Kamis, 27 Juni 2024

Pembahasan Syarah Al-Aqidah as-Syafaariniyyah.Syaikh Dr. Abdul Muhsin az-Zakary hafizhahullah SYARAH AQIDAH AS-SAFARINIYYAH

#Ma’had_Al_Ukhuwah_Al-Islamiy
#DaurahTawangmangu_ke5
#Fawaid_Daurah_Syar’iyyah

Daurah Syar’iyyah ke-5 Tawangmangu
Tulisan KEEMPAT

Pembahasan Syarah Al-Aqidah as-Syafaariniyyah.
Syaikh Dr. Abdul Muhsin  az-Zakary hafizhahullah

SYARAH AQIDAH AS-SAFARINIYYAH

الباب الأول
في معرفة الله تعالى

BAB PERTAMA
TENTANG MA’RIFATILLAH  Ta’ala

32. أول واجب على العبيد … معرفة الإله بالتسديد

32. Pertama kali kewajiban atas seorang hamba adalah 
Mengenal al-Ilah (sesembahan) dengan cara yang benar.

33. بأنه واحد لا نظير … له ولا شبه ولا وزير

33. Allah adalah Esa tidak ada tandingan
Baginya tidak ada yang serupa dan tidak ada pembantu-Nya

34. صفاته كذاته قديمة … أسماؤه ثابتة عظيمة

34. Sifat-sifat-Nya seperti Zat-Nya yang qadim (tidak diciptakan) ... Nama-nama-Nya tetap dan agung.

35. لكنها في الحق توقيفية … لنا بذا أدلة وفيه

35. Namun, dalam hakikatnya sifat-sifat itu ditetapkan oleh syariat ... bagi kita ada dalil-dalil dan dalam hal ini.

36. له الحياة والكلام والبصر … سمع إرادة وعلم  واقتدر

36. Dia memiliki kehidupan, ucapan, dan penglihatan ... pendengaran, kehendak, dan ilmu dan kekuasaan.

37. بقدرة تعلقت بممكن … كذا إرادة فع واستبن

37. Dengan kekuasaan yang terkait dengan hal yang mungkin ... begitu juga dengan kehendak, pahamilah dengan jelas.

38. والعلم والكلام قد تعلقا … بكل شيء يا خليلي مطلقا

38. Dan ilmu serta ucapan-Nya terkait ... dengan segala sesuatu, wahai sahabatku, secara mutlak.

39. وسمعه سبحانه كالبصر … بكل مسموع وكل مبصر
Lihat syarah nya Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah

39. Dan pendengaran-Nya, Maha Suci Dia, seperti penglihatan-Nya ... terhadap segala yang terdengar dan terlihat.

Syaikh hafizhahullah menjelaskan:

Baik, selalu ulangi pembacaan bait-bait syairnya untuk menambah pemahaman. Dikatakan bahwa kewajiban pertama bagi hamba adalah mengenal Rabb dengan benar. Tidak diragukan lagi, semua Nabi ‘alaihumussalam mengajarkan bahwa tujuan dakwah mereka adalah untuk menyembah Allah semata dan mengenal-Nya, bukan untuk mengenal diri mereka sendiri kecuali dalam hal yang berkaitan dengan Risalah Rabb kepada kitaa semua. Inilah kewajiban pertama. Oleh karena itu, sebelum kita masuk dalam diskusi panjang dengan non-Muslim untuk meyakinkan mereka tentang Islam, kita harus memulai dengan tauhid, karena ini lebih berpengaruh. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Zakir Naik, dakwah tauhid adalah tahap paling penting dalam dakwah kepada Allah.

Jika seseorang beriman kepada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, dan mengakui-Nya, maka ia akan beriman kepada hak-Nya dalam menetapkan syariat. Setelah itu, barulah masuk dalam pembahasan tentang mukjizat ilmiah dalam Al-Qur'an dan as-sunnah, serta syariat lainnya. Dikatakan bahwa mengenal Allah dengan benar adalah jalan yang lurus. Kami katakan bahwa menyusun sistematika dalam mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah baik, begitu juga ceramah-ceramah tentang mengagungkan Allah dan menjelaskan kedudukan-Nya yang tinggi. 

Dikatakan bahwa Allah Maha Esa, tiada tandingan. Artinya, tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Kita mengatakan, "Aku bersaksi bahwa tiada Rabb selain Allah," artinya tiada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, meskipun ada yang disembah selain Allah, namun tiada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Bahwa Allah Maha Esa dalam Dzat-Nya, dalam nama-nama-Nya, dalam sifat-sifat-Nya, dan dalam hak-Nya untuk diibadahi. Oleh karena itu, tauhid dibagi menjadi tiga bagian: 
tauhid RUBUBIYAH (Mentauhidkan Allah dalam Perbuatan Allah terhadap makhluk – Allah Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Menguasai dan lainnya), yang mengarah kepada 
tauhid ULUHIYAH (Mentauhidkan Allah dalam ibadah, hanya beribadah kepada Allah), dan
 tauhid ASMA WA SIFAT (Mentauhidkan Allah dalam seluruh Nama dan Sifat Allah). 
Sebagian ulama membaginya menjadi dua bagian: tauhid ilmiah khabariyah (tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat) dan tauhid amali (tauhid uluhiyah) karena Allah Maha Esa, tiada tandingan. La ilaha illa Allah, tiada sesembahan yang berhak diiibadahi dengan benar selain Allah.

Baik bukan Isa putra Maryam, bukan Nabi Muhammad ﷺ, bukan Husain, maupun yang lainnya, tidak ada sesembahan selain Allah. Maha Suci Dia, tiada banding dan tiada yang serupa. Tiada ada pembantu bagi-Nya. Tiada makhluk yang menyerupai-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi. Sebagaimana zat-Nya berbeda dengan zat makhluk, demikian juga sifat-sifat-Nya berbeda dengan sifat makhluk. Oleh karena itu, mereka yang tersesat dalam pengagungan yang berlebihan mengaitkan ilmu gaib atau kekuasaan kepada wali atau lainnya. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesejahteraan. 

Sifat-sifat-Nya, seperti Dzat-Nya, adalah qadim yang berarti sudah ada sejak dulu bersama-Nya. Allah SWT adalah yang pertama dalam nama-nama, sifat-sifat, dan dzat-Nya. Nama-nama-Nya adalah tetap dan agung. Dia menamai dirinya, seperti yang disebutkan oleh Nabi-Nya ﷺ. Oleh karena itu, kita tidak membantah atau menolak nama-nama tersebut dan kita beriman kepada-Nya. Manusia tidak wajib menghafal nama-nama dan sifat-sifat tersebut, seperti halnya tidak diwajibkan untuk menghafal nama-nama para rasul. Namun, iman secara keseluruhan terkait dengan apa yang dia lihat atau ketahui tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Namun, dalam kenyataannya, ini harus mengikuti dalil.

Dan ini, seluruh Ahlussunnah bersepakat tentang hal itu. Kami memiliki bukti-bukti tentangnya. Kemudian menyebutkan sifat-sifatnya seperti yang mereka katakan, sifat dzatiyah dan hijaiyah, terpengaruh oleh ilmu kalam. Ia memiliki kehidupan, pembicaraan, dan penglihatan. Hingga para pengikut Ahlussunnah yang mengaku termasuk Ahlussunnah, sebagian mereka terkadang dipengaruhi oleh paham Mu'tazilah dalam menolak sifat kalam Allah. Dan terkadang muncul dalam tafsir "inna anzalnahu fi laylatil qadr", mereka mengatakan bahwa Jibril turun membawanya dari Lauh Mahfuzh. Kemudian mereka menganggap bahwa Jibril yang membawa wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan Allah tidak berbicara dengannya kapan saja Allah mau sesuai dengan kehendak-Nya.

 Ini adalah masalah yang telah diperhatikan oleh beberapa ulama bahwa bagi Allah memiliki kehidupan, perkataan, penglihatan, pendengaran, keinginan, ilmu, dan kekuasaan. Juga, beberapa ahli bid’ah dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Allah mendengar tanpa pendengaran dan melihat tanpa penglihatan, berbicara tanpa ini itu. Sebaliknya, ketika Anda mengatakan ini, Anda telah menyerupakan Allah terlebih dahulu kemudian melarangnya. Manusia mengetahui bahwa akal mereka terbatas, dan pada zaman sekarang ini kita mengatakan bahwa ponsel berbicara; apakah ia memiliki lidah? Itu tidak mengharuskan bicara. 

Allah lebih mengetahui tentang diri-Nya sendiri. Kita mengatakan seperti yang difirmankan Allah bahwa Dia berbicara kepada Nabi Musa dengan nyata. Apakah kalian mengenal Amir Khalid bin Abdullah al-Qasri (seorang gubernur Irak pada zaman Bani Umayah) ? Ketika dia berkata: "Berkurbanlah, semoga Allah menerima kurban kalian, sebab aku akan mengurbankan Ja’ad bin Dirham (Dia adalah gembong ahli bid’ah. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Alquran bukan Kalamullah melainkan makhluk. Dia pencetus bid’ah ta’thil (penafsiran sifat-sifat Allah). Dia menyatakan bahwa Allah tidak punya tangan, tidak berbicara kepada Nabi Musa, tidak menjadikan Nabi Ibrahim sebagai khalil (kekasih)-Nya, dan penafian sifat Allah lainnya. Dia adalah guru Jahm bin Shofwan yang padanya dinisbahkan sebuah kelompok sesat menyesatkan, Jahmiyyah)." Karena Ja’ad bin Dirham  berkata bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa secara nyata. Dia mengatakan bahwa kekuasaan Allah terkait dengan sesuatu yang mungkin juga termasuk dalam terminologi kalam. Kita mengatakan kekuasaan-Nya dalam hal-hal yang mungkin terjadi. Siapakah kita untuk menentukan kemungkinan? Jelas? Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan kita berhenti di situ. Tidak perlu mengkaitkan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya. 

Ini adalah masalah yang telah diperhatikan oleh beberapa ulama bahwa bagi Allah memiliki kehidupan, perkataan, penglihatan, pendengaran, keinginan, ilmu, dan kekuasaan. Juga, beberapa ahli bid’ah dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Allah mendengar tanpa pendengaran dan melihat tanpa penglihatan, berbicara tanpa ini itu. Sebaliknya, ketika Anda mengatakan ini, Anda telah menyerupakan Allah terlebih dahulu kemudian melarangnya. Manusia mengetahui bahwa akal mereka terbatas, dan pada zaman sekarang ini kita mengatakan bahwa ponsel berbicara; apakah ia memiliki lidah? Itu tidak mengharuskan bicara. 

Bersambung inSya Allah dengan tulisan kelima 

Akhukum Zaki Rakhmawan Abu Usaid