagaimana ketika dahulu Nabi ﷺ menulis surat kepada Hiraqlius, dengan bersabda:
إِلَى هِرْقْلَ عَظِيْمِ الرُّوْمِ
(kepada Hiraql, Pemimpin Romawi).
Beliau juga memberikan kuniyyah kepada ‘Abdillah bin Ubai bin Salul dengan “Abil-Habbab”. Demikian juga dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, yaitu dengan bersabar, dan membalasnya dengan perilaku yang baik, dan janganlah tergesa-gesa menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ ۗ
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul(‘ulul- ‘azmi) telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. (Qs Ahqâf/46:35).
Keempat : Para pelajar (thalabatul-’ilmi), terutama para dai, hendaklah dapat membedakan antara al- mudârah dan al-mudâhanah.
Al-mudârah ialah sesuatu hal yang dianjurkan. Ia berhubungan dengan sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul-‘Arab: “Bersikap al-mudârah terhadap orang lain, yaitu dengan bersikap ramah-tamah kepada mereka, bermu’amalah dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, sehingga mereka tidak menjauh darimu”.
Sedangkan al-mudâhanah (menjilat) adalah sikap yang tercela. Ia berhubungan dengan masalah agama. Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَۚ
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (Qs al-Qalam/68:9).
Al-Hasan al-Bashri menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dalam agamamu di hadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dalam agama mereka di hadapanmu”. (Tafsir al-Baghawi, 4/377).
Dengan demikian, orang yang bersikap mudârah akan berlemah-lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikit pun dari prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudâhin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh, dahulu Nabi ﷺ merupakan figur yang paling baik akhlaknya, dan paling lemah-lembut terhadap umatnya. Ini merupakan perangai lemah-lembut dan ramah tamah daribeliaun. Di sisi lain, beliaun adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau ﷺ tidak akan meninggalkan prinsip agama, meski hanya satu, walau di hadapan siapapun. Inilah perwujudan keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama yang sangat bertentangan dengan sikap mudâhanah (menjilat).
Hendaklah para pelajar memerhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain dan berlemah lembut sebagai tanda kelemahan dan luluh dalam (mengemban perintah) agama.
Pada saat lainnya ada yang beranggapan bahwa sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan merupakan bagian dari sikap (ar-rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini salah dan tersesat dari kebenaran. Hal ini, hendaklah benar-benar diperhatikan dengan baik, karena salah paham dalam permasalahan ini sangat berbahaya. Dan tidak selamat darinya kecuali orang yang diberi taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah جل وعلى