NISHFU SYA'BAN DALAM TIMBANGAN
Oleh : Abu Ghozie As Sundawie
Sebagaimana Allah ta’ala mengutamakan waktu waktu tertentu dibandingkan yang lainnya seperti malam jum’at, lalilatul qadar, sepuluh malam terakhir dibulan Ramadhan, atau sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah, hari Nahar, hari Arafah, hari hari Tasyriq, demikian pulalah termasuk didalamnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban dibanding malam malam lainnya.
DALIL DALIL KEUTAMAAN MALAM NISHFU SYA'BAN :
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah memperhatikan hamba Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu mengampuni seluruh makhluk Nya kecuali orang yang berbuat syirik dan Orang bermusuhan sesama saudaranya (HR Ibnu Hibban : 5665, Ibnu Abi ‘Ashim, lihat As Shahihah : 1144)
Dari Abu Tsa’labah al Khusyani radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
«إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ اطَّلَعَ اللَّهُ إِلَى خَلْقِهِ، فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْلِي لِلْكَافِرِينَ، وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ لِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ»
“Apabila malam nishfu Sya’ban maka Allah memperhatikan para makhluk Nya, lalu akan mengampuni semua orang orang yang beriman, dan menangguhkan semua orang yang kafir dan membiarkan orang yang iri dengki karena sifat irinya tersebut sampai meninggalkannya” (HR Thabrani : 593, Ibnu Abi ‘Ashim, Al Baihaqi, Sya’bul Iman no 3832 dan dihasankan syaikh Al Albani, lihat Shahihul Jaami : 783, As Shahihah : 1144)
Dari Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan memperhatikan (hamba hamba Nya) di malam Nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah : 1390, dishahihkan oleh syaikh Al Albani rahimahullah, lihat As Silsilah As Shahihah : 1144, Shahihul Jaami’ : 1819).
MENGKHUSUSKAN IBADAH TERTENTU PADA MALAM NISHFU SYA'BAN
Hadits hadits tentang keutamaan malam nishfu sya’ban diatas memang derajatnya shahih dengan banyaknya jalur periwayatan, sehingga saling menguatkan, namun keutamaan Malam Nishfu Sya’ban sebagaimana tersebut diatas bukan berarti dibolehkan melakukan ibadah ibadah tertentu pada waktu tersebut, baik itu sholat, puasa, membaca al Quran, dengan surat surat tertentu misalnya, atau berdzikir dengan dzikir tertentu, atau memperingatinya dengan berkumpul kumpul di masjid misalnya, karena pengkhususan sebuah ibadah pada waktu, tempat, dan tata cara tertentu membutuhkan dalil khusus, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang shahih yang menetapkan ibadah tertentu dimalam Nishfu Sya’ban tersebut.
Sebagian orang melakukan ibadah ibadah tertentu pada malam nishfu sya’ban beralasan dengan hadits hadits yang tidak shahih bahkan sebagiannya hadits hadits palsu, diantara hadits hadits tersebut :
Hadits pertama :
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا، وَصُومُوا نَهَارَهَا
Apabila berada pada malam nisfu sya’ban maka shalatlah malam harinya dan puasalah siang harinya (HR Ibnu Majah : 1388).
Hadits ini palsu sebagaimana penjelasan Al Bushiri bahwa didalam sanadnya ada Ibnu Abi Sabrah yang nama aslinya Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Abi Sabrah. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Ma’in menyatakan, “ia telah membuat hadits palsu”. (Zawaaid Ibnu Majah 2/10, lihat Bida’ Wa Akhtho’ Tata’alaqu Bil Ayyam Was Syuhur, hal. 352).
Hadits kedua :
مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الْعِيْدِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Barang siapa yang menghidupkan dua hari besar yaitu hari raya dan hari Nishfus Sya’ban maka hatinya tidak akan mati pada saat semua hati hati mati” (Hadits munkar, lihat Mizanul I’tidal 5/372, Al Ishabah 5/580, Al ‘Ilal 2/562)
Hadits ketiga :
مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْخَمِسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، لَيْلَةُ التَّرْوِيَّةِ، وَلَيْلَةُ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
“Barangsiapa yang menghidupakn malam malam yang lima maka berhak mendapatkan surga, yaitu malam tarwiyah (8 dzulhijjah), malam ‘Arafah (9 dzulhijjah), malam ‘iedul adha, dan malam nishfus sya’ban” (Hadits palsu, lihat Silsilah Al Ahadits Ad Dha’ifah no : 1452, Dha’ifut targhib no 667)
Hadits keempat :
يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ قَضَى اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Wahai Ali, barang siapa yang shalat pada malam nishfu sya’ban seratus raka’at dengan membaca Qul huwallahu ahad seribu kali (dalam seratus raka’at) maka Allah akan memenuhi hajat yang dimintanya pada malam tersebut” (Hadits palsu, lihat Al Maudhu’at 2/127-129, Al Fawaid al Majmu’ah, hal. 51-52)
Hadits kelima :
مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ بَعَثَ اللهُ إِلَيْهِ مِئَةُ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَهُ
“Barang siapa yang membaca Qul huwallahhu ahad seribu kali pada malam nishfus sya’ban maka Allah akan mengutus untuknya 100ribu malaikat memberikan kabar gembira (surga)” (Hadits palsu, lihat Lisanul Mizan 5/271, Manarul Munif, Naqdul manqul 1/85)
Hadits keenam :
خَمْسُ لَيالٍ لَا تُرَدُّ فِيهِنَّ الدَّعْوَةُ: أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبانَ وَلَيْلَةُ الجُمُعَةِ وَلَيْلَةُ الفِطْرِ وَلَيْلَةُ النَّحْرِ
“Lima malam yang doa tidak ditolak padanya yaitu : Malam pertama bulan Rajab, malam nishfus Sya’ban, malam jum’at, malam ‘iedul fitri dan malam ‘iedul adha” (Hadita palsu, lihat Silsilah Al Ahadits Ad Dha’ifah no : 1452)
Hadits ketujuh :
مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةٍ، يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ثَلَاثِيْنَ مَرّةً، لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيَشْفَعُ فِيْ عَشْرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ كُلِّهِمْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ
“Barang siapa yang shalat 12 rokaat pada malam nishfu sya’ban, diseiap rakaatnya membaca qulhuwallahu ahad 30 kali, maka ia tidak keluar sehingga melihat tempat duduknya di surga, memberi syafaat untuk 10 orang dari keluarganya yang semuanya sudah divonis neraka” (Al Maudhu’at 2/129, Manarul Munif, hal. 99, Al Alaai Al mashnu’ah 2/59)
Hadits kedelapan :
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban bulanku, sementara Ramadhan adalah bulannya umatku” (Al Jami’ Ash Shogir (6839), Syeikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if).
Maka dalam hal ini bukan masalah shalatnya atau puasanya atau baca al Quran dan dzikir serta do’anya yang tercela tapi penetapan keutamaannya yang dilakukan pada malam nisfu sya’ban yang butuh kepada dalil khusus, sementara dalil dalil dalam pengkhususan malam nisfu sya’ban untuk beribadah tertentu tidak ada yang shahih.
Demikian juga semata mata perbuatan para Tabi’in dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan amalan amalan tertentu bukanlah dalil akan tetapi perbuatan mereka justru membutuhkan dalil untuk melegalkannya amalan tersebut, terlebih lagi pada saat yang sama para ulama tabi’in yang lain mengingkarinya sebagaimana pada permasalahan menghidupkan malam nishfu sya’ban ini
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan :
وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ التَّابِعُوْنَ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ كَخَالِدِ بْنِ مُعْدَان وَمَكْحُوْلٍ وَلُقْمَانَ بْنِ عَامِرٍ وَغَيْرِهِمْ يُعَظِّمُوْنَهَا وَيَجْتَهِدُوْنَ فِيْهَا فِيْ الْعِبَادَاتِ، وَعَنْهُمْ أَخَذَ النَّاسُ فَضْلَهَا وَتَعْظِيْمَهَا
“Para Tabi'in penduduk Syam semisal Khalid bin Ma'dan, Makhul, dan Luqman bin ‘Amir mengagungkan malam Nishfu Sya'ban. Mereka pun bersungguh sungguh dalam melakukan ibadah pada malam ini. Dari merekalah Orang-orang mengambil keterangan perihal keutamaan dan pengagungan malam ini.
وَقَدْ قِيْلَ إِنَّهُ بَلَغَهُمْ فِيْ ذَلِكَ آثَارُ إِسْرَائِيْلِيَّةٍ، فَلَمَّا اشْتَهَرَ ذَلِكَ عَنْهُمْ فِيْ الْبُلْدَانِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيْ ذَلِكَ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَبَلَهُ وَوَافَقَهُمْ عَلَى تَعْظِيْمِهَا، مِنْهُمْ طَائِفَةٌ مِنْ عُبَّادِ أَهْلِ الْبَصْرَةِ وَغَيْرِهِمْ
Salah seorang ulama pernah mengatakan bahwa sebenarnya, dalam masalah ini mereka menerima atsar-atsar Isra'iliyat (berita dari ahlil kitab). Oleh sebab itulah, ketika atsar-atsar itu telah populer di berbagai negeri, para ulama pun berbeda pendapat tentang keshahihannya. Sebagian mereka menerima dan menyetujui pengagungan malam ini, seperti sekelompok ahli ibadah dari Basrah dan yang lainnya,
وَأَنْكَرَ ذَلِكَ أَكْثَرُ عُلَمَاءِ الْحِجَازِ مِنْهُمْ عَطَاء وَابْنُ أَبِيْ مُلَيْكَةَ وَنَقَلَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنُ أَسْلَمْ عَنْ فُقَهَاءِ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ، وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ، وَقَالُوْا ذَلِكَ كُلُّهُ بِدْعَةٌ.
Sebaliknya, kebanyakan ulama Hijaz, seperti ‘Atha dan Ibnu Abi Mulaikah justru menolak hal itu. Penolakan ini juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari fuqaha Madinah. Pendapat demikian pun dinukilkan dari para sahabat Malik bin Anas? dan ulama yang lain. Mereka menegaskan bahwa apa-apa yang dilakukan pada malam itu merupakan bid'ah. (Latho’iful Ma’arif, hal. 144)
Dalam mensikapi keutamaan malam nishfu sya’ban ini sebagaimana halnya keutamaan malam jum’at, dimana tidak setiap waktu yang utama itu kita dianjurkan mengisinya dengan ibadah ibadah tertentu, kecuali ada dalil shahih yang memrintahkannya, bahkan terkadang mengisinya dengan mengkhususkan ibadah pada malam yang mulia itu dilarang, sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang mengkhususkannya untuk beribadah pada malam jum’at, Beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda :
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim : 1144).
Didalam kaedah tentang bid’ah disebutkan :
كُلُّ عِبَادَةٍ مُطْلَقَةٍ ثَبَتَتْ فِيْ الشَّرْعِ بِدَلِيْلٍ عَامٍ؛ فَإِنَّ تَقْيِيْدَ إِطْلَاقِ هَذِهِ الْعِبَادَةِ بِزَمَانٍ أَوْ مَكَانٍ مُعَيَّنٍ أَوْ نَحْوِهِمَا بِحَيْثُ يُوْهِمُ هَذَا التَّقْيِيْدَ أَنَّهُ مَقْصُوْدٌ شَرْعًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ الْعَامُ عَلَى هَذَا التَّقْيِيْدِ فَهُوَ بِدْعَةٌ
“Setiap ibadah mutlak yang disyari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak ditunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut adalah bid’ah.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 116).
Dalam masalah ini Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’I rahimahullah berkata :
وأما الصَّلَاةِ الْمَخْصُوصَةِ لَيْلَتهَا ليلة النصف وَقَدْ عَلِمْت أَنَّهَا بِدْعَةٌ قَبِيحَةٌ مَذْمُومَةٌ يُمْنَعُ مِنْهَا فَاعِلُهَا،
“Adapun mengkhususkan shalat tertentu pada malam nishfu sya’ban sebagaimana telah diketahui bahwasanya ia adalah bid’ah yang buruk lagi tercela, dilarang untuk melakukannya,
وَإِنْ جَاءَ أَنَّ التَّابِعِينَ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ كَمَكْحُولٍ وَخَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ وَلُقْمَانَ وَغَيْرِهِمْ يُعَظِّمُونَهَا وَيَجْتَهِدُونَ فِيهَا بِالْعِبَادَةِ، وَعَنْهُمْ أَخَذَ النَّاسُ مَا ابْتَدَعُوهُ فِيهَا وَلَمْ يَسْتَنِدُوا فِي ذَلِكَ لِدَلِيلٍ صَحِيحٍ
walaupun ada diantara para tabi’in dari negeri syam seperti Makhul, Khalid bin Ma’dan, dan Luqman dll mengagungkan malam nisfu sya’ban dan bersungguh sungguh beribadah padanya, dari merekalah manusia mengambil alasan untuk melakukan bid’ah mereka pada malam tersebut, sementara tidak ada dalil,
وَمِنْ ثَمَّ قِيلَ أَنَّهُمْ إنَّمَا اسْتَنَدُوا بِآثَارٍ إسْرَائِيلِيَّةٍ وَمِنْ ثَمَّ أَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ أَكْثَرُ عُلَمَاء الْحِجَازِ كَعَطَاءٍ وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ وَفُقَهَاء الْمَدِينَة
Dan dari sanalah dikatakan kalau sandaran mereka berasal dari riwayat israiliyat (cerita dari ahlil kitab), sehingga karena itupula lah para ulama hijaz seperti ‘atho, ibnu mulaikah, dan para ulama ahli fikih Madinah,
وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ قَالُوا: وَذَلِكَ كُلُّهُ بِدْعَةٌ؛ إذْ لَمْ يَثْبُت فِيهَا شَيْءٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ
demikian juga perkataan para pengikut madzhab syafi’I, Malik dan yang selain mereka mengingkarinya, mereka mengatakan bahwa semua itu adalah bid’ah karena tidak ada dalil yang shahih datang dari Nabi shalallahu alaihi wasallam atau seorang pun dari para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”. (Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra 2/80)
Diantara contoh cara menghidupkan malam nishfu sya’ban yang salah dan hal ini termasuk bid’ah yang munkarah (diingkari) adalah apa yang disebut dengan shalat baroah atau shalat alfiyah yaitu shalat 100 roka’at di malam nisfu sya’ban disetiap roka’atnya membaca Qul Huwallahu Ahad 10 kali, maka dinamakanlah shalat alfiyah (seribu) karena bacaan Qulhunya sebanyak seribu kali dalam seratus roka’at.
Cukuplah penjelasan Imam An Nawawi v ,seorang ulama besar dari kalangan ulama yg bermadzhab Syafi’I tentang apa hukum melakukan shalat Al Fiyah ini. Beliau rahimahullah berkata ;
الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ
“Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaaib yaitu shalat 12 roka’at dilakukan antara maghrib dan isya dimalam jum’at pertama dibulan rajab, dan juga shalat dimalam nisfu sya’ban sebanyak 100 roka’at (shalat Alfiyyah), maka kedua shalat ini adalah bid’ah yang munkar lagi buruk, jangan tertipu dengan disebutkannya kedua shalat ini di kitab Qutul Qulub dan kitab Ihya Ulumuddin, jangan pula tertipu kalau kedua shalat ini ada haditsnya karena semua hadits hadits tersebut adalah batil” (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, An Nawawi 3/506, lihat juga Al Baa’its, Ibnu Syaamah, hal. 124-138)
Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata :
لاَ يُعْرَفُ فِيْ السُّنَّةِ إِثْبَاتُ فَضْلٍ لِشَهْرِ شَعْبَانَ إِلَّا مَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِكْثَارِ الصِّيَامِ فِيْهِ وَأَمَا حَدِيْثُ : فَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كِفَضْلِيْ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ .
Tidak dikenal didalam sunnah penetapan keutamaan bulan sya’ban kecuali apa yang telah shahih datang dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau memperbanyak melakukan puasa sunnah di bulan tersebut, Adapun hadits yang berbunyi, “Keutamaan bulan sya’ban dibandingkan dengan bulan lainnya seperti keutamaan aku dibandingkan dengan seluruh para Nabi” adalah hadits yang palsu”. (Mu’jamul Manahil Lafdziyyah, Syaikh Bakar Abu Zaid, hal. 316).
Syaikh Bin Baaz rahimahullah berkata,
فَلَوْ كَانَ تَخْصِيْصُ شَيْءٍ مِنَ اللَّيَّالِي بِشَيْءٍ مِنَ الْعِبَادَةِ جَائِزًا لَكَانَتْ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهَا؛ لِأَنَّ يَوْمَهَا هُوَ خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari?
بِنَصِّ الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا حَذَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ تَخْصِيْصِهَا بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنَ اللَّيَّالِي
Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah yang shahih. Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya,
دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ غَيْرَهَا مِنَ اللَّيَّالِي مِنْ بَابِ أَوْلَى، لَا يَجُوْزُ تَخْصِيْصُ شَيْءٍ مِنْهَا بِشَيْءٍ مِنَ الْعِبَادَةِ إِلَّا بِدَلِيْلٍ صَحِيْحٍ يَدُلُّ عَلَى التَّخْصِيْصِ
hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkan atas kekhususannya.
وَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ الْقَدَرِ وَلَيَالِي رَمَضَانَ يُشْرَعُ قِيَامُهَا وَالْاِجْتِهَادُ فِيْهَا، نَبَهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ، وَحَثَّ الْأُمَّةَ عَلَى قِيَامِهَا، وَفَعَلَ ذَلِكَ بِنَفْسِهِ
Manakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya.
كَمَا فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ».
Sebagaimana disebutkan dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda: “Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat.”
فَلَوْ كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، أَوْ لَيْلَةُ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبَ، أَوْ لَيْلَةُ الْإِسْرَاءِ وَاْلْمِعْرَاجِ يُشْرَعُ تَخْصِيْصُهَا بِاحْتِفَالٍ أَوْ شَيْءٍ مِنَ الْعِبَادَةِ لَأَرْشَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأُمَّةَ إِلَيْهِ، أَوْ فَعَلَهُ بِنَفْسِهِ
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra’ Mi’raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri.
وَلَوْ وَقَعَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ لَنَقَلَهُ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ إِلَى الْأُمَّةِ وَلَمْ يَكْتُمُوْهُ عَنْهُمْ، وَهُمْ خَيْرُ النَّاسِ وَأَنْصَحُ النَّاسِ بَعْدَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، وَرَضِيَ اللهُ عَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرْضَاهُمْ
Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum kepada kita mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi ‘alaihimus shalatu wasallam
وَقَدْ عَرَفْتَ آنِفًا مِنْ كَلَامِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ شَيْءٌ فِيْ فَضْلِ لَيْلَةِ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبَ وَلَا فِيْ فَضْلِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَعَلِمَ أَنَّ الْاِحْتِفَالَ بِهِمَا بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ فِيْ الْإِسْلَامِ وَهَكَذَا تَخْصِيْصُهُمَا بِشَيْءٍ مِنَ الْعِبَادَةِ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ
Dari pendapat-pendapat ulama’ tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid’ah mungkar” (At Tahdzir minal bida’, hal. 15-16)
MENGHIFUPKAN MALAM NISHGU SYA'BAN YANG BENAR :
Menghidupkan nishfu Sya’ban agar kita mendapatkan keutamaan malam tersebut berupa ampunan dan magfirah Allah adalah dengan menghindari kesyirikan dalam bentuk apapun baik syirik yang besar ataupun kecil, demikian juga hindari permusuhan dengan sesama saudara kita baik kerabat atau saudara kita seiman seislam, jauhi sifat iri dengki kepada sesam, hal ini sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Dari Abu Tsa’labah al Khusyani y ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
«إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ اطَّلَعَ اللَّهُ إِلَى خَلْقِهِ، فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْلِي لِلْكَافِرِينَ، وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ لِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ»
“Apabila malam nishfu Sya’ban maka Allah memperhatikan para makhluk Nya, lalu akan mengampuni semua orang orang yang beriman, dan menangguhkan semua orang yang kafir dan membiarkan orang yang iri dengki karena sifat irinya tersebut sampai meninggalkannya” (HR Thabrani : 593, Ibnu Abi ‘Ashim, Al Baihaqi, Sya’bul Iman no 3832 dan dihasankan syaikh Al Albani, lihat Shahihul Jaami : 783, As Shahihah : 1144)
Dan dari Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan memperhatikan (hamba hamba Nya) di malam Nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah : 1390, dishahihkan oleh syaikh Al Albani rahimahullah, lihat As Silsilah As Shahihah : 1144, Shahihul Jaami’ : 1819).
Demikian juga menghidupkan nishfu sya’ban dengan memperbanyak ibadah puasa sunnah di bulan sya’ban ini secara umum, termasuk bagi mereka yang masih memiliki utang puasa ramadhan di waktu waktu lalu khususnya kaum hawa, hendaklah mengqadhanya di bulan ini sebelum datangnya bulan Ramadhan.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Muslim : 151).
Hadits ini menunjukan boleh seseorang untuk melakukan qadha puasa ramadhan walaupun di bulan sya’ban, akan tetapi yang utama untuk bersegera didalam urusan membayar utang apalagi ini menyangkut utang terhadap Allah.
Adapun ada hadits yang melarang berpuasa kalau sudah lewat pertengahan sya’ban, seperti hadits ;
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud : 3237, At-Turmudzi : 738, dan Ibnu Majah : 1651; dinilai sahih oleh Al-Albani).
Maksud hadits ini adalah larangan berpuasa mutlak setelah datang pertengahan sya’ban. Sebagi dijelaskan oleh Al Munawi rahimahullah :
أَيْ يُحْرَمُ عَلَيْكُمْ اِبْتِدَاءُ الصَّوْمِ بِلَا سَبَبٍ حَتَّى يَكُوْنَ رَمَضَانَ
“Maksud hadis, terlarang bagi kalian untuk memulai puasa tanpa sebab (maksudnya puasa mutlak), sampai masuk bulan Ramadhan” (Faidhul Qadir, Al Munawi 1:304 : 494)
Adapun bagi yang sudah terbiasa melakukan puasa sunnah atau puasa qadha ramadhan maka di bolehkan untuk berpuasa walaupun lewat pertengahan sya’ban.
Sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam telah bersabda :
لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
Janganlah kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari kecuali puasa yang sudah biasa dia lakukan” (HR Bukhari : 1914, Muslim : 1082)
Imam An Nawawi rahimahullah berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا لا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلا خِلافٍ فَإِنْ صَامَهُ عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَجْزَأَهُ، لأَنَّهُ إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى
Para ulama kami (syafi’iyyah) berkata tidak sah puasa pada hari ragu (yakni ramadhan sudah masuk atau belum) tanpa ada perbedaan pendapat para ulama, Adapun kalau puasa qadha, atau nadzar, atau kafarat maka boleh berpuasa (setelah lewat tengah sya’ban) karena kalau puasa yang sunnah saja di bolehkan (apabila sudah terbiasa) maka puasa yang sebabnya adalah wajib (seperti qadha, nadzar, dan kafarat) lebih utama lagi untuk bolehnya” (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 6/399).
Dan maksud larangan berpuasa kalau sudah masuk pertengahan sya’ban maksudnya kalau setelah pertengahan sya’ban baru mau memulai puasa, adapun kalau sudah berpuasa sebelum pertengahan sya’ban lalu nyambung berpuasa sampai melewati pertengahan sya’ban maka hal ini boleh. Sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu anaha, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا
“Adalah Nabi shalallahu alaihi wasallam terkadang puasa sya’ban seluruhnya (banyak berpuasa), terkadang beliau tidak berpuasa di bulan sya’ban kecuali sedikit” (HR Bukhari : 1970, Muslim : 1156).
Demikian bahasan singkat ini, semoga bermanfaat dan dapat tercerahkan, wallahu A'lam []