Minggu, 08 November 2020

Catatan tambahan dari ustadz Varian Ghani Hirma📝 Adab thalib kepada gurunya

Catatan tambahan dari ustadz Varian Ghani Hirma

📝 Adab thalib kepada gurunya

   Demikian petikan-petikan adab murid kepada gurunya dari tulisan Ustadzunaal-Fadhil Aris Munandar حفظه الله  dan memang nyatanya demikianlah adab-adab murid yang dimaktubkan oleh para Ulama baik terdahulu maupun kontemporer, semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk mengamalkannya.

   Imam An-Nawawiy berkata : "Hendaknya (seorang murid) menurut kepada gurunya dan bermusyawarah dengan gurunya dalam urusan-urusannya dan menerima perkataan gurunya tersebut sebagaimana orang yang sakit menerima perkataan dokter yang tulus lagi cerdas, demikianlah sepatutnya. (At-Tibyan : hal. 63).

   Demikianlah sepatutnya sikap murid kepada gurunya dan hendaknya bermusyawarah kepada gurunya dan menerima usulan dan arahan gurunya tsb, kitab ini sempat alfaqir kaji beberapa tahun yang lalu dan alfaqir beri ta'liq singkat, adab ini berdasarkan firman Allah Ta'ala :

وشَاورْهُمْ في الأمر
"Dan bermusyawarahlah engkau (wahai Muhammad) dalam urusan..." (QS Ali Imran: 159) Allah memerintahkan Nabi-Nya agar bermusyawarah dengan para Sahabat yang notebene para pengikut beliau agar mendapatkan usulan-usulan yang bagus lalu kemudian beliau memutuskan yang terbaik. Qiyas awla nya terlebih lagi murid dengan gurunya dimana sang guru tentu lebih berilmu maka sepatutnya untuk bermusyawarah dan menerima arahan yang baik dan tulus dari gurunya, demikianlah hukum asal dan adab dalam hubungan murid dengan gurunya.

   Namun apakah murid wajib menerima arahan dan saran dari sang guru di setiap keadaan dan di semua kondisi? Imam An-Nawawiy berkata dalam adab murid dengan guru Qur'an nya:

هذا أولى
"Ini yang sepatutnya" ini adalah lafazh yang menunjukkan memang alangkah bagusnya jika murid menerimanya, akan tetapi itu bukanlah kewajiban, bahkan Nabi صلى الله عليه وسلم orang pertama yang Allah perintahkan untuk bermusyawarah dengan para Sahabat nya, adakalanya beliau mengambil usulan salah seorang Sahabat, adakalanya tidak dan beliau ijtihad sendiri. Demikian pula keadaan si murid adakalanya si murid memiliki uzur pengecualian yang membuatnya tidak menerima saran dan arahan gurunya, misalnya jika ia menerima saran A dari guru yang satu dan saran B dari guru yang lain maka murid yang teliti hendaknya membandingkan antara saran dan arahan yang tidak sama tersebut mana yang lebih dekat kepada takwa kepada Allah Ta'ala, Imam Ayyub As-Sakhtiyaniy mengatakan :

لا تعْلمُ خطأ مُعلّمك حتّى تجالسْ غيره

"Engkau tidak akan mengetahui kesalahan gurumu hingga engkau duduk bersama orang selain guru tsb", qawl ini bukan dalam rangka mengajak murid untuk senantiasa mencari-cari kesalahan gurunya, mengumbar aib gurunya sama sekali bukan akan tetapi hendaknya murid memperbanyak Guru, Masyaikh dan Asatidzah sehingga tidak timbul fanatisme pada diri murid dan ia bisa mengumpulkan berbagai kebaikan dari gurunya yang banyak tsb dan terhindar dari kesalahan yang ada pada sebagian gurunya dan tentu saja dengan tetap menjaga adabnya dan menghormati gurunya walaupun ia memiliki kesalahan, sebagaimana pepatah : "Tiada gading yang tak retak". Para Imam Salaf terdahulu mereka biasa memiliki banyak guru, Imam Al-Bukhariy memiliki 1080 syaikh, Imam Al-Hakim memiliki 2000 syaikh, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memiliki lebih dari 200 syaikh, demikianlah kebiasaan para ulama dalam menuntut ilmu.

   Apakah menerima arahan sang guru setiap waktu dan setiap kondisi? Hukum asalnya memang hendaknya murid memang menerima arahan, saran dan hasil musyawarah dengan gurunya akan tetapi adakalanya ADA PENGECUALIAN jika dikira arahan sang guru bertentangan dengan dalil syar'iy baik Qur'an ataupun Sunah, atau ada saran dan arahan lain dari guru atau syaikh bahkan imam terdahulu yang lebih alim untuk kasus tsb, atau ada qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa arahan tsb adalah tidak pas atau bahkan bertentangan dengan hakikat kenyataan yang ada, misalnya arahan dalam bab tahdzir yang dikemukakan oleh Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhliy yang dalam Taqriibut-Tahdzib merupakan amirul-mukminin fil-hadits kepada Imam Al-Bukhariy yang dalam Taqriib juga amirul-mukminin fil hadits bahkan 'jabal fil-hifzh' yang dikatakan sebagai jahmiy dan disarankan agar meninggalkan majlisnya, ketika itu ada Imam Muslim di majlis tsb yang merupakan murid cerdas yang berguru kepada Imam Al-Bukhariy maupun kepada Imam Adz-Dzuhliy imam Naisabur di zamannya, maka Imam Muslim tidak menerima arahan tsb dan langsung keluar dari majlis bahkan ia kembalikan kepada sang guru Adz-Dzuhliy semua kitab riwayat hadits dari jalannya dan Imam Muslim senantiasa menemani Imam Al-Bukhariy hingga keluar kota Naisabur. Sikap objektif Imam Muslim patut ditiru, beliau tidak fanatis kepada Imam Adz-Dzuhliy yang notabene adalah guru lamanya dan imam negeri asalnya, sedangkan Imam Al-Bukhariy baru ditemui dan belajar kepadanya di penghujung umurnya, dan Imam Muslim dalam Shahih nya tidak memaktubkan sama sekali riwayat baik dari Adz-Dzuhliy maupun dari Al-Bukhariy. Padahal yang biasanya murid itu begitu fanatis kepada guru lamanya atau guru negerinya sendiri.

    Wallahu a'lam, ini yang alfaqir pahami seputar adab murid dengan gurunya yang hukum asalnya memang hendaknya si murid menerima saran, usulan dan arahan dari gurunya agar Allah juga memberikan keberkahan dalam ilmu yang ia wariskan dari gurunya tsb namun adakalanya sebagian kondisi terdapat pengecualian, semoga Allah menjaga kita agar jangan menjadi murid durhaka yang membangkang kepada gurunya dan juga jangan menjadi murid fanatik yang membenarkan dan membeo semua yang berasal dari gurunya walaupun itu suatu kesalahan dan ketergelinciran.