Kamis, 04 Maret 2021

HUKUM TRANSAKSI C.O.D (Cash On Delivery)

HUKUM TRANSAKSI C.O.D (Cash On Delivery)

C.O.D  (cash on delivery) adalah sistem dalam jual beli, dimana pembeli memesan barang yang ingin dimilikinya kepada penjual terlebih dahulu, kemudian pembayarannya akan diserahkan pada saat barang yang dipesan tiba di alamat pembeli.
Sebelum membahas hukum COD dalam tinjauan fikih islam, kami berharap para pembaca melihat & pelajari link berikut ini terlebih dahulu, guna meninjau salah satu pandangan hukum mengenai COD : https://www.google.com/amp/s/konsultasi.wordpress.com/2020/06/09/hukum-cod-cash-on-delivery/amp/

Dalam website diatas, penulisnya memberikan penjelasan untuk sistem cod “yang akad jual belinya dilakukan sebelum pengiriman barang”, yaitu ketika transaksi online antara penjual dan pembeli yang terjadi sebelumnya, dinilai haram oleh penulisnya.

Alasannya, karena pada saat terjadi akad jual beli online tersebut, pihak penjual dan pembeli sama-sama berutang, yaitu saat transaksi penjual belum menyerahkan barangnya, dan pembeli juga belum membayarkan uangnya.

Akad jual beli seperti itu hukumi penulisnya haram, berdasarkan hadis yang melarang jual beli di mana penjual dan pembeli sama-sama bertransaksi tidak tunai (utang).

Dari Ibnu ’Umar Radhiallahu ‘anhu, dia berkata :
أنَّ النبي نهى عن بيع الكالي بالكالي

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah melarang jual beli al kâli bi al kâli”.(HR. Al-Bazzar, Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dengan sanad yang dhaif).

Sebagian ulama menafsirkan makna jual beli kaali bil kaali adalah jual beli dimana penjual dan pembeli sama-sama tidak tunai, atau jual beli hutang dengan hutang.

Sekalipun hadits dhaif banyak ulama yang menilai shahih maknanya, bahkan adanya ijma’ (konsensus/kesepakatan) akan diamalkannya kandungan hadits tersebut.

Apakah COD betul haram ?
Sebelum melakukan pendekatan fiqh transaksi COD, kemudian memberikan penilaian "apakah betul haram hukumnya?" ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tiga pembagian jual beli kaali' bil kaali' berserta contoh-contohnya menurut para ulama:

1) Membatalkan hutang dengan hutang.

Contohnya :
a) Tanggungan atau hutang penjual (penyedia barang) dalam transaksi salam dijual kembali sebelum barang diserahkan.
Gambaran kasus : Si A melakukan transaksi salam kepada si B 10 kwuintal beras seharga 1 juta, saat jatuh tempo penyerahan beras, berasnya belum bisa diserahkan si B, lalu ia berkata : Anggap berasnya sudah ada, sekarang kamu jual saja ke saya 1.5 jt dengan pembayaran 3 bulan lagi. Kemudian mereka setuju melakukan akad. Dimana sejatinya si A tidak menjual beras pada si B, karena berasnya belum ada dan sekalipun dianggap ada, maka beras itu bukan dalam tanggungannya, namun dalam tanggungan si B. Ditambah lagi beras dan uang adalah komoditi riba yang harus memiliki rambu-ramb khusus yang perlu diperhatikan khususnya dalam permasalahan serah terima fisik objek transaksinya.

b) Jual beli dengan pembayaran tertunda kemudian harga dinaikkan ketika tidak lunas tepat waktu. Saat jatuh tempo pembayaran, si A belum bisa melunasi motor kreditnya. Maka si A bilang : udah gini aja, tolong jual lagi motor itu ke saya secara kredit 6 bulan lagi dengan penambahan biaya 3 juta lagi, kemudian mereka setuju, tanpa motor dikembalikan dahulu. Ini jelas serupa dengan riba jahiliyyah, dimana adanya sanksi atau finalty akan keterlambatan pembayaran tagihan.

c)  Si A memiliki tanggungan hutang ke si B 100 kwuintal beras. Berkata si A kepada si B : 100 kwuintal itu saya beli dengan pembayaran tertunda selama 6 bulan. Sama seperti kasus pada contoh point a, bedanya disini tanggungannya berupa hutang (qordh) beras sedangkan dicontoh point a diatas dalam kasus salam.

Kasus pengecualian :
Jika kasusnya, si A memiliki tanggungan pembayaran kulkas seharga 3 juta. Saat jatuh tempo si A bilang : 3 juta saya ganti dengan motornya sebulan lagi. Maka menurut syaikhul islam Ibnu Taimiyyah hal ini boleh, karena kulkas dan motor bukan termasuk komoditi riba. Begitu juga boleh kalo diganti 3 jt tersebut dengan emas yang dimiliki si A, selama dibayarkan atau diserah terimakan saat itu juga.

2) Jual hutang dengan hutang.
Menjadikan piutangnya yang ada pada orang lain sebagai uang pembayaran pada akad salam.
Contoh : Si A pemilik toko Hp, datang si B hendak membeli Hp tipe x. Saat itu si A tidak punya hp tersebut karena stok kosong, dan si A menjanjikan barangnya akan dipesankan ke produsennya dan akan datang 3 bulan lagi. Sementara si B minta nanti yang bayar adalah si C, karena si C punya utang ke si B. Lalu mereka melakukan akad. Dalam kasus ini sejatinya si B “menjual” piutangnya yang ada pada si C untuk menjadi alat pembayaran barang yang dipesannya pada si A secara kredit.

Kasus pengecualian :
Adapun jika si A memiliki hutang ke si B, kemudian menjadikan hutang si A untuk pembayaran kasus hp diatas maka hukumnya diperbolehkan. Karena piutang si B diumpamakan seperti simpanan yang tersimpan pada si A, yang dapat ia balanjakan pada si A.

3) Memulai hutang dengan hutang
yaitu menjual barang yang belum dimiliki kepada orang lain dengan pembayaran tertunda atau secara kredit.
a) Jual beli salam untuk barang yang masih dalam tanggungan pihak lain dengan cara pembayaran kredit atau tertunda.
b) Jual beli inden, dimana konsumen memesan suatu barang sementara penjual belum memiliki barangnya dan konsumen membayarkan DP terlebih dahulu, dengan perjanjian nantinya barang akan dipesenkan penjual terlebih dahulu dan jika sudah ada maka akan diserahkan.

Dari tiga pembagian jual beli kaali' bil kaali' diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua jual beli hutang dengan hutang haram hukumnya, terbukti dengan adanya kasus-kasus pengecualian sebagaimana penjelasan diatas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim bahkan hanya mengharamkan jual beli kaali bil kaali dalam bentuk transaksi yang ketiga saja.

Dapat disimpulkan bahwa kasus-kasus diatas berstatus haram, jika menjadi perantara ke arah riba, menjual sesuatu yang belum ada atau mendapatkan keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian sebagaimana telah dikenal sebagai larangan-larangan dalam fiqh muamalah jual beli.

Kembali pada kasus COD diatas, maka pengharaman COD dengan berargumen larangan jual beli kaali bil kaalikami rasa perlu ditinjau ulang. Sebab dalam kasus COD tidak terdapat unsur-unsur yang menjadikannya terlarang, sekalipun barang dan uang pembayarannya sama-sama tertunda.

Terlebih jika kita kritisi dalil larangan “jual beli kaali bil kaali” yang digunakan oleh pihak yang mengharamkannya sebagai berikut:

1) Hadits tersebut dhaif, kurang tepat untuk dijadikan dalil dalam menetapkan hukum haramnya COD atau transaksi lain yang penyerahan dua objek transaksinya tertunda.

2) Klaim ijma dalam pengamalan hadits tersebut masih diperselisihkan, terbukti dengan adanya khilaf sebagian ulama dalam bentuk-bentuk kasus jual beli hutang dengan hutang. Bahkan Syaikhul Islam memandang tidak adanya ijma’ atas larangan jual beli hutang dengan hutang (dain bi dain) dan menjelaskan contoh-contoh jual beli hutang dengan hutang yang diperbolehkan.

3)  Sekalipun dianggap adanya ijma (kesepakatan) larangan jual beli kaali bil kaali maka ijma itu dibawa pada bentuk transaksi dain bi dain (hutang dengan hutang) yang tersepakati haramnya yang disebabkan karena mengandung unsur riba atau menjual sesuatu yang belum menjadi tanggungannya.

4) Penyerahan tertunda untuk uang pembayaran transaksi salam diperbolehkan oleh madzhab maliki, maka hal ini mirip dengan kasus COD yang mengakhirkan penyerahan objek transaksinya saat bertemu.

5) Sebagian ulama memandang diakhirkannya penyerahan kedua objek transaksi diperbolehkan selama bukan dalam transaksi salam, dan COD tidak dapat diserupakan dengan transaksi salam
Dengan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa “mengakhirkan penyerahan kedua objek transaksi” tidak dapat digolongkan kedalam keumuman hadits larangan jual beli kaali bil kaali, sekalipun objek transaksinya termasuk dain bi dain (hutang dengan hutang). Karena itulah, Syaikhul Islam membedakan antar jual beli kaali bil kaali dengan jual beli dain bi dain atau transaksi nasiiah bin nasiiah (tertunda dengan tertunda).

Jual beli kaali bil kaali menurut Syaikhul Islam adalah jual beli tertunda yang belum ada ditangan ditukar dengan sesuatu yang belum ada ditangan. Jual beli seperti itulah yang terlarang.
Maka transaksi COD tidak termasuk dalam larangan hadits kaali bil kaali, sekalipun penjual dan pembeli sudah melakukan deal kesepekatan akad jual belinya, dimana akad dilakukan sebelum pengiriman barang atau ketika transaksi online/via telpon antara penjual dan pembeli. Transaksi ini dinilai hanya sebatas pengakhiran penyerahan kedua objek transaksi, bukan termasuk tiga kategori jual beli kaali bil kaali yang telah kami jelaskan sebelumnya. Wa Allahu a’lam.

Ditulis di Cileungsi, 12 Oktober 2020
oleh Abu Izza Irham Maulana

Referensi :
1) ‘Akad at-Taurid, Haqiqatuhu wa Ahkamuhu fiil fiqhil Islam, Dr. Adil Syahin Muhammad Syahin, Juz 1, hal. 367 – 390.
2) Minhatul Allam Syarh Bulughul Maram, Abdullah bin Abdullah Al-Fauzan, Juz 6, Hal 221-224.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3704307066247164&id=100000037228298