Ibnu Taimiyah sebagai Pemikir
Membaca ulang sejarah polemik (tak langsung) antara Ibn Taimiyah dengan Ar Razi ada satu pelajaran penting tentang jalan sebenarnya dari Ibn Taimiyah, yang sering tidak dinapaktilasi oleh mereka yang sangat mengagungkan namanya. Itu adalah keberanian intelektual, untuk membuka dirinya dari berbagai macam pemikiran, dan menghadapinya dengan stamina tingkat tinggi. Contohnya banyak, tapi di sini cukup contoh dari polemik dengan Ar Razi saja.
Fakhruddin Ar Razi menulis dalam bukunya Asasut Taqdis, menguraikan kemungkinan adanya ketegangan (ta'arudh) antara dalalat naqliyah (wahyu) dan dalalat aqliyah (akal). Dalam kondisi ketegangan hipotesis seperti itu, kata Ar Razi, hanya ada 4 kemungkinan teoritik:
1. Kedua-duanya (naqliyah dan aqliyah) sama-sama benar. Kata Ar Razi, ini tidak mungkin, contradictio in terminis
2. Kita membenarkan akal, dan menyalahkan naql.
3. Kedua-duanya salah, kata Ar Razi, ini juga tidak mungkin, sebab tidak ada kemungkinan epistemologi lain.
4. Kita membenarkan naql dan menolak akal.
Kata Ar Razi, jika kita membenarkan naql dan menolak akal, adalah kesalahan sebab kita hanya dapat memahami dan membenarkan naql melalui akal kita yang menerima, selain karena naql (wahyu) sendiri memerintahkan kita menerima wahyu dengan akal. Bagaimana kita dapat membela naql (wahyu) jika kita menolak kemampuan akal? Tapi Ar Razi juga tidak menerima kemungkinan kedua sebab itu simply bukan muslim, menolak naql adalah suatu kekufuran.
Ar Razi memperkenalkan kemungkinan hipotetik kelima: kita menerima akal, kita ambil naql dan kita mengkompromikan makna naql dengan akal. Dia menawarkan 2 alternatif: kita tidak tahu arti hakiki dari naql dan menyerahkan pada Allah (wallahu a'lam). Ini disebut tafwidh (pasrah, berserah). Yang kedua adalah memalingkan makna yang langsung tampak dari redaksional naql kepada makna yang lain yang lebih sesuai kebijaksanaan akal. Ini disebut takwil (memalingkan, mengalihkan). Ar Razi menyebutnya dengan aturan universal (hadza huwa Qanun al kulli) dalam masalah-masalah ketegangan antara wahyu dengan akal. Meskipun terkenal dirumuskan Ar Razi, sebetulnya aturan ini dirumuskan secara sistematik terlebih dahulu oleh Al Ghazali (dalam buku Al Ghazali yang jarang dikutip: Al Qanun Al Kulli fit Takwil), dan sekadar merumuskan apa yang umumnya diyakini oleh mazhab asy'ari.
Yang menarik adalah cara Ibn Taimiyah masuk ke dalam polemik, mengutip Qanun al Kulli-nya Ar Razi di awal bukunya Dar'u Ta'arudh al Aql wan Naql (menghindarkan ketegangan antara akal dan wahyu) atau Muwafaqah Sharih al Manqul lil Aql as Shalih (rekonsiliasi antara wahyu yang sahih dengan akal yang lurus) dan dengan tajam mengkritik logical fallacy di dalamnya: kata Ibn Taimiyah, cara pandang biner yg mengklaim adanya benturan antara wahyu dan akal ini adalah ad hominem, yaitu menghukumi sesuatu berdasar pembawanya (akal dan naql). Menurut Ibn Taimiyah, yang benar adalah membuat kualifikasi bobot kebenaran tanpa memandang dari mana ia datang: makna yang disimpulkan akal dari wahyu mengandung bobot kebenaran yaqin (100% benar) maupun tidak yaqin (dzhann, dugaan, syakk, ragu-ragu dst), begitu juga makna yang disimpulkan akal dari jalan rasional independen dari wahyu: ia bisa mengandung nilai kebenaran yaqin atau tidak yaqin. Siapapun yang mengandung nilai yaqin, ialah yang diutamakan, demikian kata Ibn Taimiyah.
Sebagian orang muslim yang berpikiran sederhana mungkin kesulitan menerima bahwa apa yang dikatakan dari agama (produk fatwa, produk harakah, produk fiqh dll) sebetulnya tidak semuanya bernilai yaqin (meyakinkan bobot kebenarannya), namun di sisi lain, produk akal mustaqili khususnya sains, juga tidak semuanya dalam derajat bobot kebenaran yang sama, tidak semuanya bernilai yaqini. Dalam sains itu sendiri ada istilah "weight of evidence", tidak semua produk riset itu 100% meyakinkan yang sayangnya gagal dimengerti oleh kaum awam sains yang tidak merasa awam sains hanya karena mereka gandrung dengan semua yang dikatakan sains padahal akses mereka pada sains hanya dari artikel-artikel populer! Bukankah ini sama-sama bigotry?
Selain ketajaman Ibn Taimiyah membuat kriteria yang lebih universal (yaitu membuat timbangan dari bobot keyakinan suatu makna tanpa memandang darimana ia datang), Ibn Taimiyah juga menguak problem semantik dari akal dan wahyu yang sering tak jernih dari perdebatan sebelumnya: yang dikontradiksikan orang-orang sebelumnya -sayangnya karena tak terklarifikasi membuat sulit mendapatkan titik temu- yaitu akal dan wahyu sebetulnya yang dimaksud dengan "akal" adalah "produk akal yang independen (al aql mustaqili)" dan yang mereka maksud dengan wahyu adalah produk akal yang didasarkan dari wahyu atau wahyu yang diterima oleh akal orang yang beriman.
Bagi saya Ibnu Taimiyah rh adalah ulama atsari (untuk membedakan 3 besar arus dalam mazhab sunni: asy'ari, maturidi, atsari, atau 4: ditambah dengan dzhahiri) yang berbeda dengan unik dari ulama atsari sebelum dia. Sebelum dia, mazhab atsari sangat enggan untuk terjun ke dalam perdebatan pemikiran, mereka menolak pemikiran dengan menolak membicarakannya. Bagi mereka simpel: ini al Quran dan ini al Hadits, yang kamu tanyakan tidak ada, maka ia tidak benar. Ibn Taimiyah yang jenius berbeda: ia terjun ke dunia pemikiran, dan mempertahankan mazhabnya dengan cara mempelajari tema-tema yang sedang ngetren di dunia pemikiran (kala itu), memahami pokok-pokok pemikiran yang ingin dibantahnya dan ia membantahnya dengan cara yang tidak simpel seperti ulama atsari sebelumnya yang nyaris selalu membantah dengan dalih sekadarnya: ini belum pernah dibicarakan oleh para pendahulu, dengan demikian ini salah. Ibn Taimiyah adalah pemikir yang pemberani, sebab untuk bisa melakukan polemik melelahkan seperti itu, butuh stamina kecerdasan dan keberanian luar biasa.
Ditulis oleh Priyo Djatmiko (21/2/2016)
Disclaimer: foto-foto buku sekadar tambahan ilustrasi dari saya; bukan sebagai rekomendasi langsung
Di share oleh ust Ferry Kurniawan dalam Facebook beliau