RINCIAN HUKUM BERHUTANG
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin -rahimahullaah- berkata:
"(Berhutang hukumnya) boleh, dan tidak dikatakan bahwa ini termasuk minta-minta yang diharamkan. Dan telah tetap dari Nabi -shallallaahu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau berhutang.
Lahiriyah perkataan fuqaha' bahwa (hukum berhutang) ini adalah boleh secara mutlak.
Dan hendaknya dikatakan bahwa hukumnya boleh bagi orang yang bisa melunasi. Adapun kalau tidak punya kemampuan untuk melunasi; maka keadaan minimal (hukum)nya adalah makruh.
Oleh karena itu Nabi -shallallaahu 'alaihi wa sallam- tidak menunjukki orang yang ingin menikah dan berkata: 'Aku tidak punya apa-apa'; beliau tidak menunjukkinya untuk berhutang, bahkan beliau menikahkannya dengan (mahar berupa mengajarkan) Al-Qur-an yang ada padanya.
Maka hal ini menunjukkan bahwa: hendaknya orang yang punya pilihan lain selain berhutang; maka janganlah ia berhutang.
Ini termasuk kebagusan dalam pembinaan/pengaturan.
Karena sungguh, seorang jika membiasakan dirinya untuk berhutang; maka dia akan bermudah-mudahan dalam berhutang, sampai-sampai harta manusia yang ada di tangan-tangan mereka: seolah-olah menjadi milik orang tersebut; dimana dia tidak ragu dalam meminjamnya.
Oleh karena itu, hendaknya seorang tidaklah berhutang melainkan untuk perkara yang mendesak. Ini pun kalau dia mampu untuk melunasinya. Adapun kalau tidak punya kemampuan untuk melunasi; maka keadaan minimal (hukum)nya adalah makruh, dan terkadang bisa kita katakan: haram. Dan dalam keadaan ini dia wajib menjelaskan kepada orang yang akan menghutanginya tentang keadaannya; agar orang yang akan menghutangi tersebut mengetahui."
["Asy-Syarhul Mumti'" (IX/94-95)]
-diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix