Dari zaman dahulu, keperawanan adalah hal paling berharga yang dimiliki setiap perempuan. Sepanjang sejarah, orang akan membaca tentang budaya di seluruh dunia dan menempatkan nilai tinggi pada keperawanan bagi setiap perempuan.
Namun, kini zaman telah berubah dan "seks" bukan lagi hal yang tabu bagi banyak laki-laki dan perempuan muda. Hingga akhirnya, generasi saat ini pun mengenal seks pra-nikah. Sudah banyak sekali laporan dan data valid banyaknya kasus hamil di luar nikah, dan tentu kasus ini didominasi oleh kawula muda. Naudzubillah.
Bahkan, saat ini, pasangan yang berada dalam suatu hubungan, tak memiliki keraguan lagi untuk melalukan hubungan seksual yang intim satu sama lain, meskipun mungkin tidak ada jaminan bahwa hubungan akan berujung pada pernikahan.
Lalu, bagaimana jika suatu ikatan suci pernikahan, ternodai dengan kebohongan mempelai wanita yang tak lagi perawan?
Apakah pernikahannya tetap sah?
Ulama mazhab berbeda pendapat mengenai status pernikahannya. Coba simak penjelasan berikut;
Ulama Hanafiyyah berkata bahwa laki-laki yang awalnya menikahi wanita dan ia tahu bahwa wanita tersebut masih gadis (perawan), lalu setelah digauli diketahui bahwa wanita tersebut tidaklah perawan, maka laki-laki tersebut tetap harus menunaikan seluruh mahar, karena mahar itu disyariatkan hanya sekadar istimta’ (bersenang-senang dengan wanita), bukan karena wanita tersebut perawan. Keperawanan yang telah hilang sebelumnya tidak menyebabkan akad nikah jadi batal. Seandainya disyaratkan keperawanan ketika ingin menikah, tetap akad tidak bisa dibatalkan.
Ulama Malikiyyah untuk masalah seperti di atas menyatakan bahwa laki-laki tidaklah boleh mengembalikan wanita tersebut. Hal ini dikecualikan jika diberi syarat sejak awal bahwa laki-laki tersebut mau menikahi wanita selama wanita tersebut perawan, karena adanya syarat ini, laki-laki tersebut boleh mengembalikan wanita tadi, baik si wali mengetahui masalah keperawanannya ataukah tidak.
Ulama Syafi'iyah sendiri memberlakukan masalah di atas jika saat awal mau nikah diberikan syarat keperawanan. Namun, salah satu pendapat dalam mazhab Syafi'i menyatakan bahwa luputnya syarat, tetap membuat nikah tersebut sah. Sedangkan pendapat kedua dalam mazhab Syafi'i menyatakan bahwa nikahnya batal.
Sedangkan ulama Hambali memberlakukan syarat keperawanan. Jika tidak terpenuhi, nikahnya jadi faskh (batal).
Pendapat-pendapat di atas bisa dirujuk pada Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8:180.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan:
1. Jika mendapati wanita saat menikah tidak lagi perawan, nikahnya tetaplah sah. Hal ini dikecualikan jika diberikan syarat bahwa yang dinikahi haruslah wanita perawan. Untuk masalah ini barulah para ulama berbeda pendapat.
2. Kalau menikahi wanita yang tidak perawan dinilai sah, maka sebaiknya tidak menanyakan masalah keperawanan saat akan menikah karena masalah ini begitu sensitif. Kalau sudah bertobat, kenapa mesti dibuka dan ditanyakan lagi masalah ini!? Apalagi kalau kita sudah mengetahui kondisi calon pasangan yang berubah dan sudah menjadi lebih saleh.
Penjelasan lengkap mengenai hal ini bisa dilihat di website kami berikut:
https://rumaysho.com/25633-istriku-sudah-tidak-perawan.html
Semoga bermanfaat :)