Kamis, 12 Januari 2023

Kisah palsu:Konon Imam Syafii sering bahkan setiap hari berziarah ke kuburan Imam Abu Hanifah

Kisah palsu:

Konon Imam Syafii sering bahkan setiap hari berziarah ke kuburan Imam Abu Hanifah. Menurutnya bila beliau memiliki suatu kebutuhan maka beliau shalat sunnah 2 rakaat, kemudian datang ke kuburan Imam Abu Hanifah dan selanjutnya berdoa kepada Allah memohon kebutuhannya itu.

Benarkah Asy-Syafi’iy Bertabarruk (ngalap berkah) dengan Kubur Abu Hanifah ?

Oleh : Ustadz Dony Arif Wibowo

Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahulah meriwayatkan :

أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي يقول اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى

Telah mengkabarkan kepada kami Al-Qaadliy Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Aliy bin Muhammad Ash-Shiimariy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kamu ‘Umar bin Ibraahiim Al-Muqri’, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Mukarram bin Ahmad, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Aliy bin Maimuun, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : 

“Sesungguhnya aku akan ber-tabarruk dengan Abu Haniifah. Aku akan datang ke kuburnya setiap hari – yaitu untuk berziarah – . Apabila aku mempunyai satu hajat, aku pun shalat dua raka’at lalu datang ke kuburnya untuk berdoa kepada Allah ta’ala tentang hajat tersebut di sisinya. Maka tidak lama setelah itu, hajatku pun terpenuhi” 
[Taariikh Baghdaad 1/123].

Kisah ini seringkali dibawakan untuk melegalkan amalan tabarruk kepada orang yang telah meninggal. Namun kisah ini tidak shahih. Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata :

فهذه رواية ضعيفة بل باطلة فإن عمر بن إسحاق بن إبراهيم غير معروف وليس له ذكر في شيء من كتب الرجال , و يحتمل أن يكون هو عمرو - بفتح العين - بن إسحاق بن إبراهيم بن حميد بن السكن أبو محمد التونسى و قد ترجمه الخطيب ( 12 / 226 ) . و ذكر أنه بخاري قدم بغداد حاجا سنة ( 341 ) و لم يذكر فيه جرحا و لا تعديلا فهو مجهول الحال , و يبعد أن يكون هو هذا إذ أن وفاة شيخه علي بن ميمون سنة ( 247 ) على أكثر الأقوال , فبين وفاتيهما نحو مائة سنة فيبعد أن يكون قد أدركه .

“Ini adalah riwayat yang lemah, bahkan baathil. ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim tidak dikenal, dan tidak disebutkan satupun dalam kitab-kitab rijaal. Kemungkinan ia adalah ‘Amr – dengan fathah pada huruf ‘ain – bin Ishaaq bin Ibraahiim bin Humaid bin As-Sakan Abu Muhammad At-Tuunisiy. Al-Khathiib telah menyebutkan biografinya (dalam At-Taariikh 12/226). Disebutkan bahwa ia orang Bukhara yang tiba di Baghdad pada perjalanan hajinya tahun 341 H. Tidak disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, sehingga ia seorang yang berstatus majhuul haal. Namun kemungkinan ini jauh saat diketahui gurunya yang bernama ‘Aliy bin Maimuun wafat pada tahun 247 H menurut mayoritas pendapat. Maka diperoleh penjelasan kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun sehingga jauh kemungkinan ia bertemu dengannya (‘Aliy bin Maimuun)” 
[Silsilah Ad-Dla’iifah, 1/78].

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين، أفضل من أبي حنيفة، وأمثاله من العلماء. فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده. ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه، مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم، لم يكونوا يتحرون الدعاء، لا عند قبر أبي حنيفة ولا غيره.

“Dan hal ini demikian juga telah diketahui sebagai kebohongan secara pasti yang dilakukan oleh orang yang mengetahui seluk-beluk penukilan, karena Asy-Syafi’iy saat tiba di Baghdad, tidak ada di kota tersebut kuburan yang dijadikan tempat khusus untuk berdoa. Bahkan ini tidak terjadi di masa Asy-Syafi’iy. Asy-Syafi’iy telah melihat kuburan para Nabi, para shahabat, dan tabi’in di Hijaaz, Yaman, Syaam, dan ‘Iraq, yang mereka itu menurutnya (Asy-Syafi’iy) dan kaum muslimin semuanya lebih utama dibandingkan Abu Hanifah dan yang semisalnya dari kalangan ulama. Lantas, bagaimana mungkin ia hanya menyengaja berdoa di sisi Abu Haniifah saja ? Kemudian para shahabat Abu Haniifah yang bertemu (semasa) dengannya seperti Abu Yusuf, Muhammad (bin Al-Hasan), Zufar, Al-Hasan bin Ziyaad, dan yang setingkat dengan mereka tidaklah bermaksud berdoa di sisi kubur Abu Haniifah ataupun yang lainnya” 
[Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim, 2/206].

Terkait dengan bahasan ini, Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup bagus :

فلو كان الدعاء عند القبور، والصلاة عندها، والتبرك بها فضيلة أو سنة أو مباحا، لفعل ذلك المهاجرين والأصار، وسنّوا ذلك لمن بعدهم، ولكن كانوا أعلم بالله ورسوله ودينه من الخلوف التي خلفت بعدهم، وكذلك التابعون لهم بإحسان راحوا على هذه السبيل، وقد كان عندهم من قبور أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بالأمصار عدد كثير، وهم متوافرون، فما منهم من استغاث عند قبر صاحب، ولا دعاه، ولا دعا به، ولا دعا عنده، ولا استشقى به، ولا استسقى به، ولا استنصر به، ومن المعلوم أن مثل هذا مما تتوفّر الهمم على نقله، بل على نقل ما دونه.

“Seandainya berdoa di sisi kuburan, shalat di sisinya, dan mencari berkah dengannya adalah suatu keutamaan atau sesuatu yang disunnahkan atau diperbolehkan; tentunya hal itu pernah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar, dan mencontohkannya kepada generasi setelah mereka. Akan tetapi mereka adalah orang yang lebih mengetahui tentang Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya daripada orang-orang yang datang belakangan setelah mereka. Seperti itulah, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’in) menempuh jalan ini, padahal di sekitar mereka banyak terdapat makam para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berada di berbagai negeri dan jumlah mereka (tabi’in) pun cukup banyak. Namun, tidak ada seorang pun yang meminta pertolongan (istighatsah) di sisi makam seorang shahabat, tidak juga berdoa kepadanya, berdoa dengan perantaraannya, berdoa di sisinya, meminta kesembuhan, meminta hujan, dan meminta pertolongan dengannya. Sebagaimana diketahui bahwa hal seperti ini termasuk sesuatu yang memiliki perhatian penuh untuk diriwayatkan, bahkan meriwayatkan hal yang lebih rendah daripada itu” 
[Ighaatsatul-Lahfaan, 1/204 dengan sedikit perubahan – dinukil melalui perantaraan At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir Al-Judai’, hal. 405].

Demikian risalah kecil ini dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallahu a'lam

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/12/asy-syafiiy-bertabarruk-dengan-kubur.html?m=1