Selasa, 24 Juni 2025

Onani Dalam Pandangan Madzhab Hanbali

Onani Dalam Pandangan Madzhab Hanbali

[ص: 251] قوله (ومن استمنى بيده لغير حاجة: عزر).

هذا المذهب. وعليه الأصحاب، لفعله محرما، وجزم به في الوجيز، وغيره، وقدمه في الفروع، وغيره.

وعنه: يكره. نقل ابن منصور: لا يعجبني بلا ضرورة.

[Halaman: 251] Ucapannya: “Barang siapa yang melakukan istimna (masturbasi/onani) dengan tangannya tanpa Hajat, maka ia dikenai ta'zir.”

Ini adalah pendapat dalam mazhab, dan menjadi pegangan para ulama mazhab karena perbuatan itu dianggap haram. Hal ini ditegaskan dalam kitab al-Wajīz dan yang lainnya, serta didahulukan pendapat ini dalam al-Furū‘ dan lainnya.

Ada juga riwayat lain yang menyatakan hukumnya makruh. Ibnu Mansur meriwayatkan: “Aku tidak menyukainya kecuali dalam keadaan darurat.”

قوله (وإن فعله خوفا من الزنا: فلا شيء عليه).

هذا المذهب. وعليه جماهير الأصحاب، لإباحته إذن.

قال في الوجيز: وإن فعله خوفا من الزنا، ولم يجد طولا لحرة، ولا ثمن أمة: فلا شيء عليه،

وجزم بأنه لا شيء عليه في الهداية، والمذهب، والمستوعب، والخلاصة، والهادي، والكافي، والمغني، والمحرر، والشرح، والنظم، ونظم المفردات، وتذكرة ابن عبدوس، وإدراك الغاية، والمنور، والمنتخب، وغيرهم، وقدمه في الرعايتين، والحاوي الصغير، والفروع، وغيرهم.

وهو من مفردات المذهب.

قلت: لو قيل بوجوبه في هذه الحالة: لكان له وجه كالمضطر، بل أولى؛ لأنه أخف.

Ucapannya: “Jika seseorang melakukannya karena takut terjerumus ke dalam zina, maka tidak ada dosa atasnya.”

Ini adalah pendapat dalam mazhab, dan dianut oleh mayoritas ulama mazhab karena dianggap sebagai bentuk kebolehan.

Dalam al-Wajīz dikatakan: “Jika seseorang melakukannya karena takut zina, dan tidak mampu menikahi wanita merdeka maupun membeli budak perempuan, maka tidak ada dosa atasnya.”

Hal ini juga ditegaskan dalam banyak kitab seperti al-Hidāyah, al-Madhhab, al-Mustawʿab, al-Khulāṣah, al-Hādī, al-Kāfī, al-Mughnī, al-Muḥarrar, al-Sharḥ, al-Naẓm, Naẓm al-Mufradāt, Tadhkirah Ibn ʿAbdūs, Idrāk al-Ghāyah, al-Munawwar, al-Muntakhab, dan lainnya.

Juga didahulukan dalam al-Rāʿiyatayn, al-Ḥāwī al-Ṣaghīr, al-Furū‘, dan lainnya.

Ini juga termasuk mufradat dalam mazhab.

Saya  berkata: “Jika ada yang mengatakan hal ini wajib dalam kondisi tersebut, maka itu masuk akal seperti dalam keadaan darurat, bahkan lebih utama, karena ini lebih ringan dari zina.”

ثم وجدت ابن نصر الله في حواشي الفروع ذكر ذلك.

وعنه: يكره.

وعنه: يحرم. ولو خاف الزنا.

ذكرها في الفنون، وأن حنبليا نصرها. لأن الفرج مع إباحته بالعقد لم يبح بالضرورة. فهنا أولى.

وقد جعل الشارع الصوم بدلا من النكاح.

والاحتلام مزيل لشدة الشبق مفتر للشهوة.

Kemudian aku temukan bahwa Ibn Nashr Allah dalam Hawāsyī al-Furūʿ juga menyebutkan hal tersebut.

Ada juga riwayat yang menyatakan hukumnya makruh.

Ada pula riwayat lain yang menyatakan haram, walaupun karena takut terjerumus ke dalam zina.

Ini disebutkan dalam al-Funūn, bahwa seorang ulama Hanbali mendukung pendapat ini, karena kemaluan meskipun halal melalui akad nikah, tidak menjadi halal hanya karena darurat—maka dalam hal ini lebih pantas untuk dilarang.

Syariat telah menjadikan puasa sebagai pengganti nikah.

Sedangkan mimpi basah (iḥtilām) dapat meredakan dorongan nafsu dan melemahkan syahwat.

[ص: 252] فائدتان

إحداهما: لا يباح الاستمناء إلا عند الضرورة.

ولا يباح نكاح الإماء إلا عند الضرورة.

فإذا حصلت الضرورة قدم نكاح الإماء.

ولا يحل الاستمناء كما قطع به في الوجيز، وغيره.

ونص عليه الإمام أحمد رحمه الله.

وقدمه في القاعدة الثانية عشر بعد المائة.

وقال ابن عقيل في مفرداته: الاستمناء أحب إلي من نكاح الأمة.

قال في القاعدة: وفيه نظر. وهو كما قال.

[Halaman: 252] Terdapat dua faedah:

Pertama: Masturbasi tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat.

Demikian pula, menikahi budak perempuan tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat.

Jika darurat telah terjadi, maka menikahi budak lebih diutamakan.

Masturbasi tidak dihalalkan sebagaimana dipastikan dalam al-Wajīz dan lainnya.

Ini juga dinyatakan secara eksplisit oleh Imam Ahmad rahimahullah, dan diutamakan dalam kaidah ke-112.

Ibnu ‘Aqīl dalam al-Mufradāt-nya berkata: “Masturbasi lebih aku sukai daripada menikahi budak.”

Namun dalam kaidah tersebut dikatakan: “Pendapat ini perlu ditinjau kembali.”

Dan memang benar sebagaimana yang dikatakan (yakni bahwa pendapat tersebut perlu dikritisi).

الثانية: حكم المرأة في ذلك حكم الرجل.

فتستعمل شيئا مثل الذكر عند الخوف من الزنا.

وهذا الصحيح، قدمه في الفروع.

وقال ابن عقيل: ويحتمل المنع. وعدم القياس.

وقال القاضي في ضمن المسألة لما ذكر المرأة قال بعض أصحابنا: لا بأس به إذا قصدت به إطفاء الشهوة والتعفف عن الزنا.

قال: والصحيح عندي أنه لا يباح.

Kedua: Hukum wanita dalam masalah ini sama dengan laki-laki.

Jika khawatir terjerumus ke dalam zina, maka ia boleh menggunakan sesuatu yang menyerupai kemaluan laki-laki.

Inilah pendapat yang benar, dan didahulukan dalam al-Furū‘.

Ibnu ‘Aqīl berkata: “Ada kemungkinan untuk melarangnya dan tidak melakukan qiyas terhadap hukum laki-laki.”

Qāḍī menyebutkan dalam pembahasan yang sama bahwa sebagian sahabat kami berkata: “Tidak mengapa jika wanita melakukannya dengan tujuan meredakan syahwat dan menjaga diri dari zina.”

Namun dia (Qāḍī) berkata: “Pendapat yang benar menurutku adalah hal itu tidak diperbolehkan.”

Sumber : Alinsof - Karya Almardawi

Hanabilah indonesia

https://www.facebook.com/share/1AZnVHGfhn/