Makna Istiwa apakah bermakna bersemayam ataukah tinggi di atas Arasy ?
Syaikh Abdurrahman As Sa’diy rahimahullah berkata:
نثبت أنه استوى على عرشه استواء يليق بجلاله، سواء فُسِّر ذلك: بالارتفاع، أو بعلوه على عرشه، أو بالاستقرار، أو الجلوس، فهذه التفاسير واردة عن السلف، فنثبت لله على وجه لا يماثله ولا يشابهه فيها أحد، ولا محذور في ذلك إذا قرنَّا بهذا الإثبات نفي مماثلة المخلوقات
“Kita menetapkan bahwa Dia beristiwa di atas Arasy-Nya sesuai dengan keagungan-Nya. Sama saja apakah istiwa ditafsirkan dengan makna irtifa’ atau tinggi di atas Arasy atau istqrar atau bersemayam (duduk). Semua penafsiran ini ada asalnya dari salaf. Kita tetapkan untuk Allah namun tidak menyerupai siapapun dari makhluk. Dan itu tidak terlarang jika kita tetapkan bila disertai dengan peniadaan mumatsalah (keserupaan) dengan makhluk.”
(Al Ajwibah As Sa’diyah hal 146).
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata dalam majmu fatawa (5/527):
وإذا كان قعود الميت في قبره ، ليس هو مثل قعود البدن، فما جاءت به الآثار عن النبي صلى الله عليه وسلم من لفظ (القعود والجلوس) ، في حق الله تعالى، كحديث جعفر بن أبي طالب رضي الله عنه، وحديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه، وغيرهما = أولى أن لا يماثل صفات أجسام العباد
“Apabila duduknya mayat dalam kuburnya tidak sama dengan duduknya badan (di dunia), maka atsar atsar yang berasal dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam berupa lafadz (qu’ud dan julus) pada hak Allah seperti dalam hadits Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, hadits Umar bin Khathab dan lainnya lebih layak untuk tidak menyerupai sifat badan manusia.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata:
فأما تفسير استواء الله تعالى على عرشه باستقراره عليه ، فهو مشهور عن السلف، نقله ابن القيم في النونية وغيره.
وأما الجلوس والقعود : فقد ذكره بعضهم، لكن في نفسي منه شيء. والله أعلم
“Adapun penafsiran istiwa Allah di atas Arasy-Nya dengan istiqror ‘alaih maka itu masyhur dari salaf. Sebagaimana dinukil oleh ibnu Qayyim dalam nuniyahnya dan lainnya. Adapun julus dan qu’ud (duduk) maka sebagian salaf menyebutkannya. Namun di hatiku ada sesuatu.”
(Majmu fatawa ibnu Utsaimin 1/196)
Kebanyakan salaf menafsirkan makna istiwa dengan makna ‘alaa wartafa’
Abul ‘Aliyah berkata, “Maknanya irtafa’a.” Dan imam Mujahid berkata, “alaa (tinggi) di atas Arasy.”
(Lihat shahih Bukhari bab ‘wakaana ‘arsyuhu ‘alal maa)
Imam Al Baghawi berkata dalam tafsirnya: ثم استوى إلى السماء ibnu Abbas dan kebanyakan ulama tafsir salaf memaknai irtafa’a (naik) ke langit.”
(Tafsir Al Baghawi 1/78)
Demikian pula itu adalah pendapat Abu Ubaidah, Al Farra dan lainnya. (Fathul Bari 13/417)
Sedangkan imam Addaroquthni dalam sya’irnya yang masyhur memaknai makna istiwa dengan qu’ud (duduk).
Adapun perkataan syaikh Abdul Qadir Jiilani dalam kitab Al Gunyah bahwa istiwa bukan dengan makna qu’ud dan julus dan juga bukan maka uluw dan rif’ah maka itu pendapat yang perlu ditinjau kembali. Karena adanya atsar atsar dari salaf tentang masalah ini. Dan tentunya mengikuti salaf lebih selamat. Karena mereka lebih berilmu dan lebih mapan keilmuannya.
Ustadz abu yahya badrusalam