Senin, 14 September 2020

Al-Imam Al-Mujaddid, Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul WahhabNasab, Kelahiran, dan Perkembangan Beliau rahimahullah

Al-Imam Al-Mujaddid, Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab

Nasab, Kelahiran, dan Perkembangan Beliau rahimahullah

Beliau adalah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid At-Tamimi. Beliau dilahirkan pada tahun 1115H -bertepatan dengan 1703M- di negeri ‘Uyainah, daerah yang terletak di utara kota Riyadh, di mana keluarganya tinggal.

Beliau tumbuh di rumah ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau, ‘Abdul Wahhab, yang menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan ‘Abdullah bin Muhammad bin Hamd bin Ma’mar. Kakek beliau, yakni Asy-Syaikh Sulaiman adalah tokoh mufti yang menjadi referensi para ulama. Sementara seluruh paman-paman beliau sendiri juga ulama.

Beliau dididik ayah dan paman-pamannya semenjak kecil. Beliau telah menghafalkan Al-Qur’an sebelum mencapai usia 10 tahun di hadapan ayahnya. Beliau juga memperdengarkan bacaan kitab-kitab tafsir dan hadits, sehingga beliau unggul di bidang keilmuan dalam usia yang masih sangat dini. Di samping itu, beliau sangat fasih lisannya dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama di sekitarnya amat kagum dengan kecerdasan dan keunggulannya. Mereka biasa berdiskusi dengan beliau dalam permasalahan-permasalah ilmiah, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari diskusi tersebut. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri beliau. Namun beliau tidaklah merasa cukup dengan kadar ilmu yang sedemikian ini, sekalipun pada diri beliau telah terkumpul sekian kebaikan. Beliau justru tidak pernah merasa puas terhadap ilmu.

Rihlah Beliau dalam Menuntut Ilmu

Beliau tinggalkan keluarga dan negerinya untuk berhaji. Seusai haji, beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah dan menimba ilmu dari para ulama di negeri itu. Di antara guru beliau di Madinah adalah:
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif, dari Alu (keluarga) Saif An-Najdi. Beliau adalah imam bidang fiqih dan ushul fiqih.
Asy-Syaikh Ibrahim bin ‘Abdillah, putra Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif, penulis kitab Al-‘Adzbul Fa’idh Syarh Alfiyyah Al-Fara’idh.
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Hayah As-Sindi, dan beliau mendapatkan ijazah dalam periwayatannya dari kitab-kitab hadits.

Kemudian beliau kembali ke negerinya.

Tidak cukup ini saja, beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke negeri Al-Ahsa’ di sebelah timur Najd. Di sana banyak ulama mahdzab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar dari mereka, khususnya ulama mahdzab Hambali. Di antaranya adalah Muhammad bin Fairuz dan ‘Abdul Wahhab bin Fairuz. Beliau belajar fiqih kepada mereka dan juga belajar kepada ‘Abdullah bin ‘Abdul Lathif Al-Ahsa’i.

Tidak cukup sampai di situ. Bahkan beliau menuju ke Iraq, khususnya Bashrah, yang pada waktu itu dihuni oleh para ulama ahlul hadits dan fiqih. Beliau menimba ilmu dari mereka khususnya Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i, dan selainnya. Setiap kali pindah, jika beliau memperoleh buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim muridnya, beliau segera menyalinnya dengan pena. Beliau menyalin banyak buku di Al-Ahsa’ dan Bashrah, sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam jumlah yang besar.

Selanjutnya beliau bertekad menuju negeri Syam, karena di sana ketika itu terdapat ahlul ilmi dan ahlul hadits, khususnya dari mahdzab Hambali. Namun setelah menempuh perjalanan ke sana, terasa oleh beliau perjalanan yang sangat berat. Beliau ditimpa lapar dan kehausan, bahkan hampir saja beliau meninggal dunia di perjalanan. Maka beliaupun kembali ke Bashrah dan tidak melanjutkan rihlah-nya ke negeri Syam.

Selanjutnya beliau bertolak ke Najd setelah berbekal ilmu dan memperoleh sejumlah besar kitab, selain kitab-kitab yang ada pada keluarga dan penduduk negeri beliau. Setelah itu, beliau pun berdakwah, mengadakan perbaikan dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta tidak ridha dengan berdiam diri membiarkan manusia dalam kesesatan.

Dakwah Beliau

Kondisi keilmuan dan keagamaan manusia waktu itu benar-benar dalam keterpurukan yang nyata, hanyut dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Sehingga, khurafat, peribadatan kepada kuburan, mayat, dan pepohonan merajalela. Sedangkan para ulamanya sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap aqidah salaf dan hanya mementingkan masalah-masalah fiqih. Bahkan di antara mereka justru memberikan dukungan kepada pelaku-pelaku kesesatan tersebut.

Adapun dari segi politik, mereka tepecah belah, tidak memiliki pemerintahan yang menyatukan mereka. Bahkan setiap kampung mempunyai amir (penguasa) sendiri. ‘Uyainah mempunyai penguasa sendiri, begitu pula Dir’iyyah, Riyadh dan daerah-daerah lainnya. Sehingga pertempuran, perampokan, pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan pun terjadi di antara mereka.

Melihat kondisi yang demikian mengenaskan, bangkitlah ghirah (kecemburuan) beliau terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga rasa kasih sayang beliau terhadap kaum muslimin. Mulailah beliau berdakwah menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengajarkan tauhid, membasmi syirik, khurafat dan bid’ah-bid’ah serta menanamkan manhaj Salafush Shalih. Sehingga berkerumunlah murid-murid beliau, baik dari Dir’iyyah maupun ‘Uyainah.

Selanjutnya beliau mendakwahi amir ‘Uyainah. Pada awalnya, sang amir menyambut baik dakwah tauhid ini dan membelanya. Sampai-sampai ia menghancurkan kubah Zaid bin Al-Khaththab yang menjadi tempat kesyirikan, atas permintaan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Namun karena adanya tekanan dan amir Al-Ahsa’, akhirnya amir ‘Uyainah pun menghendaki agar Asy-Syaikh keluar dari ‘Uyainah. Maka berangkatlah beliau menuju Dir’iyyah tanpa membawa sesuatupun kecuali sebuah kipas tangan guna melindungi wajahnya. Beliau terus berjalan di tengah hari seraya membaca:

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah pasti Allah memberinya jalan keluar dan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (Ath-Thalaq: 2-3)

Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut sampai tiba di tempat murid terbaiknya di Dir’iyyah yang bernama Ibnu Suwailim yang ketika itu merasa takut dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan juga syaikhnya karena penduduk negeri tersebut telah saling memperingatkan untuk berhati-hati dari syaikh. Maka beliau pun menenangkannya dengan mengatakan, “Jangan berpikir yang bukan-bukan, selama-lamanya. Bertawakkallah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Dia akan menolong orang-orang yang membela agamanya.”

Berita kedatangan Asy-Syaikh diketahui seorang wanita shalihah, istri amir Dir’iyyah, Muhammad bin Su’ud. Dia lalu menawarkan kepada suaminya agar membela syaikh ini, karena beliau adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dikaruniakan kepadanya, maka hendaklah dia bersegera menyambutnya. Sang istri berusaha menenangkan dan membangkitkan rasa cinta pada diri suaminya terhadap dakwah dan terhadap seorang ulama. Maka sang amir mengatakan, “(Tunggu) beliau datang kepadaku.” Istrinya menimpali “Justru pergilah Anda kepadanya, karena jika Anda mengirim utusan dan mengatakan ‘Datangkan beliau kepadaku’, bisa jadi manusia akan mengatakan bahwa Amir meminta beliau datang untuk ditangkap. Namun jika Anda sendiri yang mendatanginya, maka itu merupakan suatu kehormatan bagi beliau dan bagi anda.”

Sang amir akhirnya mendatangi Asy-Syaikh, mengucapkan salam dan menanyakan perihal kedatangannya. Asy-Syaikh rahimahullah menerangkan bahwa tidak lain beliau hanya mengemban dakwah para rasul yakni menyeru kepada kalimat tauhid Laa ilaha illallah. Beliau jelaskan maknanya, dan beliau jelaskan pula bahwa itulah aqidah para rasul. Sang amiru mengatakan: “Bergembiralah dengan pembelaan dan dukungan.” Asy-Syaikh rahimahullah menimpali: “Berbahagialah dengan kemuliaan dan kekokohan. Karena barang siapa menegakkan kalimat Laa ilaha illallah ini, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kekokohan kepadanya.” Sang amir menjawab: “Tapi saya punya satu syarat untuk Anda.” Beliau bertanya: “Apa itu?” Sang amir menjawab: “Anda membiarkanku dan apa yang aku ambil dari manusia.” Jawab Asy-Syaikh rahimahullah: “Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kecukupan kepada Anda dari semua ini, dan membukakan pintu-pintu rizki dari sisi-Nya untuk Anda.” Kemudian keduanya berpisah atas kesepakatan ini. Mulailah Asy-Syaikh berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para thalabul ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah. Semenjak itu beliau menjadi imam shalat, mufti dan juga qadhi. Maka terbentuklah pemerintahan tauhid di negeri Dir’iyyah.

Kemudian Asy-Syaikh mengirim risalah ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau, sehingga merekapun diperangi oleh tentara tauhid di bawah komando amir Muhammad bin Su’ud dengan bimbingan dari beliau rahimahullah. Hal itu menjadi sebab meluasnya dakwah tauhid di daerah Najd dan sekitarnya. Bahkan amir ‘Uyainah pun kini masuk di bawah kekuasaan Ibnu Su’ud, begitu pula Riyadh, dan terus meluas ke daerah Kharaj, ke utara dan selatan. Di bagian utara sampai ke perbatasan Syam, dan di bagian selatan hingga perbatasan Yaman, dan di bagian timur dari Laut Merah hingga Teluk Arab. Seluruhnya di bawah kekuasaan Dir’iyyah, baik daerah kota maupun gurunnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan kebaikan, rizki, kecukupan dan kekayaan kepada penduduk Dir’iyyah. Maka berdirilan pusat perdagangan di sana, dan bersinarlah negeri tersebut dengan ilmu dan kekuasaan sebagai berkah dari dakwah salafiyah yang merupakan dakwah para Rasul.

Karya-karya Beliau

Karya beliau sangat banyak, di antaranya:

- Kitab At-Tauhid Al-Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al-‘Abid

- Al-Ushul Ats-Tsalatsah

- Kasyfusy Syubhat

- Mukhtashar Sirah Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam

- Qawa’idul ‘Arba’ah, dan lainnya

Wafat Beliau

Beliau wafat pada tahun 1206H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di jannah-Nya yang luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Amin ya Rabbali ‘alamin.

(Disarikan dari Syarh Ushul Ats-Tsalatsah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 5, dan Syarh Kasyfusy Syubhat, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, hal. 3-12)

=============

Dibagikan oleh Rumah Ilmu Dar Alamiyyah & Kampus Dakwah Utsman diseberang Kampus Lipia Jakarta Selatan dibawah bimbingan ust Anton Abdillah Al Atsary