4. SESI KE EMPAT
________________________________
3. Bagian Tiga: Kaidah-kaidah tarjih yang terkait dengan makna kandungan dalil.
A. Kaidah pertama: Dalil dengan kandungan makna nash (النص) lebih dirajihkan dari yang dhohir (الظاهر).
Jika ada dua dalil yang bertentangan sedangkan salah satunya statusnya adalah nash dan yang lainnya adalah dhohir, wajib untuk dikedepankan yang nash atas yang dhohir.
Alasannya karena yang nash lebih kuat memberikan petunjuk, karena tidak ada kemungkinan makna lain yang dimaksudkan, adapun dhohir masih memiliki kemungkinan makna selainnya walaupun kemungkinan tersebut marjuh/kecil. (Syarah Mukhtashor al-Roudhoh 3/698)
Definisi nash (النص):
اللفظ الذي لا يحتمل إلا معنى واحدا
“Sebuah lafadz yang hanya memiliki kemungkinan satu makna saja”
Adapun makna dhohir (الظاهر) adalah:
الاحتمال الأقوى الذي يحتمله اللفظ إذا كان يحتمل أكثر من احتمال
“Kemungkinan makna terkuat yang dikandung oleh sebuah lafadz jika ia memiliki banyak kemungkinan makna”
Contoh penerapan kaidahnya:
Hadist dari Jabir rodiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasul sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا جاء أحدكم يوم الجمعة والإمام يخطب، فليركع ركعتين، وليتجوز فيهما
“Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaknya dia mengerjakannya dengan ringan” (H.R Muslim)
Dalam hadist lain dari Abdullah bin Busrin rodiyallahu ‘anhu ia berkata: datanglah seorang lelaki yang melangkahi pundak-pundak manusia di hari Jumat sedangkan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, kemudian Beliau bersabda:
اجلس، فقد آذيت
“Duduklah, engkau telah menganggu yang lain” (H.R Abu Dawud)
Poin dari kedua hadist di atas adalah bahwa: hadist yang pertama bertentangan dengan hadist kedua, karena hadist pertama di dalamnya dijelaskan pensyariatan shalat dua rakaat tatkala imam sedang berkhutbah, sedangkan dalam hadist kedua dimaknai tidak adanya pensyariatan shalat dua rakaat ketika imam berkhutbah, karena Nabi menyuruh sahabat tersebut untuk duduk.
Pentarjihan: Riwayat yang pertama lebih dirajihkan daripada hadist riwayat yang kedua, karena riwayat yang pertama mengandung nash dalam pensyariatan shalat dua rakaat tatkala imam sedang berkhutbah, dan tidak memiliki kemungkinan makna yang lain. Adapun riwayat yang kedua mengandung makna lain selain makna dhohir (Bisa memang benar2 ga ada sholat 2 rakaat sedari asal, bisa juga kemungkinan lain karena alasan mengganggu jamaah sekitarnya).
B. Kaidah kedua: Dalil yang mubayyan (المبين) lebih dirajihkan daripada yang mujmal (المجمل).
Jika terdapat dua dalil salah satunya mubayyan dan satu lainnya mujmal, maka wajib merojihkan yang mubayyan atas yang mujmal.
maksud dari lafadz mubayyan (المبين) adalah:
ما يدل على المعنى المراد منه من غير إشكال
“Lafadz yang menunjukkan pada makna yang dimaksudkan dengan tanpa ada masalah/kerancuan”
Adapun lafadz mujmal (المجمل) ialah:
اللفظ الذي يحتمل أكثر من معنى ولا رجحان في أحدهما على الآخر
“Sebuah lafadz yang mengandung lebih dari satu makna dan tidak ada yang lebih kuat dari makna tersebut melebihi lainnya”
Contoh penerapan kaidah ini dalam hadist berikut:
Sabda Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam terkait ukuran zakat pertanian:
فيما سقت السماء والعيون أو كان عثريا العشر. وما سقي بالنضح نصف العشر
“Pada pertanian dengan tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh (zakatnya) . dan adapun yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh” (Muttafaq Alaihi)
Hadist di atas bertentangan dengan firman Allah ta’ala:
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“dan tunaikanlah haknya (zakat) di hari memanen hasilnya”. (al-An’am:141).
Poin dari kedua dalil di atas adalah bahwa hadist telah menjelaskan ukuran zakat pertanian, adapun ayat al-Quran belum menjelaskan berapa ukuran zakat yang dikeluarkan ketika memanen alias masih global/mujmal.
Pentarjihan: Apa yang dikandung dalam hadist lebih dirojihkan daripada ayat, karena hadist datang dengan lafadz yang mubayyan (terjelaskan maknanya), adapun lafadz ayat masih mujmal (global/belum terjelaskan spesifiknya).
C. Kaidah ketiga: Dalil yang khusus (الخاص) lebih dirajihkan daripada yang maknanya umum (العام).
Jika ada dua dalil yang bertentangan sedangkan salah satunya adalah dalil khusus dan lainnya adalah maknanya umum, maka wajib mendahuluan yang khusus.
Alasannya adalah karena sisi kekuatan lafadz khusus, lafadz khusus mengandung hukum dengan lafadz yang tidak mengandung kemungkinan lain di dalamnya, adapun lafadz umum, ia mengandung hukum dengan lafadz yang memiliki kemungkinan makna lain, maka ketika itu wajib untuk merojihkan yang khusus atas yang umum. (al-Faqih wa al-Mutafaqqih 2/298)
Definisi khusus (الخاص) adalah:
قصر حكم العام على بعض أفراده
“Pembatasan hukum pada lafadz yang umum untuk sebagian anggota yang tercakup oleh lafadz umum tersebut saja”
Adapun makna umum (العام) adalah:
اللفظ المستغرق لكل ما يصلح له دفعة واحدة
“Suatu lafadz yang meliputi seluruh apa saja yang bisa untuk dicakup dalam satu angkatan”
Contoh penerapan kaidah ini pada dalil berikut:
Hadist dari Abdullah bin Umar rodiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasul sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أحلت لنا ميتتان: الحوت والجراد
“Telah dihalalkan untuk kami dua bangkai: yakni ikan dan belalang” (H.R Ibnu Majah)
Dengan ayat pada firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai (secara umum)”. (al-Maidah:3).
Poin yang dipetik dari dua dalil diatas adalah: bahwa hadist bertentangan dengan ayat, karena hadist menegaskan secara khusus bahwa bangkai ikan dan belalang hukumnya halal, sedangkan ayat menegaskan bahwa bangkai apapun dengan berbagai ragamnya secara umum hukumnya adalah haram.
Pentarjihan: Yang dirajihkan adalah hadist atas ayat al-Quran, karena hadistnya mengandung makna khusus, sedangkan ayat mengandung makna umum. Jadi terkhusus untuk bangkai ikan dan belalang keluar dari hukum umum haramnya bangkai.
D. Kaidah keempat: Dalil yang muqayyad (المقيد) lebih dirajihkan daripada dalil yang mutlak (المطلق).
Jika terjadi pertentangan antara dua dalil yang mana salah satunya muqayyad dan lainnya mutlak, wajib untuk merojihkan yang muqayyad atas yang mutlak, dengan syarat keduanya sama-sama dalam masalah hukum dan sebab hukumnya. (al-Uddah Fi Ushuli al-Fiqh 2/628)
Lafadz mutlak (المطلق) maknanya adalah:
ما دل على الحقيقة بلا قيد
“Lafadz yang menunjukkan pada makna sebenarnya tanpa ada pengikat tertentu”.
Adapun muqayyad (المقيد) adalah:
ما دل على الحقيقة بقيد
“Lafadz yang menunjukkan pada makna sebenarnya dengan adanya syarat/pengikat tertentu”.
Contoh penerapan kaidah ini:
Ayat al-Quran pada surat al-An’am:
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
“kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”. (al-An’am:145).
Juga firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah (secara mutlak), dan daging babi”. (al-Baqarah:173).
Poin dari kedua ayat di atas adalah: bahwa ayat pertama mengesankan bertentangan dengan ayat kedua, karena ayat pertama memberikan informasi bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir saja (ada syarat/penyebutan sifat “mengalir”). Dan ayat yang kedua memberikan informasi bahwa darah yang diharamkan adalah darah secara mutlak (baik mengalir maupun tidak).
Pentarjihan: Pada kesempatan ini ayat yang pertama lebih dirajihkan atas ayat yang kedua, karena ayat yang pertama adalah ayat yang muqayyad (makna hakikatnya terikat dengan sifat tertentu) , adapun yang kedua disebutkan secara mutlak (makna hakikatnya tak terikat dengan kriteria/ciri tertentu). Jadi yang diharamkan itu adalah darah "yang mengalir", bukan darah secara mutlak (baik mengalir ataupun tidak).
Bersambung....
#PembelajarKecil-Kecilan.
#MohonKoreksiJikaAdaKesalahan.
Ustad setiawan