*Taat tanpa harus mengetahui hikmahnya*
Dari Rafi' bin Khadij radhiallahu'anhu, ia berkata:
نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548).
Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun mereka tetap taat.
Umar bin Khathab radhiallahu'anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata:
إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
"Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menciummu, aku tidak akan menciummu" (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270).
Bagi Umar bin Khathab radhiallahu'anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, itu sudah cukup bagi beliau.
Syaikh Shalih As Suhaimi ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, "Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari'at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari'at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah.
Para sahabat ridwanullah 'alaihim ajma'in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al Qur'an dan As Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya" (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6).
Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari'at. Dan pasti Allah syari'atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama:
الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً
“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27).
Semoga Allah ta'ala memberi taufik.
@fawaid_kangaswad