Senin, 15 Juli 2019

Taqrib al baiquniyah

⭐Taqrib Al-Baiquniyah (7)⭐

👉🏻 "Syarat Hadis Shahih Ketiga: Rawinya Taamm Adh-Dhabt."

✍🏻 Rawi hadis shahih li dzatihi harus Taamm Adh-Dhabt. Taam Adh-Dhabt artinya kekuatan hafalan seluruh hadis hafalannya harus kuat dan sempurna. Ia bisa salah atau lupa dalam meriwayatkan hadis lantaran ia juga manusia biasa, tapi persentasenya sangat sedikit (misalnya di bawah 25%).

✍🏻 Bila persentase kesalahan rawi pada seluruh hadis-hadisnya sekitar 25% maka ia disebut Shaduq dan hadisnya dihukumi hasan. Bila sampai 50% ke atas maka rawi itu disebut Sayyiul-Hifdzhi atau Dha'if (buruk hafalannya). Ini cuma pendekatan rasionalitas.

✍🏻 Nah, sudah tahu kan kehebatan para ulama hadis? Puluhan ribu rawi hadis itu mereka cek ketepatan hafalannya satu per satu. Dalam satu rawi saja, mereka tidak hanya mencek ketepatan ratusan atau puluhan hadis yang ia hafalkan dan riwayatkan, tapi juga mereka mencek TTLnya, tahun wafatnya, nama-nama gurunya-muridnya, di mana saja ia rihlah menuntut ilmu, kapan hafalannya berubah jadi dhaif, siapa guru atau murid utamanya, dll.

✍🏻 Para ulama hadis membagi jenis Dhabt (hafalan) ini dalam dua jenis:

1-Dhabt Ash-Shadr, alias Hafalan hadis di luar kepala. Maknanya adalah seorang rawi menguatkan hafalan hadis yang ia riwayatkan sehingga ia bisa mengucapkan hadis itu kapan saja tanpa melihat buku atau murajaah dulu.

2- Dhabt Al-Kitab, alias Hafalan atau penjagaan hadis lewat buku. Maknanya adalah seorang rawi yang menulis hadis dalam bukunya, ia menjaga tulisan hadisnya tersebut agar tidak dirubah atau terhapus, sejak ia menuliskan hadis itu dari lisan gurunya sampai ia meriwayatkan hadis itu lewat bacaan tulisannya itu kepada murid-muridnya.

✍🏻 Nah, rawi yang tidak kuat hafalannya, namun buku catatan hadisnya terjaga, maka ia bisa diterima hadisnya kalau meriwayatkan hadis itu lewat bacaan bukunya, tapi kalau lewat hafalannya maka hadisnya dianggap lemah, karena hafalannya lemah. Contoh rawi seperti ini adalah Al-Laits bin Abi Sulaim.

✍🏻 Namun, bila ada rawi yang buku catatan hadisnya ia tidak jaga sehingga dirubah oleh orang lain, seperti warraaq/sekretarisnya, atau anaknya; maka riwayatnya rawi tersebut akan ditinggalkan karena buku catatan hadis yang ia meriwayatkan darinya sudah dirubah sehingga tidak lagi diketahui antara yang sabda Nabi dan mana yang bukan. Rawi seperti ini contohnya adalah Sufyan bin Waki' Ar-Ruasiy. Meskipun ia Shaduq, tapi karena sekretarisnya merubah catatan bukunya, maka riwayat Sufyan bin Waki' ini didaifkan.

✍🏻 Demikian pula bila seorang rawi memiliki buku salinan hadis dari sebuah buku hadis (ashlun), lalu ia tidak mencocokkan buku salinannya tersebut dengan buku aslinya untuk tujuan pentashihan tulisan, maka para ulama hadis tidak menerima riwayat dari buku salinannya tersebut, kecuali dengan beberapa syarat: buku salinan hadis itu disalin dari buku hadis yang diakui (ashlun mu'tamad), penyalin catatan hadis itu profesional (mutqin) dalam menyalin, dan ketika meriwayatkan hadis dari buku salinan itu perawi hendaknya menjelaskan pada murid-muridnya bahwa ia belum mencocokkan hadisnya tersebut dengan buku aslinya.

✍🏻 Poin terakhir ini, bila tidak dipahami, maka tidak ada problem, karena ia adalah salah satu kajian ilmu hadis yang sudah jarang dipraktikkan dalam kajian takhrij/penelitian hadis. Hanya saja, kita bisa mengambil satu manfaat bahwa ahli hadis sangat detail dan hati-hati; sampai-sampai salinan buku hadis yang belum dicocokkan kembali dengan buku aslinya tidak dapat diterima kecuali dengan syarat-syarat yang sangat ketat.

✍🏻 Bila hafalan luar kepala atau Dhabt Ash-Shadr seorang rawi lemah, maka ada 5 kemungkinan bagi rawi tersebut, yaitu: (Fuhsy Al-Galath, Syiddah Al-Gaflah, Katsrah Al-Wahm, Katsrah Al-Mukhalafah, dan Suu'ul-Hifdzhi). Apa makna 5 istilah ini? Silakan merujuk pada bahasan "Klasifikasi Hadis" sebelumnya, atau nantikan bahasannya secara lebih luas pada pembahasan "Hadis Dha'if", insya Allah.

📚 Chanel "Fawaid Ilmu Hadis" 📚
( t.me/maulanalaeda )

🌹Semoga bermanfaat dan mudah dipahami. Aamiin.🌹