Yang berdakwah karena Allah Ta'ala, jika dikelilingi oleh orang-orang kaya, maka sebisa mungkin menjaga jarak dengan mereka, bukan karena mereka buruk, melainkan fitnah dunia dan harta kerapkali mengubah arah amalan dan menundukkan hati bukan karena Allah melainkan karena makhluk.
Jikapun tidak mampu menjaga jarak dengan mereka, maka netralisirlah dengan sering bergaul dengan fuqara serta rekan-rekan yang kesehariannya berkeringat susah payah mencari nafkah.
Kita perlu ingat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bergaul dengan sahabat yang kaya maupun miskin. Teman terbaik beliau adalah Abu Bakr ash-Shiddiq -radhiyallahu anh- yang memiliki kekayaan luar biasa. Namun Rasulullah bergaul dengan Bilal bin Rabah, membagi-bagi makanan untuk fuqara dari kalangan Ahlu Shuffah, memasukkan sebagian mereka ke rumah beliau untuk makan dan pernah diberi teguran oleh Allah Ta'ala karena lebih memperhatikan beberapa pemuka musyrikin daripada Abdullah bin Ummi Maktum yang hendak bertanya soal agama.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam punya banyak sahabat yang kaya, namun ingat hikayat berikut tentang beliau:
- Beliau hanya mendapatkan harta fai' (harta rampasan dengan damai tanpa perang) sebanyak 1/5. Dan 1/5 yang beliau dapatkan pun dikembalikan untuk kebaikan kaum Muslimin.
- Beliau pernah (atau mungkin biasa) tidak kenyang selama 3 hari. Cukup memakan roti dari gandum berkualitas sedang.
- Ummul mukminin Aisyah menyatakan bahwa pernah mereka bertahan hidup hanya dengan al-aswadan (kurma dan air). Baru menikmati santapan enak berupa susu unta karena ada tetangga dari kalangan Anshar yang memberikannya kepada beliau.
- Umar bin al-Khaththab pernah melihat beliau berjalan sempoyongan karena hanya memakan kurma dengan kualitas rendah sebagai makanannya.
- Anas bin Malik sebagai khadim beliau menyatakan bahwa beliau tidak pernah memakan roti yang lembut dan daging kambing bakar sampai beliau wafat.
Semua hal di atas tentu tidak wajib atas dai dan tokoh masyarakat. Bahkan, jika diamalkan di masa kini, kadang menjadi fitnah bagi sebagian orang.
Namun, kita ingin mengangkat ibrahnya. Sekalipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki banyak sahabat kaya, beliau tidak mengambil banyak manfaat (secara mentang-mentang). Malah hidup beliau kontras dengan kekayaan. Namun sekali lagi, tidak wajib untuk seperti itu.
Oleh karena, beliau anjurkan untuk kita dalam urusan dunia, lihatlah ke orang-orang bawah. Netralisir pertemanan dengan orang-orang kaya dengan berdekatan pada orang-orang miskin. Apa yang kita dapatkan dari kedermawanan orang-orang kaya, pengelola Majelis Taklim maupun masjid-masjid, sangat baik untuk disalurkan baik seluruh maupun sebagiannya untuk pihak-pihak yang membutuhkan.
Semua ini agar hamba Allah Ta'ala tidak berubah. Yang dahulu menuntut ilmu gratis, dipermudah oleh Allah Ta'ala dan diangkat derajatnya, kemudian berubah menjadi budak dunia, sulit bersyukur dan dihinakan derajatnya. Agar hamba Allah ini semakin sayang sama umat, bukan semakin meloroti. Agar hamba Allah ini tidak belagak zuhud saat ceramah, namun hati nunduk sama orang-orang kaya (karena kekayaan dan kedermawanan mereka).
Bukan berarti mesti sombong pada sebagian pihak. Tetaplah bermuamalah dengan baik.
وخالق الناس بخلق حسن
Hanya saja, bukankah hal yang ajaib jika kita memiliki senyum sumringah ketika berdekatan dengan orang kaya, dan abasa wa tawalla ketika berdekatan dengan selain orang kaya?!
Ust Hasan