Coret Mata?
Gambar makhluk bernyawa jika dicoret matanya atau dihilangkan matanya apakah menjadi boleh digambar atau dimanfaatkan?
Jawaban dewan fatwa IslamWeb:
فإذا أبقيت من الصورة ما لا تبقى معه حياة، فلا بأس بها وأما مجرد تغميض العين، أو مسحها، فلا يكفي؛ لبقاء الحياة مع ذلك، ولكن يمكنك إزالة ملامح الوجه بالكلية
"Jika dengan sifat-sifat gambar sedemikian rupa hingga tidak layak disebut makhluk yang memiliki nyawa, maka tidak mengapa. Adapun sekedar memejamkan mata atau menghapus mata, maka ini tidak cukup. Karena masih dianggap sebagai makhluk yang memiliki nyawa. Maka solusinya adalah dihapus seluruh wajahnya" (Fatwa nomor 278743).
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushabi mengatakan:
هل يكفي طمس العينين أم لا بد من طمس الوجه؟ الجواب لا بد من طمس الوجه بكامله
"Apakah cukup menghapus kedua mata? Ataukah harus menghapus seluruh wajah? Jawabnya, harus menghapus seluruh wajahnya dengan sempurna" (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=YGmWa1YXhdQ).
Adapun yang difatwakan oleh Syaikh Ibnu Al Utsaimin, beliau mengatakan:
إذا لم تكن الصورة واضحة، أي: ليس فيها عين، ولا أنف، ولا فم، ولا أصابع: فهذه ليست صورة كاملة، ولا مضاهية لخلق الله عز وجل
“Jika gambar makhluk bernyawa tersebut tidak jelas, yaitu tidak ada matanya, tidak ada hidungnya, tidak ada mulutnya, dan tidak ada jari-jarinya, maka ini bukan gambar makhluk bernyawa yang sempurna dan tidak termasuk menandingi ciptaan Allah” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 2/278-279).
Di sini beliau menyebutkan "mata", "hidung" , "mulut", "jari-jari". Perkataan beliau ini tidak bisa dipahami bahwa boleh memilih salah satu untuk dihilangkan.
Jika dipahami demikian maka berarti boleh menggambar atau memanfaatkan makhluk bernyawa yang hanya dihilangkan jari-jemarinya. Ini malah akan bertabrakan dengan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu ’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ
“Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah” (HR. Al Baihaqi no.14580 secara mauquf dari Ibnu Abbas, Al Ismai’ili dalam Mu’jam Asy Syuyukh no. 291 secara marfu‘. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1921).
Maka maksud perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas (dan di fatwa-fatwa lainnya) adalah dihilangkan semuanya, yaitu mata, hidung, mulut dan jari-jemari. Sehingga gambarnya tidak sempurna sebagai makhluk bernyawa.
Dalam masalah hukum gambar, ada 2 masalah yang perlu dibedakan:
1. Masalah membuat gambar
2. Masalah memanfaatkan gambar
Maka, dari penjelasan di atas. Tidak boleh membuat gambar makhluk bernyawa yang sekedar memejamkan mata atau dihapus matanya. Juga tidak boleh memanfaatkan gambar yang sekedar memejamkan mata atau dihapus matanya.
Namun untuk masalah kedua (memanfaatkan gambar), ada satu masalah lagi. Yaitu, bagaimana jika gambarnya berupa gambar digital, bukan gambar yang dicetak?
Ini dibolehkan oleh sebagian ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid mengatakan:
الصور التي على الجوال وفي أجهزة الحاسب ، وما يصور بالفيديو ، لا تأخذ حكم الصور الفوتوغرافية ، لعدم ثباتها ، وبقائها ، إلا أن تُخرج وتطبع ، وعليه فلا حرج في الاحتفاظ بها على الجوال ، ما لم تكن مشتملة على شيء محرم ، كما لو كانت صوراً لنساء
“Foto yang ada di HP atau di komputer, atau yang dibuat dengan video, tidak sama hukumnya dengan foto hasil jepretan kamera. Karena ia tidak tsabat (tetap) dan tidak baqa’ (selalu ada dzatnya). Kecuali jika di-print (dicetak). Oleh karena itu tidak mengapa menyimpannya di HP selama tidak mengandung perkara yang haram, seperti misalnya foto wanita” (Sumber: https://islamqa.info/ar/91356).
Maka gambar digital, baik buatan tangan atau foto, boleh dimanfaatkan walaupun berupa gambar makhluk bernyawa yang sempurna. Tidak harus dihapus wajahnya atau kepalanya. Karena gambar ini sifatnya tidak tetap.
Oleh karena itu kita melihat sebagian ulama zaman sekarang yang memanfaatkan media sosial dalam berdakwah, mereka memasang foto mereka di akun media sosial.
Namun andaikan seseorang ingin berhati-hati, maka menghilangkan kepala atau wajah pada gambar digital, itu lebih utama. Mengingat sebagian ulama melarang secara mutlak termasuk gambar digital.
KESIMPULAN
* Jika anda tukang gambar, maka tidak boleh menggambar makhluk bernyawa secara sempurna atau hanya dihilangkan matanya. Hindari menggambar makhluk bernyawa sama sekali, atau jika tetap ingin menggambar, maka hilangkan wajahnya atau kepalanya.
* Jika anda memanfaatkan gambar makhluk bernyawa yang tercetak (gambar fisik), maka tidak boleh memanfaatkan gambar makhluk bernyawa yang sempurna atau hanya dihilangkan matanya. Hindari pemanfaatan gambar makhluk bernyawa atau hilangkan seluruh wajahnya.
* Jika anda memanfaatkan gambar makhluk bernyawa yang tidak tercetak (digital), maka boleh dimanfaatkan baik dihapus wajahnya ataupun tidak. Namun dihapus wajahnya itu lebih berhati-hati. Dengan catatan pemanfaatan gambar tersebut mubah, tidak mengandung keharaman seperti: gambar wanita, gambar hoax, gambar aurat, dll.
Wallahu a'lam.
Join channel telegram @fawaid_kangaswad