Ana nasehatkan untuk menyibukkan diri dgn memperdalam ilmu, memperbanyak amal shaleh, lapang dada dgn perbedaan, dan tidak tergesa-gesa menghukumi amalan org lain, terlebih sesama Ahlussunnah. Jika memang mesti ada diskusi, bahaslah dgn argumen bkn menebar sentimen. Diantara ciri dan kelebihan seorang Ahlussunnah adalah adil dan dewasa dlm ranah khilafiyyah.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata tentang Al-Imam Ishaq bin Rahawaih رحمه الله :
"Belum ada yg lewat jembatan ke Khurasan seorang yg seperti Ishaq, meskipun Beliau menyelisihi kami dlm banyak perkara, krn sesungguhnya memang biasa manusia senantiasa berbeda satu dgn yg lainnya".
Berkata Hatim Al-Asham رحمه الله: "Aku memiliki tiga kebiasaan yg aku tampakkan kepada lawan (debatku): Aku senang jika lawan debatku benar, aku sedih jika ia salah, dan aku jaga diriku dari berbuat hal bodoh kepadanya". Tatkala ucapan ini sampai kepada Imam Ahmad, Beliau berkata: "Subhanallah, Duhai betapa berakalnya orang tersebut".
Seorang Ahlussunnah perlu memperhatikan:
1. Menutup aib saudaranya jika kebaikannya jauh lebih banyak.
2. Tidak ada syarat bhw orang baik itu maksum (tidak pernah salah), pasti manusia biasa bisa salah.
3. Selain Nabi, kebenaran dilihat pd isi ucapannya bukan sekedar orang yg mengucapkannya.
4. Tidak boleh mengingkari kebenaran meski yg membawa kebenaran tsbt buruk tabiat/perangainya.
5. Menginginkan kebenaran dimiliki saudaranya sebagaimana ia ingin kebenaran itu dimiliki dirinya. Ini tanda keikhlashan dan dalamnya pemahaman.
6. Kesalahan org tdk lantas membolehkan berbuat zalim kpd org tersebut dan merusak hak-haknya sebagai org beriman.
7. Berprasangka baik kpd saudara seiman dan mengedapankan asas praduga tdk bersalah, serta tidak menghakimi maksud/niat/hati orang.
8. Menghormati kedudukan org berilmu meskipun ia jatuh dlm kesalahan dgn tdk mengikuti kesalahannya jika ia salah. Bagaimana pula jika ia benar?
(Disarikan dr kitab Manhaj, Al- Mukhtashar Al Hatsits Hal. 142-147)
Bagi yg ingin berbicara ttg fiqih, tolong siapkan dulu dada yg lebar, hati yg luas, dan akal yg cerdas. Jauhkan dr diksi-diksi yg unfaedah dan selalu rendah hati, krn kebenaran akan sulit masuk pd hati yg sombong.
قال قتادة بن دعامة: "مَن لم يعرف الاختلاف، لم يَشَمَّ أنفُه الفقهَ"
Berkata Imam Qatadah bin Da`amah: "Siapa yg tdk tahu perbedaan Ulama, maka ia belum mencium fiqih dgn hidungnya".
وقال هشام بن عبدالله الرازي: "مَن لم يعرف اختلاف القراءة، فليس بقارئٍ، ومَن لم يعرف اختلاف الفقهاء، فليس بفقيهٍ"
Berkata Hisyam bin Abdillah Ar-Razi: "Siapa yg tidak tahu perbedaan bacaan (Al-Quran) maka bukan Qari. Dan siapa yg tdk tahu perbedaan para Fuqaha, maka bukan ahli fiqih".
وقال عطاء بن أبي رباح: "لا ينبغي لأحد أن يفتي الناس حتى يكون عالمًا باختلاف الناس؛ فإنه إن لم يكن كذلك ردَّ مِن العلم ما هو أوثق مِن الذي في يديه".
Berkata Imam Atha bin Abi Rabah: "Tidak layak bagi siapapun untuk berfatwa kpd orang sampai ia alim tentang perbedaan diantara manusia... "
وقال أيوب السختياني وابن عيينة: "أجسر الناس على الفتيا أمثلهم علمًا باختلاف العلماء"، وزاد أيوب: "وأمسك الناس عن الفتيا أعلمهم باختلاف العلماء".
Berkata Ayyub As Sikhtiyani dan Ibnu Uyainah: "Orang Yg paling layak untuk berfatwa adalah yg paling bagus ilmunya ttg perbedaan Ulama". Dan Ayyub menambahkan: "Orang yg paling menahan diri dari berfatwa adalah orang yg paling berilmu dengan perbedaan Ulama".
(Jami bayanil ilmi wa fadhlihi Juz 2 hal 46-47)
Akhukum fillah Abu Zayan
ustadz agung budiardi