Selasa, 11 Juni 2024

ALLAH BERISTIWA’ DI ATAS 'ARASY DENGAN DZATNYA

ALLAH BERISTIWA’ DI ATAS 'ARASY DENGAN DZATNYA

Al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt merupakan tema yang kerap kali hangat (bahkan panas) diperdebatkan, khususnya di era medsos saat ini. Salah satu isunya adalah tentang “Allah beristiwa’ di atas 'Arasy”, benarkah Allah beristiwa’ diatas 'Arasy? Jika benar, yang beristiwa’ itu dzat Allah atau bukan? 

Takkan ada asap jikalau tak ada api, begitu pula dengan perselisihan tentang Allah beristiwa’ di atas 'Arasy, yang memiliki akar muakar yang rumit. Tanpa mengetahui akar tersebut, kita tidak akan benar-benar paham apa yang membuat para tokoh dahulu berdebat mengenai masalah ini, dan tentu kita tidak akan betul-betul tahu pendirian Ahlussunnah dalam masalah ini dengan baik dan benar. 

Akhir-akhir ini dimunculkan lagi syubhat mengenai hal ini, bahwa Allah beristiwa’ di atas 'Arasy itu secara maknawi saja, hakikatnya tidak. Dalilnya, nash hanya mengatakan “Allah beristiwa’ di atas 'Arasy” tanpa menambah kata “dengan dzat-Nya”. Dalihnya, Salaf Ahlussunnah hanya mentafwīḍ, bukan mengisbat, dan “qarinahnya adalah Salaf tidak menambah lebih dari apa yang wārid". Benarkah demikian?

1⃣ Dalam kalimat perkataan, ta‘kīd (penegasan) hanya dibuat ketika diperlukan. Tatkala sesuatu itu sudah jelas dan dirasakan tidak akan menimbulkan kekeliruan atau salah paham, maka ta‘kīd tidak diperlukan. Kata-kata “Allah di atas 'Arasy” sudah jelas bermaksud bahwa dzat-Nya berada di atas 'Arasy, itulah sebabnya salaf tidak membuat penambahan “dengan dzat-Nya.” 

Jika ketiadaan “dengan dzat-Nya” menunjukkan salaf tidak mengisbatkan Allah di atas 'Arasy secara hakiki, maka ternyata salaf juga tidak mengatakan bahwa Allah berkalam dengan “dzat-Nya”. Apakah ini bermakna salaf tidak mengisbat sifat Kalam secara hakiki? atau, yang berkalam kepada Nabi Musa, Nabi Muhammad, dan Malaikat Jibril itu bukan dzat Allah!?  

2⃣ Selepas generasi salaf berlalu, banyak ulama Ahlussunnah memberi tambahan “dengan dzat-Nya” sebagai penegasan untuk menolak paham sesat muktazilah bahwa Allah tidak di atas 'Arsy atau paham sesat jahmiyyah bahwa Allah ada dimana-mana. Ulama Ahlussunnah yang kali pertama menambah kata “dengan Dzat-Nya” adalah Imam Abū Sa‘īd Uṡmān Ad-Dārimī Asy-Syāfi‘ī (w. 280 H) ketika membantah ide liar Bisyr Al-Marisī yang mengatakan bahwa Allah berada di segala sesuatu (semua tempat). 

Setelah itu bermunculan ulama-ulama Ahlussunnah yang turut memberi tambahan “dengan dzat-Nya” untuk mengingkari wahm atau takwilan asyā‘irah bahwa yang dimaksud dengan kalimat “Allah di atas 'Arasy” adalah ‘uluww manzilah atau ma‘nawī. Diantara mereka adalah Sa‘d bin ‘Alī Az-Zanjānī Asy-Syāfi‘ī (w. 471 H), Abul-Ḥasan Al-Karajī Asy-Syāfi‘ī (w. 532 H), Yaḥyā Al-‘Imrānī Asy-Syāfi‘ī (w. 558 H), Ibnu Ṣalāḥ Asy-Syāfi‘ī (w. 643 H), ‘Abdul-Karīm Al-Mūṣilī Asy-Syāfi‘ī (w. 651 H), dan yang lainnya. Para ulama agung madzhab Syafi'i ini ingin menolong umat dari pemahaman yang terpapar paham jahmiyyah-muktazillah, yakni Allah tidak di atas 'Arasy, atau yang beristiwa’ di atas 'Arasy itu bukan dzat Allah.

3⃣ Tidak mengatakan Allah di atas 'Arasy “dengan dzat-Nya” tidaklah bermakna menolak mengisbatkannya. Imam Aż-Żahabī Asy-Syāfi‘ī misalnya, beliau menolak penambahan kata “dengan dzat-Nya” dan menganggapnya fuḍūl al-kalām, karena maknanya sudah sangat jelas tanpa penambahan kata “dengan dzat-Nya”, bahkan beliau menulis kitab khusus berkenaan hal ini.

Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata :

ذو العلو والارتفاع على خلقه بقدرته

"Allah adalah Dzat yang Maha Tinggi di atas seluruh makhluknya dengan Kekuasaannya."

Kemudian beliau melanjutkan :

مَعْنَى ذَلِك : وَهُوَ الْعَلِيّ عَلَى خَلْقه بِارْتِفَاعِ مَكَانه عَنْ أَمَاكِن خَلْقه , لِأَنَّهُ تَعَالَى ذِكْره فَوْق جَمِيع خَلْقه وَخَلْقه دُونه , كَمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسه أَنَّهُ عَلَى الْعَرْش , فَهُوَ عَالٍ بِذَلِك عَلَيْهِمْ .

"Makna sifat Al-'Aliy adalah Dia Maha Tinggi di atas makhluk-Nya dengan ketinggian tempat-Nya di atas tempat-tempat makhluk-Nya. Sebab Allah ﷻ Dzikruh berada di atas seluruh makhluk-Nya dan selain Dia adalah makhluk-Nya, sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya dengan di atas 'Arsy. Maka dengan demikian Dia tinggi di atas mereka."
[Tafsir Ath-Thabari, jilid 3, hal. 14]

Dengan demikian, dari penjelasan ringkas ini, bisa kita ketahui dua kutub perbedaan: Ahlussunnah mengisbat “Allah di atas 'Arasy” dengan dzat-Nya, sedangkan Ahli Kalam tidak (baik yang terang-terangan maupun yang samar-samar). 

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa

Gambar : Kitab Al 'Arsy wa ma Ruwiya fiihi, hal. 291, Abu Ja'far Muhammad bin 'Utsman bin Abi Syaibah.