Selasa, 11 Juni 2024

Penjelasan Adz-Dzahabiy tentang (Dzat) Allah di atas Langit

Penjelasan Adz-Dzahabiy tentang (Dzat) Allah di atas Langit

Adz-Dzahabiy rahimahullah mempunyai penjelasan yang menarik pada bahasan yang tertera dalam judul. Beliau rahimahullah saat menyebutkan perkataan ulama besar madzhab Maalikiyyah, Ibnu Abi Zaid rahimahullah :

وأنه تعالى فوق عرشه المجيد بذاته وأنه في كل مكان بعلمه

“Dan bahwasannya Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya yang mulia dengan Dzat-Nya, dan ia berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya”.[1]

Kemudian mengomentarinya sebagai berikut :

وقد تقدم مثل هذه العبارة عن أبي جعفر بن أبي شيبة وعثمان بن سعيد الدارمي وكذلك أطلقها يحيى بن عمار واعظ سجستان في رسالته والحافظ أبو نصر الوائلي السجزي في كتاب الإبانة له فإنه قال وأئمتنا كالثوري ومالك والحماد وابن عيينة وابن المبارك والفضيل وأحمد وإسحاق متفقون على أن الله فوق العرش بذاته وأن علمه بكل مكان

وكذلك أطلقها ابن عبد البر كما سياتي

وكذا عبارة شيخ الإسلام أبي إسماعيل الأنصاري فإنه قال وفي أخبار شتى أن الله في السماء السابعة على العرش بنفسه وكذا قال أبو الحسن الكرجي الشافعي في تلك القصيدة

عقائدهم أن الإله بذاته ... على عرشه مع علمه بالغوائب

وعلى هذه القصيدة مكتوب بخط العلامة تقي الدين بن الصلاح هذه عقيدة أهل السنة وأصحاب الحديث

وكذا أطلق هذه اللفظة أحمد بن ثابت الطرقي الحافظ والشيخ عبد القادر الجيلي والمفتي عبد العزيز القحيطي وطائفة

والله تعالى خالق كل شيء بذاته ومدبر الخلائق بذاته بلا معين ولا مؤازر

وإنما أراد ابن أبي زيد وغيره التفرقة بين كونه تعالى معنا وبين كونه تعالى فوق العرش فهو كما قال ومعنا بالعلم وأنه على العرش كما أعلمنا حيث يقول الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

وقد تلفظ بالكلمة المذكورة جماعة من العلماء كما قدمناه. وبلا ريب أن فضول الكلام تركه من حسن الإسلام

“Telah berlalu perkataan semisal dari Abu Ja’far bin Abi Syaibah dan ‘Utsmaan Ad-Daarimiy. Begitu juga hal tersebut diungkapkan oleh Yahyaa bin ‘Ammaar, penasihat negeri Sijistaan, dalam risalahnya, Al-Haafizh Abu Nashr Al-Waailiy As-Sijziy dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah, dimana ia berkata : ‘Dan para imam kami seperti Ats-Tsauriy, Maalik, Hammaad, Ibnu ‘Uyainah, Ibnul-Mubaarak, Al-Fudhail, Ahmad, dan Ishaaq telah bersepakat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat’.

Dan begitu juga yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr sebagaimana akan datang penjelasannya.

Dan begitu pula perkataan Syaikhul-Islaam Abu Ismaa’iil Al-Anshaariy yang berkata : ‘Dalam khabar-khabar yang berlainan disebutkan bahwa Allah berada di atas langit yang tujuh di atas ‘Arsy dengan diri-Nya’.

Begitu pula yang dikatakan oleh Abul-Hasan Al-Karjiy Asy-Syaafi’iy dalam qashidah berikut :

‘Aqidah mereka menyatakan bahwa Tuhan dengan Dzat-Nya di atas ‘Arsy-Nya, (dan) bersama ilmu-Nya terhadap hal-hal yang ghaib.

Dan bersamaan dengan qashidah ini tertulis khath (tulisan tangan) Al-‘Allaamah Taqiyyuddiin Ibnu Shalaah. Ini adalah ‘aqidah Ahlus-Sunnah dan ahli hadits.

Dan begitu pula lafazh ini dikatakan oleh Ahmad bin Tsaabit Ath-Thuraqiy Al-Haafizh, Asy-Syaikh ‘Abdul-Qaadir Al-Jiiliy, mufti ‘Abdul-‘Aziiz Al-Qahiithiy, dan sekelompok ulama yang lain. Allah ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu dengan Dzat-Nya, Pengatur makhluk-makhluk dengan Dzat-Nya, tanpa pembantu dan penolong.

Yang diinginkan oleh Ibnu Abi Zaid dan ulama lainnya adalah adanya perbedaan antara keberadaan Allah ta’ala bersama kita dan keberadaan-Nya ta’ala di atas ‘Arsy. Maka, Allah adalah sebagaimana yang Ia firmankan (atas diri-Nya), Ia bersama kita dengan ilmu-Nya, dan Ia (tetap) berada di atas langit sebagaimana yang telah Ia beritahukan kepada kita dalam firman-Nya : ‘Allah Yang Maha Pengasih beristiwaa’ di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).

Sekelompok ulama telah mengucapkan dengan kalimat tersebut sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. Dan tidak diragukan lagi, bahwa menambah perkataan yang tidak diperlukan, maka meninggalkannya termasuk kebaikan dalam Islam.....”

[selesai kutipan dari Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 255-256]

Perkataan Adz-Dzahabiy yang terakhir di atas bukan untuk menolak makna yang ada dalam frase ‘bi-dzaatihi’, karena ia sendiri mengakuinya sebagaimana tergambar dalam kalimat-kalimat sebelumnya. Akan tetapi menurutnya penambahan frase ini tidak diperlukan karena maknanya sudah tercakup dalam keumuman dalil-dalil yang ada.

Wallaahu a’lam.

Semoga ada manfaatnya.

[1] Ar-Risaalah hal. 20, cetakan Maroko. Dan perkataan semisal disebutkan dalam Mukhtashar Al-Mudawwanah karangannya, sebagaimana terdapat dalam Al-Juyuusy Al-Islaamiyyah hal. 54 yang di dalamnya terdapat bantahan terhadap orang yang mengingkari tetapnya lafazh ‘dengan Dzat-Nya (bi-dzaatihi)’.

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/09/penjelasan-adz-dzahabiy-tentang-dzat.html?m=1