Rabu, 03 Maret 2021

Mengapa Imam Ahmad tidak mengafirkan Khalifah Al-Ma'mun yang mengikuti kesimpulan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, sedangkan Ahlussunnah meyakini bahwa Al-Qur'an adalah Kalam Allah?

Mengapa Imam Ahmad tidak mengafirkan Khalifah Al-Ma'mun yang mengikuti kesimpulan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, sedangkan Ahlussunnah meyakini bahwa Al-Qur'an adalah Kalam Allah?

Ada perbedaan besar antara mereka yang sengaja dan bermaksud untuk berpaling dan menolak ketetapan (syariat) Islam dengan mereka yang mencari kebenaran, namun dia salah memahaminya, seperti kasus Khalifah Al-Ma'mun dan Al-Mu'tashim yang berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan yang berpendapat demikian dari golongan Jahmiyyah yang menafikan sifat-sifat Allah (karena takwil).

Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki sikap dan hukum tersendiri terhadap mereka yang salah dalam memahami dalil (Al-Muta’awwil), yang mana takwil bisa menjadi salah satu uzur (halangan) dalam masalah takfir.

التأويل: هو اعتقاد غير الدليل دليلا

Definisi salah paham atau takwil adalah meyakini ayat atau hadits sebagai dalil, padahal ayat atau hadits itu bukanlah dalil dalam masalah yang dimaksudnya.

Gambaran praktiknya seperti ketika seseorang berpendapat tentang sesuatu, atau meyakini sebuah keyakinan, atau melakukan suatu perbuatan, sedangkan ia mengira bahwa pendapat, keyakinan, atau perbuatan ini adalah benar seperti yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, namun hakikatnya tidaklah demikian. Jadi, dia menginginkan kebenaran, tetapi tidak meraihnya.

Demikianlah kondisi banyak Ahlul Bid'ah di tengah umat Islam; menginginkan kebenaran, tetapi tidak sampai. Adapun bid'ah dapat terjadi dalam hal keyakinan maupun perbuatan. Inilah pendapat Ahlussunnah wal Jama'ah.

Meskipun demikian Ahlussunnah wal Jama'ah tetap berkeyakinan bahwa ada di antara pendapat (perkataan) Ahlul Bid'ah yang bisa menjadi sebab pelakunya menjadi kafir seketika. Namun, mereka tidak langsung memvonis kafir setiap orang yang berpendapat demikian, karena terdapat perbedaan besar antara vonis kafir terhadap perbuatan (At-Takfir bi An-Nau’) dengan vonis kafir pelaku perbuatan tersebut (Takfir Al-Ain). Persoalan ini cukup dikenal di kalangan penuntut ilmu tingkat pemula. 

Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al Abdul Lathif menguraikan persoalan takwil tersebut di dalam kitabnya, “Nawaqidh Al-Iman Al-Qauliyyah wa Al-Amaliyyah” (hlm. 52–53), dengan mengutip penjelasan Ibnu Taimiyyah. Syaikhul Islam mengatakan:

الأقوال التي يكفر قائلها، قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة الحق، وقد تكون عنده، ولم تثبت عنده، أو لم يتمكن من فهمها، وقد يكون قد عرضت له شبهات يعذره الله بها، فمن كان من المؤمنين مجتهداً في طلب الحق وأخطأ، فإن الله يغفرُ لهُ خطاياه كائناً من كان، سواءً كان في المسائل النظرية، أو العملية، هذا الذي عليه أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم- وجماهير أئمة الإسلام

Ucapan yang dapat menyebabkan orang yang mengucapkannya menjadi kafir, bisa jadi si pengucap belum mengetahui dalil-dalil yang membuatnya memahami kebenaran, mungkin dia telah mengetahui, tetapi ia beranggapan dalil itu lemah, atau ia tidak dapat memahami dalil itu dengan pemahaman yang benar. Bisa jadi juga karena ia mengalami kerancuan dalam memahami dalil itu sehingga dimaafkan oleh Allah. 

Siapa saja dari kalangan mukminin yang bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran, tetapi ia keliru, maka Allah akan mengampuni semua kesalahannya dalam segala permasalahan; baik dalam permasalahan teoretis maupun permasalahan praktis. Inilah pendapat para sahabat Nabi ﷺ dan mayoritas imam Islam. (Majmu’ Al-Fatawi: XXIII/326)

كان الإمام أحمد -رحمه الله تعالى- يُكفرّ الجهمية المنكرين لأسماء الله وصفاته، لأن مناقضة أقوالهم لما جاء به الرسول -صلى الله عليه وسلم- ظاهرةٌ بينة ... لكن ما كان يُكفّرُ أعيانهم، فإن الذي يدعو إلى القول أعظم من الذي يقول به، والذي يُعاقب مخالفه أعظمُ من الذي يدعو فقط ...

Imam Ahmad mengafirkan orang-orang Jahmiyyah yang mengingkari nama dan sifat Allah, karena pendapat mereka yang terang-terangan menyalahi ajaran Rasul ﷺ yang jelas ... tetapi beliau tidak mengafirkan setiap person yang berpendapat demikian, karena penyeru yang mengajak orang lain lebih berat bobotnya dibandingkan dengan orang yang sekadar mengemukakan pendapatnya. Adapun orang yang menghukum siapa yang tidak mau mengikuti pendapatnya lebih jahat dari mereka yang sekadar mengajak orang lain ...

ومع هذا فالذين كانوا من ولاة الأمور يقولون بقول الجهمية، ويدعون الناس إلى ذلك ويُعاقبونهم، ويُكفرون من لم يُجبهم، ومع هذا فالإمام أحمد -رحمه الله تعالى- ترحمّ عليهم، واستغفرَ لهم، لعلمه بأنهم لم يُبَيَّنُ لهم أنهم مكذبون للرسول -صلى الله عليه وسلم- ولا جاحدون لما جاء به، ولكن تأولّوا فأخطئوا، وقلّدوا من قال لهم ذلك ...

Pada saat itu para pejabat pemerintahan yang menganut pendapat golongan Jahmiyyah, mengajak manusia untuk menganut pendapat mereka, menghukum serta memvonis kafir siapa yang tidak mau mengikuti pendapat mereka. Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap berbuat baik kepada mereka dan memintakan ampunan kepada Allah bagi mereka, karena beliau tahu pasti bahwa mereka tidak sadar telah mendustakan Nabi, dan tidak menentang ajarannya. Jadi, mereka melakukan takwil sehingga salah dalam memahami kebenaran, dan mereka bertaklid kepada orang yang menyampaikan pendapat (keliru) tersebut .... (Majmu’ Al-Fatawi: XXIII/348, 349, secara ringkas)

Kesimpulannya, Khalifah Al-Ma'mun dan golongan Jahmiyyah semisalnya—walaupun keyakinan dan pendapat mereka menyimpang seperti itu—dimaafkan karena tujuan mereka yang baik sehingga ulama melarang kita memvonis kafir mereka yang salah paham.
Ust Ferry Irawan