Rabu, 11 November 2020

Riba sudah jelas haramnya. Namun, saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian orang. Walaupun digunakan nama "bunga" sekalipun, riba tetaplah riba. Harta riba tersebut adalah harta haram yang tidak boleh kita manfaatkan.

Riba sudah jelas haramnya. Namun, saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian orang. Walaupun digunakan nama "bunga" sekalipun, riba tetaplah riba. Harta riba tersebut adalah harta haram yang tidak boleh kita manfaatkan.

Lalu bagaimana jika kita memiliki harta riba tersebut?
Kemanakah harta haram itu harus disalurkan?

Para ulama berselisih pendapat dalam pemanfaatan dana riba ini.

Pendapat pertama menyatakan bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk yang berhak menerima menurut syariat. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.

Pendapat kedua menyatakan bahwa dana riba tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan. Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafi’i.

Namun, pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan, ditahan (dijaga), dimusnahkan, atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka itu sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.

Di antara dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai luqothoh (barang temuan), “Barang siapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang yang baik, jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu Daud no. 1709, hadis ini sahih kata Syekh Al Albani).

Lalu kemanakah harta riba tersebut disalurkan?

Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin, atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih-lebih lagi karena sebab kemiskinan adalah karena terlilit utang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas untuk mereka. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, tetapi menunjukkan afdholiyah.

Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.

Dalam rangka hati-hati, harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, misalkan kepada fakir miskin, atau pembuatan toilet umum dan jalan, selain untuk masjid, dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik harta riba tadi secara personal. Wallahu a’lam.

Pembahasan lebih lengkap, bisa simak pembahasan kami melalui tautan berikut:
https://rumaysho.com/2964-bagaimana-penyaluran-harta-riba.html

Semoga Allah menyelamatkan dan membersihkan kita dari harta haram. Wallahu waliyyut taufiq.