INDAHNYA AKHLAK SYAIKH IBNU UTSAIMIN ROHIMAHULLAH
Suatu saat seorang wanita dari Maroko
menemuinya ketika di Masjidil Haram dan
mengatakan, “Anda Ibnu Utsaimin?”
tanyanya.
“Ya, saya,” jawab beliau.
Wanita itu pun menukas, “Orang-orang
mengatakan bahwa anda sudah mati dan
kami telah menyalati anda dengan shalat
gaib ba’da maghrib.”
“Tidak -wallahi- inilah saya,” tegas Ibnu
Utsaimin.
Wanita itu heran sambil mengatakan, “Jadi,
bagaimana?”
Dengan bercanda beliau mengatakan, “Ya,
saya setiap hari mati, lalu Rabbku
menghidupkanku.”
Terdiamlah wanita itu dan kaget. Sambil
berpaling wanita itu mengatakan, “Syaikh
telah pergi, syaikh telah pergi, syaikh telah
pergi.”
Sementara itu, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
tersenyum melihatnya. Namun, Syaikh
khawatir wanita itu menanggapinya serius
dan salah paham, maka beliau utus
seseorang untuk memanggilnya. Setelah
wanita itu datang lagi, beliau menjelaskan,
“Saya tadi bercanda denganmu. Saya mati
lalu hidup tiap hari. Artinya, saya tidur lalu
bangun tiap hari, karena Allah berfirman,
“Allah memegang jiwa (orang) ketika
matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya; maka Dia
tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia
tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang
ditentukan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasan Allah bagi kaum yang
berpikir.” (az-Zumar: 42)
Menjadi tenanglah wanita tersebut. Ia
berterima kasih kepada syaikh lalu pergi.
Keindahan Akhlak dan Sifat Tawadhu Asy-
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
Tidak hanya ucapan, perbuatan beliau pun
menjadi bukti sifat tawadhu dan akhlak
mulianya. Beliau berkata, “Demikianlah
seorang dai, hendaknya bersifat lembut dan
wajah berseri serta berlapang dada.
Dengan demikian, ia lebih mudah diterima
oleh orang yang didakwahi menuju jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala … Maka dari itu,
nasihat saya kepada saudara-saudara saya
para dai, hendaknya memiliki perasaan ini.
Hendaknya mereka mendakwahi manusia
dengan perasaan kasih sayang kepada
mereka, dan dalam rangka mengagungkan
agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta
menolong agama-Nya.”
Inilah yang kemudian beliau terapkan
dalam diri beliau. Beliau adalah sosok yang
menyenangkan, sederhana, murah senyum,
tawadhu’, menghormati manusia, bahkan
kepada yang lebih muda sekali pun. Tidak
hanya itu, beliau juga suka bercanda
dengan mereka.
Dikisahkan bahwa suatu ketika beliau
datang ke Jeddah. Setelah pertemuan,
beliau diundang oleh sekian banyak orang-
orang berpangkat. Namun, dengan baik
beliau menolak tanpa menyinggung
perasaan mereka dan mengatakan,
“Undangan kalian telah didahului. Aku
sudah diundang oleh salah seorang anak
muda.”
Lalu beliau berjalan menuju seorang anak
muda yang masih sekolah di bangku
tsanawiyah (setingkat SMA di sini, -red.),
kemudian memegang tangannya dan
mengatakan kepada mereka, “Dia lebih
dahulu mengundangku daripada kalian, dan
aku menyambut undangannya.”
Orang-orang sangat heran terpana melihat
ketawadhuannya.
Di kesempatan yang lain, saat beliau di
Makkah di musim haji, seseorang bertemu
beliau dan mengundangnya, “Ya Syaikh,
saya berharap, anda mau menyambut
undangan saya walau sekali saja, dan anda
mau duduk bersama saudara-saudara dan
keluarga saya,” pinta orang itu.
Beliau pun menjawab, “Di mana
alamatmu?”
“Di Jeddah,” jawabnya.
Syaikh menyahut, “Kalau engkau mau
menunggu sampai selesai haji, saya akan
datang. Atau kalau engkau undang saya di
Makkah, saya juga akan datang.”
Akhirnya orang tersebut mengundang
beliau di Makkah seraya berucap, “Wahai
Syaikh, kapan saya mesti datang untuk
menjemput anda?” tanya orang itu.
Beliau justru mengatakan, “Tidak, aku yang
akan mendatangimu.” Lalu beliau
mengambil alamat rumahnya.
Pada waktu yang ditentukan beliau datang.
Beliau dipersilakan masuk. Tuan rumah pun
menyiapkan perekam untuk merekam
nasihat-nasihat beliau. Sejenak, tuan
rumah masuk untuk mengambil suguhan
teh dan memanggil saudara-saudaranya.
Setelah keluar, ternyata Syaikh telah
pindah dari tempat duduknya dan
menyiapkan sendiri alat rekam untuk
didekatkan ke stopkontak. Tuan rumah pun
begitu terkesan dengan sikap tawadhu
beliau.
Syaikh laku mengatakan, “Jangan kamu
memberat-beratkan diri. Bubur kacang di
Makkah ini enak. Itu sudah cukup untuk
makan malamnya.”
Tawadhu yang luar biasa. Ibarat sihir, kata-
kata dan sikap yang sangat mengena pada
jiwa tuan rumah.
Sesekali Bercanda
Walau asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
berwibawa, terkadang kewibawaannya
diselingi oleh canda yang membuat orang-
orang dekatnya tidak merasa kaku bergaul
dengan beliau.
Pernah terjadi kejadian unik yang membuat
beliau tertawa. Suatu saat, datang kepada
beliau seseorang dari salah satu negara
Arab. Serta merta dia bertanya, “Anda asy-
Syaikh Ibnu Utsaimin?”
“Ya,” jawab beliau.
Orang itu pun menyambung dengan
pertanyaan, “Demi Nabi, wahai Syaikh, apa
hukumnya thawaf wada’?”
Sebelum menjawab, karena orang itu
bersumpah dengan selain nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala, terlebih dahulu
Syaikh mengingkari kebiasaan tersebut dan
mengatakan, “Wahai saudara, semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala membalasi anda
dengan kebaikan. Tidak boleh bagimu
mengatakan, ‘Demi Nabi’. Anda harus
membiasakan diri meninggalkan kebiasaan
mengucapkan kata-kata ini, karena ini
adalah kalimat kesyirikan.”
Beliau juga menasihatinya dengan lembut
dan bagus. Orang itu pun berterima kasih
seraya berkata, “Siap, wahai syaikh. Tetapi,
apa hukum thawaf wada’ itu, demi Nabi?”
Akhirnya Syaikh tertawa. Ternyata lisan
orang tersebut memang terlalu terbiasa
mengucapkan sumpah yang salah.
Di waktu lain datang kepada beliau seorang
wartawan dan mengatakan, “Wahai Syaikh,
kami berharap, bisa menjalankan bersama
anda hiwar (maksud si wartawan:
wawancara, tetapi kata tersebut memiliki
makna lain, yaitu anak unta).”
Syaikh menjawab, “Wahai anakku, hiwar itu
kan anak unta. Bagaimana engkau akan
menjalankannya bersama saya?! Yang
mungkin, engkau ingin melakukan
muhawarah (wawancara) bersamaku.”
Rindu yang Terobati
Musim haji 1416 H.
Sebagaimana biasa, beliau menemui para
jamaah haji, bertanya dan menjawab
pertanyaan mereka. Beliau mencurahkan
perhatian kepada mereka.
Suatu saat di Bandara King Abdul Aziz
Jeddah, beliau masuk ke ruang tunggu. Di
sana ada rombongan jamaah haji dari salah
satu negara yang dahulu masuk wilayah Uni
Soviet. Yang paling kecil di antara mereka
berumur dua tahun. Tidak seorang pun dari
mereka yang bisa berbicara dengan bahasa
Arab.
Syaikh bertanya, kalau-kalau ada orang
yang bisa berbahasa Arab yang dapat
menerjemahkan apa yang hendak beliau
sampaikan. Ternyata tidak didapati selain
seorang anak muda warga negara Saudi
yang menyambut mereka. Dialah yang
kemudian menerjemahkan.
Di sela-sela ceramah, datang seorang anak
muda dari mereka sambil berlari kecil dan
meminta agar dia yang menerjemahkan.
Ternyata, anak muda ini pandai berbahasa
Arab dan kemudian diketahui bahwa dialah
pimpinan rombongan ini. Penerjemahan
lantas dia ambil alih.
Setelah selesai, barulah dia diberi tahu
bahwa syaikh yang dia terjemahkan
nasihatnya adalah asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin. Terkejutlah dia. Kedua matanya
terbelalak sambil menatap Syaikh dengan
penuh keheranan. Rupa-rupanya, terjadi
sesuatu yang tidak pernah dia kira
sebelumnya.
Sambil terheran, dia memastikan, “Asy-
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin?”
Para pendamping Syaikh pun terheran-
heran, dari mana anak muda ini tahu nama
tersebut. Mereka pun mengiyakan.
Saat itulah, dengan segera, dia memeluk
Syaikh erat-erat. Air mata bercucuran dari
kedua matanya seraya berucap, “Asy-
Syaikh al-Utsaimin.” Berulang-ulang dia
ucapkan dengan penuh kebahagiaan.
Segera dia mengambil pengeras suara dan
mengumumkan kepada jamaah
rombongannya dengan bahasa mereka
yang tak terpahami, selain sebutan nama
Syaikh yang terulang-ulang. Linangan air
mata mereka berderai. Suara mereka
bersahutan, mengulang-ulang nama ‘asy-
Syaikh Ibnu Utsaimin’.
Anak muda itu lalu berkata, “Wahai Syaikh,
mereka adalah murid-muridmu. Mereka
bersama-sama mempelajari kitab-kitabmu
di persembunyian bawah tanah saat kami
dilarang mempelajari Islam. Mereka sangat
rindu untuk mengucapkan salam
kepadamu. Apakah anda mengizinkan?”
Syaikh pun mengizinkan. Segeralah mereka
mendatangi Syaikh, satu demi satu.
Mereka kecup dahi beliau dengan air mata
yang berlinangan dan mulut mereka yang
terus bergumam, “Syaikh Ibnu Utsaimin,
Syaikh Ibnu Utsaimin.”
Tidak ada seorang pun dari mereka yang
tidak menangis. Mereka sangat terkesan
dengan apa yang mereka dengar dan lihat.
(al-Imam az-Zahid hlm. 110)
Perhatian Beliau Terhadap Nasib Muslimin
di Belahan Dunia
Suatu saat, dengan perasaan gundah, dan
kecemburuan terhadap Islam dan muslimin
terutama di Palestina, beliau naik mimbar
dan berkhutbah, “Wahai manusia, telah
berlangsung penjajahan Yahudi terhadap
Masjidil Aqsha selama lebih dari delapan
tahun. Selama itu pula mereka membuat
kerusakan di dalamnya dan menyiksa
penduduknya. Di hari-hari ini, mahkamah
Yahudi mengeluarkan keputusan tentang
bolehnya Yahudi melakukan peribadatan di
dalam Masjidil Aqsha. Keputusan thaghut
ini artinya menampilkan syiar-syiar
kekafiran di dalam masjid yang termasuk
salah satu masjid yang terbesar
kehormatannya dalam Islam.”
Di akhir khutbah, beliau mengatakan, “Ya,
Yahudi Israel tidak akan turun kecuali
dengan kekuatan, dan tidak ada kekuatan
kecuali dengan pertolongan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak ada
pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
kecuali bila kita menolong agamanya,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Sungguh, pertolongan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada kita bukan dengan pidato-
pidato yang menyilaukan dan meluap-luap,
yang mengubah persoalan Palestina
menjadi persoalan politik, kekalahan
materi, dan konflik regional. Masalah
Palestina, demi Allah, adalah masalah
agama Islam bagi muslimin
seluruhnya.” (al-Imam az-Zahid hlm 103)
Saat terjadi pembantaian terhadap
muslimin di Bosnia oleh Kristen Serbia,
beliau sangat sedih. Kesedihan beliau
terungkap dalam kata-katanya, “Tetapi
disayangkan, sebagaimana kalian lihat
sekarang, kaum muslimin tak acuh. Mereka
tidak punya kekuatan dan tekad yang
dengannya mereka dapat membela diri
mereka. Tidak ada yang lebih bisa
menunjukkan kepada kita tentang hal itu
daripada apa yang kita berada padanya
sekarang.
Di negeri-negeri Islam sekarang, ada yang
kehormatan mereka dihinakan, masjid
mereka dihancurkan, harta mereka
dirampas, dan anak-anak mereka ditawan
oleh orang-orang Nasrani, sedangkan kita
umat (Islam) tidak mengatakan sesuatu
yang harus kita katakan.
Apa yang diperbuat terhadap muslimin
sekarang di Bosnia adalah sesuatu yang
merobek-robek hati pada kenyataannya….
Orang-orang Nasrani bukan musuh Bosnia
saja, dan musuh itu bukan hanya Nasrani
Bosnia. Nasrani adalah musuh muslimin di
seluruh negeri Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sama saja mereka dari Nasrani Serbia
Bosnia atau yang lain. Tetapi, sayang,
banyak kaum muslimin tidak tahu hal itu.”
Beliau sering menganjurkan kaum muslimin
untuk banyak berdoa siang dan malam
serta dalam qunut nazilah untuk kebaikan
muslimin di sana, selama belum terbuka
pintu untuk melakukan jihad fi sabilillah di
sana. (al-Imam az-Zahid hlm. 99)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala senantiasa merahmati
anda dan menempatkan anda di surga-Nya,
surga Firdaus….
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 91/
VII/1434 H/2013, hal. 27, 29 & 34; hal.
25-26.
Di bagikan oleh ustadz anton Abdillah