Kamis, 19 Januari 2023

MADZHAB

MADZHAB

PERTANYAAN: Apa pendapat anda tentang perkataan salah seorang dari mereka: “Untuk belajar fiqih harus mengikuti salah satu dari empat madzhab, dan berpegang dengan salah satu madzhab yang mu’tamad ini.” Dan bahwa Al-Albani, (Muqbil) Al-Wadi’i dan semisal keduanya: telah merusak ilmu fiqih; karena mereka mendakwahkan fiqih hadits dan atsar saja. 

SYAIKH IBRAHIM BIN ‘AMIR AR-RUHAILI -hafizhahullaah- MENJAWAB:

“Pertama: jawaban atas BAGIAN PERTAMA dari pertanyaan ; yaitu bahwa “harus mengikuti madzhab fiqih dalam belajar fiqih”.

Maka perkataan bahwa kita (harus) mengikuti madzhab fiqih; maka ini tidak benar.

Tapi (yang benar) adalah: harus mengikuti ulama dalam belajar ilmu, karena Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{...فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ}

“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An-Nahl: 43)

Maka jangan sampai seorang pada zaman sekarang: dia menghafal Al-Qur-an dan besoknya langsung beristinbath (mengambil hukum) permasalahan-permasalahan dalam kitab fiqih, mentafsirkan Al-Qur-an dan membaca hadits; kemudian menulis kitab tentang syarah hadits tanpa kembali kepada ulama.

Akan tetapi ulama tidak dibatasi pada imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad). Maka jika seorang penuntut ilmu belajar kepada ulama; sama saja apakah ulama muhadits yang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab imam yang empat atau yang menisbatkan diri kepada salah satu imam yang empat dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Yang penting harus kembali kepada ulama. Allah berfirman:

{...فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ}

“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An-Nahl: 43)

Allah tidak berfirman: maka bertanyalah kepada imam yang empat.

Maka imam yang empat tersebut tidak berkaitan dengan hukum. Barangsiapa yang mengatakan bahwa tidak boleh keluar dari madzhab yang empat; maka inilah yang salah.

Sampai Ibnu Rajab -dengan kemuliaannya- menulis risalah -dan tidak ada seorang ulama pun melainkan memiliki ketergelinciran- beliau berkata: “Tidak boleh keluar dari madzhab yang empat, dan ijma’ mereka itulah ijma’.” Maka para ulama mengingkari beliau, padahal beliau memiliki keutamaan besar.

Maka perkataan bahwa harus belajar fiqih kepada ulama; (itulah yang benar). Tidak boleh penuntut ilmu mencukupkan diri hanya dengan melihat kepada dalil, karena dia tidak memiliki kemampuan untuk memahami dalil. Dia harus kembali kepada para ulama ahli tafsir dan para ulama pensyarah hadits; baik para ulama tersebut dari imam yang empat maupun selainnya.

Adapun BAGIAN KEDUA dari pertanyaan; yaitu pernyataan bahwa “Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’i merusak ilmu, dengan alasan karena tidak bermadzhab.” Maka ini adalah kebodohan terhadap madzhab para syaikh tersebut dan juga kebodohan terhadap Sunnah.

Para syaikh tersebut tidaklah mendakwahkan manusia untuk kembali kepada dalil tanpa mengambil fiqih para ulama. Seorang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat; bukan berarti dia tidak mengambil perkataan para ulama sama sekali.

Apakah Al-Albani tidak kembali kepada para ulama? Dan apakah Muqbil Al-Wadi’i tidak kembali kepada ulama? Mereka kembali kepada perkataan ulama.

Akan tetapi sebagian orang memberikan pernyataan: “Jika seseorang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat; maka berarti dia tidak kembali kepada seorang ulama pun!” Maka ini tidak benar. Ini masalah lain; yaitu bahwa ahli ilmu jika mengatakan bahwa dia tidak bermadzhab dengan madzhab tertentu; maka maknanya dia tetap kembali kepada para ulama dan mengambil faedah dari ilmu mereka. Inilah yang dilakukan oleh para syaikh tersebut. Syaikh Al-Albani membawakan perkataan para ulama di kitab-kitab beliau; baik dalam masalah “rijaal” (para perawi) maupun fiqih Sunnah. Beliau tidak mempergunakan ra’yu (pendapat pribadi)nya tanpa kembali kepada perkataan para ulama. Syaikh Muqbil juga demikian. Semua ulama (para masya-yikh) tersebut mengambil perkataan ulama, mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Taimiyyah juga mengambil perkataan ulama sebelumnya. Maka seorang ‘alim yang kembali kepada para ulama dan mengatakan: “saya tidak bermadzhab dengan madzhab tertentu”; ini bukan berarti dia tidak mengambil perkataan para ulama.

Maka mereka (yang mengatakan bahwa para syaikh tersebut merusak fiqih): telah bodoh terhadap kedudukan para ulama (masya-yikh) dan telah bodoh terhadap jalan para ulama tersbut serta telah su-u zhann (berprasangka buruk) terhadap mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam: “Mereka yang mencela para Salaf; maka telah menggabungkan antara kebodohan terhadap para Salaf dan su-u zhann terhadap mereka.” Demikian juga orang-orang ini: telah menggabungkan antara su-u zhann terhadap para ulama tersebut dan bodoh terhadap jalan mereka. Syaikh Al-Albani tidaklah berkembang melainkan di atas kitab-kitab para ulama; dalam Jarh Wa Ta’dil, dalam pen-shahih-an dan pen-dha’if-an dan dalam fiqih Sunnah, Syaikh Muqbil juga demikian, dan Syaikh Bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin; mereka semua tidak bermadzhab dengan madzhab tertentu. Akan tetapi bukan berarti mereka tidak kembali kepada perkataan para ulama.

DAN UMUM NYA PENUNTUT ILMU PADA ZAMAN SEKARANG ADALAH TIDAK BERMADZHAB DENGAN MADZHAB TERTENTU. Mereka menulis kitab-kitab tapi tidak mengambil dari kepala (pendapat) mereka sendiri, justru mereka kembali kepada perkataan para ulama. Oleh karena itulah mereka menukil dari Abu Hanifaf, dari Malik, dari Asy-Syafi’i, dari Ahmad, dari Ibnu Taimiyyah, dari Al-Albani, dari Bin Baz. Inilah jalan yang benar, dengan tanpa bermadzhab dengan madzhab tertentu.

Akan tetapi jika tidak didapatkan di suatu negeri kecuali madzhab fiqih tertentu; maka tidak mengapa mengambil dari ulama yang ada di negeri tersebut -sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam-. Jika tersebar sebuah madzhab atau kitab; maka tidak mengapa. Karena madzhab-madzhab ini adalah madzhab Ahlus Sunnah, dan tidak katakan itu madzhab-madzhab bid’ah. Akan tetapi yang tercela adalah fanatik terhadap madzhab tertentu dengan mengatakan: “Kebenaran ada pada madzhab ini dan tidak akan didapatkan di luar madzhab.” Inilah yang tercela. Adapun ulama yang bermadzhab Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Malik, atau Ahmad; maka mereka termasuk ulama Ahlus Sunnah. Tapi tidak boleh ta’ashshub (fanatik) terhadap mereka.”

[diambil dari tanya jawab pertemuan kelima, diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix]