Jumat, 07 Oktober 2022

ASY-SYĀFI‘ī DAN ILMU KALAM #2

ASY-SYĀFI‘ī DAN ILMU KALAM #2

Pada zaman dahulu, Jahmiyyah dikenal sebagai aliran yang mengeksploitasi Ilmu Kalam untuk menundukkan nas berdasarkan Akidah mereka. Mereka menggunakan Ilmu Balagah, persoalan majaz-kinayah untuk menakwilkan nas yang tampak bertentangan dengan keyakinan mereka.

Metode memahami Akidah Islam dengan Ilmu Kalam ini dikemudian hari diadopsi oleh Muktazilah dan Kullabiyyah, yang mana dari Kullabiyyah ini nanti menjadi cikal-bakal munculnya Asyā‘irah.

Metode pemahaman seperti inilah yang dibenci oleh para Ulama Ahlussunnah pada waktu itu. Dalam kitab Siyar A‘lām An-Nubalā’, Al-Imām Syamsuddīn Aż-Żahabī Asy-Syāfi‘ī (w. 748 H) raḥmatullāh ‘alayh meriwayatkan bahwasanya ada seorang lelaki yang datang kepada Al-Imām Al-Muzannī Asy-Syāfi‘ī (w. 264 H) raḥmatullāh ‘alayh untuk bertanya tentang Ilmu Kalam. Sang Penolong Mazhab Syafii ini menjawab: 

إِنِّي أَكْرَهُ هَذَا، بَلْ أَنَهَى عَنْهُ، كَمَا نَهَى عَنْهُ الشَّافِعِيُّ
“Sesungguhnya aku membencinya (Ilmu Kalam), bahkan aku melarangnya sebagaimana Asy-Syāfi‘ī melarangnya (dijadikan metode memahami Akidah Islam).”

Adapun untuk mengetahui metode Imam Asy-Syāfi‘ī dalam memahami Akidah, dapat kita lihat pada pernyataan Imam Asy-Syāfi‘ī yang dinukil oleh Al-Imām Muwaffaquddīn Ibnu Qudāmah Al-Maqdisī Al-Ḥanbalī (w. 620 H) raḥmatullāh ‘alayh dalam kitabnya, Lum‘atul-I‘tiqād Al-Hādī ila Sabīlir-Rasyād:

آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ؛ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُوْلِ اللهِ وَبِمَا جَاءِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ؛ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ
“Aku beriman kepada Allah dan apa saja yang datang dari Allah sesuai dengan yang diinginkan Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa saja yang datang dari Rasulullah, sesuai dengan yang diinginkan Rasulullah”.

Meski penukilan ini tanpa disertai sanad, dan saya belum menemukan sanad riwayat ini, namun ia memiliki syawahid (penguat) sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imām ‘Imāduddīn Ibnu Kaṡīr Asy-Syāfi‘ī (w. 774 H) raḥmatullāh ‘alayh dalam Al-Bidāyah wan-Nihāyah:

وقد روى عن الرَّبِيعُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ رُءُوسِ أَصْحَابِهِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يَمُرُّ بِآيَاتِ الصِّفَاتِ وَأَحَادِيثِهَا كَمَا جَاءَتْ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيلٍ وَلَا تَحْرِيفٍ، عَلَى طَرِيقَةِ السلف
“Dan telah diriwayatkan dari Ar-Rabī‘ dan lebih dari seorang dari kalangan pembesar sahabatnya (Syāfi‘iyyun), keterangan yang menunjukkan bahwa beliau (Imam Asy-Syāfi‘ī) memperlakukan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat (Allah) sebagaimana datangnya, tanpa Takyīf, Tasybīh, Ta‘ṭīl, dan Taḥrīf (aka Ta‘wil) sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Salaf”.

Dalam Manāqib Asy-Syāfi‘ī, Al-Imām Abū Bakr Al-Bayhaqī Asy-Syāfi‘ī (w. 458 H) raḥmatullāh ‘alayh meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syāfi‘ī berkata:
لا يقال للأصل: لم ولا كيف
“Tidak boleh dikatakan dalam masalah Uṣul (Akidah): mengapa dan bagaimana”.

Jadi, metode (manhaj) Imam Asy-Syāfi‘ī dalam memahami Akidah adalah sebagaimana yang ditempuh oleh Salaf (Sahabat, Tabiin, dan Tabik Tabiin), 3 generasi terbaik yang dikabarkan Baginda Nabi , yakni Metode Iṡbat BUKAN yang lain.

Lantas, adakah contoh penjelasan Imam Asy-Syāfi‘ī dalam hal ini? Bersambung...