📚 Taqrib Al-Baiquniyah (15) 📚
👉🏻 "Seputar Syarat-Syarat Pengamalan Hadis Dha'if"
✍🏻 Secara umum, para Ahli Hadis mutaqaddimin dan mutakhirin hampir seluruhnya menyatakan bahwa Hadis Dha'if tidak bisa diamalkan dalam persoalan Akidah dan Halal Haram. Mereka hanya berbeda pendapat terkait pengamalannya dalam persoalan Fadilah Amal atau Targib dan Tarhib. Di antara mereka ada yang melarangnya secara mutlak, dan di antara mereka ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat yang super ketat.
✍🏻 Tentunya pandangan yang menyatakan bahwa Hadis Dha'if tertolak dalam seluruh bidang agama termasuk Fadilah Amal adalah pandangan yang sangat hati-hati, karena Hadis Dha'if itu adalah prasangka yang kurang kuat (Dzhann Marjuuh), sehingga tidak bisa dinisbahkan kepada Nabi shallallahu'alaihi wasallam secara tegas, tapi disebutkan harus dengan isyarat bahwa hadis itu dha'if. Pandangan ini dinisbahkan kepada banyak imam ahli hadis seperti Ibnu Ma'in, Bukhari, Abu Hatim, Abu Zur'ah dan Muslim.
✍🏻 Adapun pendapat banyak para ulama bahwa Hadis Dha'if bisa diamalkan dalam persoalan Fadilah Amal, maka tidak bisa disalahkan juga sepenuhnya, bila syarat-syarat yang mereka tetapkan dipenuhi secara baik dan tepat. Pandangan ini dinisbahkan kepada beberapa ulama seperti Imam Ats-Tsauri, Ahmad, dan kebanyakan ulama mutakhirin.
✍🏻 Nah, syarat-syarat pengamalan Hadis Dha'if dalam Fadilah Amal yang disebutkan oleh para ulama yang berpandangan demikian adalah:
⚡1- Hadis itu kadar daifnya tidak parah (bukan Dha'if Jiddan). Artinya kadar daifnya cuma ringan. Adapun kalau sudah "dha'if jiddan", atau "syadz/munkar", atau "matruk"; maka tidak bisa diterima. Dalam Al-Qaul Al-Badi' (255), As-Sakhawiy menukil dari Al-'Alaa`iy bahwa para ulama yang mengamalkan Hadis Dhaif dalam Fadilah Amal sepakat menetapkan syarat pertama ini.
⚡2- Tidak meyakini 100% akan kebenarannya. Tapi, cukup meyakini hal itu sebagai fadilah yang bisa benar dan bisa tidak benar, agar tidak menisbahkan pada Nabi shallallahu'alaihi wasallam suatu hadis yang sangat diragukan kebenarannya bersumber dari beliau. Hanya saja ia diambil sebagai ihtiyath atau sebagai harapan agar bisa mendapatkannya bila ia fadilah (Targib), dan terjauhkan darinya bila ia ancaman (Tarhib).
⚡3- Fadilah yang ada dalam hadis itu adalah sebuah fadilah untuk amalan yang sudah ditunjukkan dalil umum. Bukan untuk amalan yang tidak ada dalilnya. Ini ditegaskan oleh banyak ulama termasuk As-Sakhawiy dalam Al-Qaul Al-Badi' (255) dan As-Suyuthiy dalam At-Tadrib (1/351).
⚡4- Karena ia adalah Hadis Dha'if, maka ketika kita menyampaikannya kepada orang lain, kita harus menjelaskan bahwa ia Hadis Dha'if, serta dengan nukilan yang tidak secara tegas menisbahkannya pada Nabi shallallahu'alaihi wasallam. Tapi, cukup dikatakan "disebutkan dalam hadis begini dan begini" atau "diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda begini dan begini." Ini tentunya bertujuan agar Hadis Dha'if ini tidak dianggap sebagai Hadis Shahih, apalagi kalau yang menyampaikannya ulama, ustaz atau kyai. (Dari Syuruh Al-Baiquniyyah dan berbagai sumber)
✍🏻 Dengan syarat-syarat ketat ini, hendaknya seseorang tidak sembarangan menyebarkan dan mengamalkan Hadis Dha'if dalam Fadilah Amal kecuali setelah yakin syarat-syarat tersebut di atas telah dipenuhi. Juga, tidak boleh mentaklid para ulama yang bermudah-mudahan dalam menyebarkan Hadis Dha'if Jiddan, Munkar atau Palsu dalam Fadilah Amal ini, seperti yang banyak terdapat dalam Kitab Ihya' Ulumuddin dan Kitab Fadhail-A'mal. Tapi, sebelum menyebarkannya hendaknya memperhatikan syarat-syarat di atas.
✍🏻 Kehati-hatian untuk tidak menerima Hadis Dha'if dalam Fadilah Amal, atau menyebutkannya dengan menjelaskan kedaifannya adalah sebuah tuntutan dan kehati-hatian, karena betapa banyak sikap bermudah-mudahan mengamalkan Hadis Dha'if dalam Fadilah Amal ini membuka pintu lebar-lebar penyebaran hadis palsu atau Maudhu' dan Hadis Munkar. Allaahu a'lam.
🌹Semoga bermanfaat!
🖌 Chanel "Fawaid Ilmu Hadis"
[ https://t.me/maulanaeda ]