Rabu, 16 Desember 2020

KEBERPIHAKAN

KEBERPIHAKAN 

Di antara yang terdapat dalam diri umumnya manusia dan juga sesuai dengan akal sehat adalah, kecenderungan dan keberpihakan seseorang kepada kalangan yang kondisinya lebih sesuai dengannya. Semakin besar kesesuaian itu maka semakin besar keberpihakannya. Hal ini juga sejalan dengan syarak, namun kesesuaian yang dimaksud adalah yang terkait serta mengacu pada aspek keimanan serta syariat.  

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat (yaitu: Syria dan Palestina). Mereka setelah dikalahkan itu akan menang, dalam masa kurang dari sepuluh tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang beriman.” [QS Rum/30: 2-4]

Ketika itu Romawi yang merupakan Nasrani Ahli Kitab, sedang berperang dengan Persia yang beragama Majusi dan menganut paganisme. Saat tersiar kabar kekalahan Romawi, kaum musyrik Mekah bergembira karena memihak pada Persia. Sementara kaum muslim bersedih karena berpihak pada Romawi. Keberpihakan kaum muslim tersebut dikarenakan Romawi sebagai Nasrani Ahli Kitab dinilai lebih dekat kondisinya dibandingkan Persia yang Majusi. Ayat-ayat di atas kemudian turun untuk sebagai kabar gembira bagi kaum muslim dan juga sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kekalahan Romawi sekitar tahun 614-615 M, sedangkan kemenangannya sekitar tahun 622 M.

Nabi dahulu juga sempat berpihak pada tradisi Ahli Kitab dibandingkan tradisi kaum musyrik Arab, sebelum Nabi kemudian pada akhirnya menyelisihi mereka. Ibn ‘Abbas menuturkan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يسدل شعره وكان المشركون يفرقون رؤوسهم وكان أهل الكتاب يسدلون رؤوسهم وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحب موافقة أهل الكتاب فيما لم يؤمر فيه بشيء ثم فرق رسول الله صلى الله عليه وسلم رأسه

“Dahulu Nabi membiarkan rambutnya (menutupi dahinya), sementara kaum musyrik membelah (tengah) rambut mereka (sehingga tidak menutupi dahi). Dahulu Ahli Kitab membiarkan rambutnya sementara Nabi senang mengikuti tradisi Ahli Kitab selama tidak ada perintah dari Allah. Namun pada akhirnya Nabi membelah rambutnya (menyelisihi Ahli Kitab).” [HR al-Bukhari no. 3365, Muslim no. 2336, dan lain-lain.]

Keberpihakan tersebut dikarenakan Ahli Kitab saat itu lebih dekat secara keimanan dan syariat. Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan,

وكأن السر في ذلك أن أهل الأوثان أبعد عن الإيمان من أهل الكتاب ولأن أهل الكتاب يتمسكون بشريعة في الجملة فكان يحب موافقتهم ليتألفهم ولو أدت موافقتهم إلى مخالفة أهل الأوثان فلما أسلم أهل الأوثان الذين معه والذين حوله واستمر أهل الكتاب على كفرهم تمحضت المخالفة لأهل الكتاب

“Sepertinya rahasia dalam hal ini adalah, kaum pagan lebih jauh dari keimanan dibandingkan Ahli Kitab. Sebab Ahli Kitab masih berpegang dengan syariat secara umum. Karena itulah Nabi senang menyepakati mereka, juga dalam rangka mengambil hati mereka, sekalipun hal itu berdampak pada penyelisihan terhadap kaum musyrik (di sekitar beliau). Namun ketika orang-orang musyrik tersebut akhirnya beriman, sementara Ahli Kitab tetap pada kekufurannya, maka penyelisihan menjadi terseleksi dan tertuju kepada Ahli Kitab.” [Fathul-Bari, vol. X, hlm. 361-362.]
 
Demikianlah keberpihakan ditentukan oleh aspek keimanan dan syariat. Bahkan terhadap orang-orang kafir yang sedang berselisih, seperti Romawi dan Persia, pun Nabi dan Sahabat berpihak pada yang secara keimanan dan syariat lebih dekat dengan kaum mukmin.

Dengan pertimbangan keimanan dan syariat itu, Syaikh al-Albani menjelaskan bahwa ketika kalangan islamis dan sekuleris sedang bertarung, maka pada saat itu bukanlah momentum yang tepat bagi seorang muslim untuk justru mengkritik kekurangan yang ada pada sebagian kalangan islamis (sedangkan kubu sekuleris justru selamat darinya). Beliau berkata,

الآن الحرب بين الإسلام وبين العلمانيين ، في هذا الوضع ما ينبغي للرجل المسلم الغيور على الإسلام أن يجي في سبيل بيان موقفه من بعض الجماعات الإسلامية التي عندها انحراف قليل أو كثير عن الإسلام ، ما ينبغي الدخول في هذه التفاصيل ما دام الجماعة الإسلامية كلها ضد هذه الهجمة الشرسة العلمانية ، فهنا ما فيه مجال أن يجي ــ يعني ــ يشفي غيظ صدور المؤمنين بأن يقول هؤلاء من الإسلاميين ، هؤلاء على الحق ، وهؤلاء منحرفين قليل عن الحق ، وهؤلاء منحرفين كثير عن الحق ، هذا ليس مجاله ــ بارك الله فيك ــ الآن جبهتان : إسلامية فيها كذا وفيها كذا وفيها كذا ، وجبهة أخرى ما فيها كذا وكذا . كلهم جبهة الكفر والضلال ، كلهم يجتمعون على محاربة الإسلام ، فهنا ما ينبغي نحن أن نتطلب مثل هذا المحاضر أن يرينا موقفه المحدد الدقيق عن كل هذه الجماعات الإسلامية ، هذا لكل مقام مقال كما يقال . تمام.

“Saat ini, terjadi pertarungan antara Islam dan sekulerisme. Dalam kondisi demikian, tidak seharusnya seorang muslim yang memiliki girah terhadap Islam lalu datang dan menjelaskan posisinya terhadap sebagian jamaah keislaman yang memiliki penyimpangan dari Islam, sedikit maupun banyak. Tidak layaknya baginya untuk masuk pada rincian tersebut, selama jamaah-jamaah keislaman itu sedang melawan serbuan sekulerisme. Di sini bukan momentumnya bagi yang bersangkutan untuk meluapkan kemarahan di kalangan kaum mukmin dengan mengatakan: kalangan A di atas kebenaran, kalangan B sedikit menyimpang dan kalangan C banyak menyimpang. Bukan ini momentumnya, semoga Allah memberkahimu. Saat ini ada dua kubu: (1) kalangan keislaman, di dalamnya ada begini dan begitu; dan (2) kalangan lainnya, yang tidak ada begini dan begitu, tapi seluruhnya merupakan kubu kekufuran serta kesesatan, yang mereka sepakat untuk memerangi Islam. Di sini, tidak selayaknya kita menuntut semisal orang tadi untuk memperlihatkan posisinya yang spesifik dan terperinci terhadap jamaah-jamaah keislaman. Begitulah. Namun sebagaimana disebutkan dalam sebuah aforisme: ‘Untuk tiap kondisi terdapat pernyataan yang sesuai.’ Demikianlah tepatnya.” [Silsilah al-Huda wan-Nur, kaset no. 684.]

Keberpihakan dan penolakan itu sendiri tidak bersifat satu dimensi, melainkan multi dimensi. Terkadang seseorang bisa jadi ditolak dan dimusuhi dari satu sisi, tapi didukung dengan keberpihakan dari sisi yang lain. Ini adalah prinsip umum yang dipegang oleh Ahli Sunnah.  

Ibn Taimiyyah berkata,

واذا اجتمع فى الرجل الواحد خير وشر وفجور وطاعة ومعصية وسنة وبدعة استحق من الموالاة والثواب بقدر ما فيه من الخير واستحق من المعادات والعقاب بحسب ما فيه من الشر فيجتمع فى الشخص الواحد موجبات الأكرام والأهانة فيجتمع له من هذا وهذا كاللص الفقير تقطع يده لسرقته ويعطى من بيت المال ما يكفيه لحاجته هذا هو الأصل الذى اتفق عليه أهل السنة والجماعة وخالفهم الخوارج والمعتزلة ومن وافقهم عليه

“Jika dalam diri seseorang terkumpul: kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bidah, maka ia berhak mendapatkan keberpihakan dan ganjaran sesuai kadar kebaikannya tersebut. Tapi ia juga berhak mendapatkan penolakan dan hukuman sesuai dengan kadar keburukannya tersebut. Bisa jadi terkumpul dalam diri seseorang itu faktor-faktor yang menyebabkan ia mendapat kemuliaan sekaligus kehinaan. Misalnya seperti pencuri yang dipotong tangannya karena kejahatan pencurian yang ia lakukan, tapi ia sekaligus juga diberi harta dari Baitul-Mal untuk mencukupi kebutuhannya. Ini adalah prinsip yang disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang diselisihi oleh sekte Khawarij dan Mu’tazilah serta yang sepakat dengan mereka.” [Majmu’ al-Fatawa, vol. XXVIII, hlm. 209.]

Timbangan kebaikan dan keburukan adalah syariat dan keimanan. Karena itulah untuk keberpihakan terhadap individu, maka loyalitas tetap diberikan kepada sosok mukmin, meskipun berbuat zalim, dibandingkan kepada orang kafir, meskipun berbuat baik.

Ibn Taimiyyah juga berkata,

وليعلم أن المؤمن تجب موالاته وان ظلمك واعتدى عليك والكافر تجب معاداته وان أعطاك وأحسن اليك فان الله

“Hendaklah seorang itu mengetahui bahwa loyalitas terhadap tiap mukmin itu merupakan keharusan, sekalipun ia berbuat zalim kepadamu. Demikian sebaliknya terhadap orang kafir, meskipun ia berbuat baik kepadamu.” [Majmu’ al-Fatawa, vol. XXVIII, hlm. 209.]

Loyalitas dan keberpihakan terhadap sosok mukmin bukan berarti maksudnya lantas menyokong serta membenarkan tindakannya yang zalim dan keliru, melainkan justru dengan mencegah tindakannya, namun tanpa mencabut loyalitas terhadap sosoknya secara totalitas.

Nabi bersabda dalam hadisnya yang sangat populer,

انصر أخاك ظالما أو مظلوما فقال رجل يا رسول الله أنصره إذا كان مظلوما أفرأيت إذا كان ظالما كيف أنصره؟ قال تحجزه أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره

“Tolonglah saudaramu, baik ketika dizalimi maupun menzalimi.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, saya menolongnya ketika dizalimi. Tapi bagaimana saya menolongnya ketika ia justru menzalimi?” Nabi menjawab, “Cegahlah ia dari perbuatan zalimnya tersebut. Itu merupakan bentuk pertolongan terhadapnya.” [HR al-Bukhari no. 6552, dan lain-lain]

Uraian yang lebih lengkap dapat dibaca di blog saya: https://adniku.blogspot.com/2020/12/keberpihakan.html

Allahu a’lam.

15/12/2020
AdniKu