Dakwah bukan sekadar menyampaikan, tapi merawat, membimbing, hingga tumbuh iman yang kokoh.
.
Dalam menyampaikan kebenaran perlu ilmu, tidak boleh grusa grusu apalagi kesusu.
Allah Ta'ala menyinggung hal tersebut dalam firmannya, surat an-Nahl ayat 125,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik." [QS. an-Nahl: 125]
.
Hikmah berperan sebagai cahaya, nasihat sebagai pelita, dan dialog santun sebagai jembatannya.
.
Syaikh Fathy Al Mushily memaparkan dalam tulisannya pada Kaidah Ketujuh Belas tentang bekal yang harus dimiliki oleh seorang da'i, yaitu:
Memiliki kedalaman bashirah (pandangan yang tajam dan jernih) serta bersikap bijaksana.
Sebab, tujuan dari bashirah adalah menampakkan hujjah (argumen kebenaran),
sedangkan tujuan dari hikmah adalah menampakkan maslahat.
Jika bashirah berpadu dengan hikmah,
maka bashirah akan membimbing kepada pemahaman dan pandangan jernih terhadap sesuatu,
Sementara hikmah berkaitan dengan bagaimana menyikapi sesuatu secara tepat dan penuh pertimbangan.
Hikmah menuntun seorang da’i untuk tidak hanya tahu apa yang benar, tapi juga kapan, di mana, dan bagaimana menyampaikannya.
Bukan sekadar argumen yang kuat, tapi juga akhlak yang menenangkan dan bisa direalisasikan secara elegan.
Bukan hanya menyulut semangat, tapi juga menumbuhkan pemahaman.
Wassalam,
Fachruddin Khusna
Perjalanan menuju Salatiga