Sabtu, 29 Februari 2020

NASEHAT DALAM MENUNTUT ILMU (10)

NASEHAT DALAM MENUNTUT ILMU (10)

Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-

(Masjid Nurul Iman)

KIAT-KIAT MERAIH ILMU SYAR’I

Telah disebutkan pada kajian sebelumnya: dua kiat dari kiat-kiat meraih ilmu syar’i; yaitu:

KIAT PERTAMA: MENGIKHLASKAN NIAT DALAM MENUNTUT ILMU

Yang memiliki Surga adalah Allah, yang memiliki ganjaran dan pahala juga Allah. Maka, dari-Nya kita mengharapkan pahala dan Surga. Adapun manusia; maka mereka adalah makhluk yang faqir; sebagaimana firman Allah -Ta’aalaa-:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ}

“Wahai manusia! Kamulah yang faqir (memerlukan) kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Dan masalah keikhlasan ini harus terus diingatkan, karena keinginan hawa nafsu manusia sangatlah banyak: ingin dipuji, ingin menonjol, ingin bagian dunia, dan lainnya.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab -rahimahullaah- membuat bab dalam Kitab Tauhid:

بَابُ: مِنَ الشِّرْكِ إِرَادَةُ الْإِنْسَانِ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا

“Bab: Di antara bentuk kesyirikan adalah seorang melakukan amal shalih untuk kepentingan dunia.”

Maka, mengharap dunia dari ibadah termasuk kesyirikan. Sehingga kita berusaha mengikhlaskan amalan kepada Allah.

KIAT KEDUA: MEMOHON ILMU YANG BERMANFAAT KEPADA ALLAH -Tabaaraka Wa Ta’aalaa-

Di antara doa yang diucapkan setiap hari -pada dzikir pagi-:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا.

 “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu: ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.” [HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan lainnya]

Dan setelah berdo’a; maka harus disertai usaha/ikhtiar untuk mendapatkan ilmu yang bermanfat; yaitu: dengan menuntut ilmu, mendatangi kajian, membaca Al-Qur-an disertai tafsirnya, membaca kitab-kitab para ulama, dan lain-lain.

Dan buah dari ilmu yang bermanfaat akan terlihat pada: rasa takut yang muncul dari hamba; sehingga ia bersegera melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

KIAT KETIGA: BERSUNGGUH-SUNGGUH DALAM MENUNUT ILMU SYAR’I DAN RINDU UNTUK MENDAPATKANNYA

Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat -dengan izin Allah- apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.

Seorang penuntut ilmu harus selalu hadir di majelis ilmu dan berusaha agar datang lebih awal di majelis; tidak boleh terlambat, karena menuntut ilmu lebih penting dari pada amal-amal sunnah dan wajib kifayah. Penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh, sebab tanpa kesungguhan; kita tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Imam Asy-Syafi’i (wafat th. 104) -rahimahullaah- berkata:

أَخِيْ لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ * سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَان

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ * وَإِرْشَادُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان

“Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu melainkan dengan enam perkara,

aku beritahukan kepadamu rinciannya dengan jelas:

Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh,

bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktu yang lama.”

Keenam hal inilah yang diwasiatkan Imam Asy-Sayfi’i -rahimahullaah- bagi para penuntut ilmu syar’i:

1. Kecerdasan.

2. Kemauan yang keras.

3. Kesungguhan.

4. Bekal.

Dahulu para ulama menaiki unta, keledai, dan kuda dalam menuntut ilmu. Dan perjalanan yang mereka tempuh bukan hanya sehari dua hari, akan tetapi bisa sampai berbulan-bulan. Mereka juga membawa bekal berupa kertas dan tinta. Dan mereka tidak menzhalimi keluarga yang ditinggalkn, tapi mereka juga membekali keluarganya selama mereka menuntut ilmu. Dan untuk semuanya itu: mereka tidak minta-minta kepada manusia. Tidak seperti sekarang; penuntut ilmu dan ustadz banyak yang bermudah-mudahan meminta bantuan kepada orang lain: untuk berangkat menuntut ilmu; mengikuti dauroh dan lainnya.

5. Bimbingan ustadz.

6. Waktu yang lama.

Ilmu syar’i bukan seperti ilmu umum yang bisa dikursuskan. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- saja mendapat wahyu selama 23 tahun.

Seorang da’i boleh saja mengikuti dauroh yang diadakan selama sepekan, tapi hanya sebagai kunci untuk membuka ilmu.

[Di antara dalil yang menunjukkan atas keharusan untuk bersungguh-sungguh dalam kebaikan -di antaranya menuntut ilmu-:]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ؛ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَذَا؛ لَكَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلٰكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ؛ فَعلَ، فإنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah engkau untuk mendapatkan yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah; maka janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian; tentulah yang terjadi adalah begini dan begitu’, tetapi katakanlah: ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki’, karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.” [HR. Muslim]

Dalam hadits ini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan beberapa perkara:

PERTAMA: Mukmin yang kuat. Kuat di sini adalah berkaitan dengan kuat iman; bukan berkaitan dengan kuat fisik, bukan mukmin yang kuat badannya. Maka, jelas bahwa mukmin yang kuat imannya dicintai oleh Allah. Dan kita berusaha menguatkan iman kita di antaranya dengan majelis ilmu yang merupakan majelis penyubur iman.

KEDUA: Masing-masing dari mukmin yang kuat imannya maupun yang lemah imannya: pada keduanya ada kebaikan. Karena orang yang beriman jelas lebih baik dari orang kafir; meskipun orang beriman itu lemah imannya. Dan tidak bisa disamakan antara mukmin dengan kafir.

Akan tetapi tidak boleh seorang mukmin itu lemah terus imannya, ia harus berusaha meningkatkan imannya. Seorang terkadang mengatakan: “Saya lemah imannya.” Tapi dia tidak mau menuntut ilmu, tidak membaca Al-Qur-an dan kitab-kitab para ulama agar kuat imannya. Ada juga yang sudah lima tahun mengikuti kajian tapi masih mengatakan: “Saya orang awam.” Maka seharusnya dia berusaha meningkatkan keilmuannya.

KETIGA: Kita harus mempunyai kemauan keras dalam hal yang bermanfaat; baik dalam urusan akhirat maupun dunia. Namun yang paling pokok jelas manfaat akhirat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:

فَإِذَا تَعَارَضَتْ مَنْفَعَةُ الدِّيْنِ وَمَنْفَعَةُ الدُّنْيَا؛ فَقَدِّمْ مَنْفَعَةَ الدِّيْنِ؛ لِأَنَّ الدِّيْنَ إِذَا صَلَحَ؛ صَلَحَتِ الدُّنْيَا، أَمَّا الدُّنْيَا إِذَا صَلَحَتْ مَعَ فَسَادِ الدِّيْنِ؛ فَإِنَّهَا تَفْسُدُ

“Jika bertentangan antara manfaat agama dan manfaat dunia; maka dahulukanlah manfaat agama. Karena apabila agama baik; akan baik pula dunianya. Adapun dunia; apabila baik disertai rusaknya agama; maka dunia tersebut akan rusak.” [“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/79)]

Jadi, bukan berarti kita tidak mencari dunia; akan tetapi kita harus menjadi “Abnaa-ul Aakhirah” (anak-anak akhirat), seperti yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu-:

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُوْنَ، فَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ، وَلَا تَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ اليَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ

“Dunia pergi ke belakang dan akhirat datang dari depan, dan masing-masing dari keduanya ada anak-anaknya. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Sungguh, sekarang yang ada adalah amal dan belum ada hisab (perhitungan amal), tapi nanti akan ada hisab dan tidak ada waktu beramal.” [Dibawakan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq]

Yang diperintahkan oleh Allah adalah mencari akhirat. Adapun dunia; maka Allah katakan: jangan lupakan. Sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا...}

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia…” (QS. Al-Qashash: 77)

Pembicaraan tentang hadits ini sebenarnya sangat panjang, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-:

وَهَذَا الْحَدِيْثُ فِي الْحَقِيْقَةِ يَحْتَاجُ إِلَى مُجَلَّدَاتٍ

“Hadits ini sebenarnya butuh (penjelasan) berjilid-jilid (kitab).” [“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/80)]

Yang pokok dan pertama kali dalam bersungguh-sungguh adalah: bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, dan yang paling penting dari ilmu adalah: ilmu tauhid, selain kita juga harus memperhatikan ibadah kita.

Kita hidup bukan untuk main-main, kita hidup harus bersungguh-sungguh. Tidak bisa kita menuntut ilmu dengan sambilan, tidak bisa menuntut ilmu disertai dengan main HP; sehingga tidak boleh dalam majelis ilmu ini ada suara dering HP.

KEEMPAT: Minta tolong kepada Allah. Karena dalam menuntut ilmu: tidak bisa kita belajar, membaca, dan menghafal; kecuali dengan pertolongan dari Allah. Manusia asalnya adalah lemah:

{...وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفًا}

“…karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisaa’: 28)

Yang kuat adalah Allah. Maka ketika Allah sebutkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah (dalam QS. Adz-Dzariyat: 56); maka Allah sebutkan tentang kekuatan-Nya (dalam QS. Adz-Dzariyat: 58). Allah berfirman:

{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ * مَا أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ * إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ}

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)

Kita tidak dapat beribadah kecuali dengan pertolongan Allah:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ}

“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

Allah yang telah menolong kita dalam semua urusan kita, sehingga keberhasilan kita bukanlah karena kehebatan kita. Dengan meyakini demikian; maka akan hilang sifat ‘ujub dalam diri kita.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:

“Sabda Nabi -‘alaihish shalaatu was salaam-: “dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu)” alangkah mengagumkan kalimat ini (beliau sabdakan) setelah sabda beliau: “Bersungguh-sungguhlah engkau untuk mendapatkan yang bermanfaat bagimu .” Karena manusia jika dia berakal dan cerdas; maka dia pasti akan mencari-cari hal-hal yang bermanfaat dan mengambil yang paling bermanfaat dan berusaha keras dan bersungguh-sungguh (dalam mendapatkannya). Dan terkadang dia ditipu oleh dirinya sendiri sampai dia bersandar kepada dirinya dan lupa untuk minta tolong kepada Allah. Dan hal ini banyak terjadi pada manusia; dimana dia ‘ujub dengan dirinya sendiri dan tidak ingat kepada Allah -‘Azza Wa Jalla- dan tidak minta tolong kepada-Nya. Jika dia melihat ada kekuatan pada dirinya untuk melakukan berbagai amalan dan dia bersemangat atas hal yang bermanfaat dan semangat untuk melakukannya; maka dia ‘ujub dengan dirinya dan lupa untuk minta tolong kepada Allah. Oleh karena itulah Rasullullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“Bersungguh-sungguhlah engkau untuk mendapatkan yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu).”

Yakni: janganlah engkau lupa untuk minta tolong kepada Allah walaupun dalam masalah kecil.” [“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/80)]

KELIMA: Janganlah sekali-kali merasa lemah, dan ini maknanya ada dua:

1. Janganlah engkau tinggalkan amal.

2. Jangan malas dan mundur dalam amal, jika engkau memulai suatu amal; maka teruslah dalam amalan tersebut. Di antara contohnya adalah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-: seperti orang yang mencari suatu masalah dalam kitab-kitab; terkadang kita mmencari suatu permasalahan di kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, sebelum kita temukan masalah yang kita inginkan; mata kita tertuju pada suatu masalah lain yang menarik perhatian kita, maka jangan tinggalkan masalah yang kita cari. Kalau seorang mengikuti setiap masalah yang bukan tujuan utamanya; maka lama-kelamaan dia akan menjadi bosan. [Lihat: “Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/81)]

Seperti juga seorang yang sudah rutin mengikuti kajian, kemudian ada kajian lain yang dia rasa lebih enak -mungkin karena tidak menggunakan kitab, hanya cukup mendengarkan-. Maka orang semacam ini lama-kelamaan dia akan bosan.

Jadi, belajar membutuhkan kesabaran dan perjuangan yang berat; sama dengan orang yang berdakwah juga membutuhkan yang demikian. Kalau kita lihat orang-orang yang berbuat syirik, bid’ah dan maksiat; maka mereka terus-menerus melakukannya dengan sabar, dan mereka pun saling menasehati untuk sabar; seperti yang Allah firmankan tentang orang-orang musyrik:

{وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوْا وَاصْبِرُوْا عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ}

“Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): “Pergilah kamu dan bersabarlah (tetaplah menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.” (QS. Shaad: 6)

Maka jangan sampai kita kalah dari mereka.

KEENAM: Setiap orang pasti tertimpa musibah, maka kita harus bersabar atasnya. Yang pertama kali harus kita ingat adalah: beriman kepada takdir yang merupakan salah satu rukun iman, yang Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sabdakan:

وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ؛ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang jelek.” [HR, Muslim]

Dan orang yang Allah kehendaki kebaikan baginya; pasti terkena musibah. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya; maka Allah akan (mengujinya dengan) menimpakan musibah padanya.” [HR. Al-Bukhari]

KETUJUH: Dalam hadits ini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

وَإنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ؛ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَذَا؛ لَكَانَ كَذَا وَكَذَا.

“Apabila engkau tertimpa musibah; maka janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian; tentulah yang terjadi adalah begini dan begitu’.”

Yang sudah terjadi maka jangan katakan ‘seandainya’. Seperti anak yang sakit parah dan tidak dibawa ke rumah sakit; maka jangan katakan: “Seandainya saya bawa ke rumah sakit.” Atau dalam berdagang; jangan sampai seorang mengatakan: “Seandainya saya dahulu berdagang ini; pasti sudah untung.” Semua sudah dikehendaki oleh Allah dan semua berkaitan dengan hikmah dan ilmu Allah. Allah berfirman:

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيْمًا

"Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS. Al-Insan: 30)

KEDELAPAN: Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

وَلٰكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ؛ فَعلَ.

“tetapi katakanlah: ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki’,”

Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan demikian karena yang terjadi ini sudah ditakdirkan. Semua yang ada di langit dan bumi: berjalan dengan takdir Allah.

KESEMBILAN: Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan alasan kenapa tidak boleh mengucapkan ‘seandainya’:

فإنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.”

Ucapan ‘seandainya’ hanya mendatangkan was-was, kesedihan, dan penyesalan. Tidak boleh kita terus menyesal dan sedih atas musibah yang menimpa, karena dengan adanya kesedihan; kita akan malas dalam beribadah, malas dalam bekerja, dan malas dalam belajar.

-------------***------------

Maka, kita kembali pada pembahasan: Kiat Ketiga Untuk Meraih Ilmu Syar’i; yaitu: Bersungguh-sungguh Dalam Menuntut Ilmu: Seorang penuntut ilmu wajib bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Seseorang tidak mungkin mendapat ilmu dengan santai. Yahya bin Abi Katsir (wafat th. 132 H) -rahimahullaah- berkata:

لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ

“Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai).” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Sehingga tidak bisa menuntut ilmu dengan santai, dengan jalan santai, dengan wisata, dengan motor-motoran, dan semisalnya. Dengan cara-cara semacam ini seorang tidak akan mendapatkan ilmu.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

  وَمنْ آثَرَ الرَّاحَة فَاتَتْهُ الرَّاحَةُ

“Barangsiapa lebih mendahulukan istirahat/santai; maka dia akan kehilangan kebahagiaan (di akhirat).” [“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/446)]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، وَمَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطَهُ، وَمَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَّ يُوقَهُ

“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan (sungguh-sungguh) belajar dan sikap sabar (penyantun) diperoleh dengan membiasakan diri untuk sabar. Barangsiapa yang berusaha (keras) mencari kebaikan; maka ia akan memperoleh diberikan (kebaikan), dan barangsiapa yang menjaga dirinya dari kejelekan (kejahatan) maka ia akan dilindungi Allah dari (kejelekan) kejahatan.” [HR. Ibnul Jauzi dalam “Al-‘Ilal Mutanahiyah” dan Al-Khathib dalam “Tarikh Baghdad”, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 342)]

Ilmu didapatkan dengan belajar. Ilmu tidak didapatkan dengan keturunan, mimpi, apalagi ilmu laduni. Maka anggapan bahwa ilmu bisa didapat dengan cara laduni; ini kebohongan dan kedustaan. Ilmu hanya bisa didapat dengan cara belajar. Nabi Musa -‘alaihis salaam- belajar kepada Nabi Khidir -‘alaihis salaam-; sebagaimana yang Allah firmankan:

{قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا}

“Musa berkata kepadanya (Nabi Khidir): “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (QS. Al-Kahfi: 66)

Nabi Musa sampai meninggalkan dakwahnya untuk menuntut ilmu. Berbeda dengan orang zaman sekarang yang diajak belajar tapi ia tidak mau; dengan alasan: ada jadwal mengajar.

Para Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum- belajar kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dan setelah beliau wafat; maka mereka saling bertanya satu sama lain tentang hadits-hadits beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

KIAT KEEMPAT: MENJAUHKAN DIRI DARI DOSA DAN MAKSIAT DENGAN BERTAQWA KEPADA ALLAH -‘AZZA WA JALLA-

Dosa banyak sekali jumlahnya; tidak bisa dihitung: ada dosa lisan, dosa tangan, dosa hati, dosa kepada Allah, dosa yang berkaitan dengan orang tua, keluarga, dan kaum muslimin.

Cahaya ilmu bisa hilang dengan berbuat dosa. Ibnu Mas’ud (wafat th. 32 H) -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: “Sungguh, aku mengetahui bahwa seseorang lupa terhadap ilmu yang pernah diketahuinya dengan sebab dosa yang dilakukannya.” [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab “Az-Zuhd” dan Ibnu ‘Abdill Barr dalam “Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi”]

Oleh karena itu, Allah perintahkan kita untuk bertakwa:

{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ}

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 29)

Maksud “Furqaan” pada ayat di atas adalah petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang bertaqwa kepada Allah; maka Allah akan memberikannya ilmu yang dengannya ia dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil.

Juga firman Allah:

{...وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ}

“…Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Di antara ulama ada yang menjelaskan bahwa maknanya: barangsiapa bertakwa; maka akan Allah beri ilmu.

Dosa-dosa yang dilakukan oleh muslim dan muslimah sangatlah banyak. Akan tetapi di sini perlu diingatkan bahwa ada orang-orang yang menjauhi dosa; tapi ia tidak menjaga lisannya. Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- berkata:

“Di antara hal yang sangat mengherankan: bahwa ada seseorang yang mudah menjaga dirinya dan berhati-hati dari makan makanan yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum khamar, melihat kepada sesuatu yang haram dan selainnya; namun ia sangat sulit untuk menahan gerak lisannya, sehingga Anda dapat melihat seseorang yang dianggap faham agama, zuhud, dan banyak beribadah; ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar dapat mendatangkan murka Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-. Yang dengan satu kalimat darinya; dia dimasukkan ke dalam Neraka yang dalamnya lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” [“Ad-Daa’ wad Dawaa’” (hlm. 244)]

Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- ini selaras dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَهْوِيْ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata yang tidak diklarifikasinya (tidak diketahui kebenarannya); maka akan menjerumuskan ke dalam Neraka lebih jauh daripada apa yang ada di antara timur dan barat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Maka kita harus berhati-hati terhadap berita-berita di medsos atau yang kita dapat dari teman di WA; yang terkadang dengan berita itu kita bisa menuduh orang lain; dan ternyata tuduhan tersebut salah. Kita hendaknya mengurusi diri sendiri dan keluarga, jangan disibukkan mengurusi orang lain, mengurusi da’i-da’i, dan lainnya.

Imam Asy-Safi’i -rahimahullaah- berkata:

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ * فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيْ

وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ * وَنُوْرُ اللهِ لَا يهْدَىُ لِعَاصِيْ

Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku

Ia membimbingku agar meninggalkan maksiat

Ia kabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya

Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat

[“Diiwaan Imaam Asy-Syaafi’i” (hlm. 262-263)]

Terkadang ada orang yang banyak dosa; akan tetapi hafalannya tetap ada. Maka orang semacam ini ilmunya tidak bermanfaat, dan lambat laun akan hilang hafalannya.

Imam Malik bin Anas -rahimahullaah- (wafat th. 179H) -guru dari Imam Asy-Syafi’i- memberikan nasehat kepada Imam Asy-Syafi’i: “Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah memberikan cahaya kepada hatimu; maka janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.” [“Ad-Daa’ wad Dawaa’” (hlm. 124)]

Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181) -rahimahullaah- berkata:

رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ * وَقَدْ يُوْرِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا

وَتَرْكُ الذُّنُوْبِ حَيَاةُ الْقُلُوْبِ * وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا

وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّيْنَ إِلَّا الْمُلُوْكُ * وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا

“Sungguh, aku melihat dosa-dosa telah mematikan hati, dan terus melakukan dosa akan mewariskan kehinaan.

Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan sangat baik bagi dirimu untuk meninggalkannya.

Tidak ada yang merusak agama melainkan raja-raja, ulama suu’ (jelek) dan para ahli ibadah (yang tidak berilmu).”

[“Ad-Daa’ wad Dawaa’” (hlm. 95)]

Ada tiga perkara yang perlu diperhatikan dari perkataan beliau:

PERTAMA: Dosa-dosa adalah mematikan hati. Dan hal ini adalah benar; sesuai dengan hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ، كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِيْ قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ؛ صُقِلَ قَلْبُهُ، فَإِنْ زَادَ؛ زَادَتْ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِيْ ذَكَرَهُ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ}

“Sungguh, seorang mukmin jika ia berdosa; maka akan menjadi noktah hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan (dosanya), dan beristighfar; maka hatinya akan dibersihkan. Kalau ia menambah (dosanya); maka noktah hitam pun akan bertambah. Maka itulah “ar-Raan” (tutupan) yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) [HR. Ahmad dan lainnya]

KEDUA: Orang yang banyak berbuat dosa; maka ia akan hina dan hidupnya penuh kehinaan. Sedangkan kalau ia meninggalkan dosa; maka akan hidup hatinya.

KETIGA: Ada tiga golongan perusak agama:

1. Penguasa; karena rakyat beragama mengikuti penguasa mereka.

2. Ulama Suu’ (jelek). Da’i-da’i yang mengajak kepada kesesatan, dan ini yang Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- paling takutkan. Dan mereka ini (ulama suu)’ ada di setiap zaman.

3. Ahli ibadah yang tanpa ilmu.

Maka, kita harus bertaubat kepada Allah, dan seorang hamba harus bertaubat setiap saat, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- dalam “Madaarijus Saalikiin”:

وَمَنْزِلُ التَّوْبَةِ: أَوَّلُ الْمَنَازِلِ، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ الْعَبْدُ

“Dan kedudukan Taubat adalah: awal kedudukan, tengahnya, dan akhirnya; dan tidak terpisah dari hamba.”

Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap keturunan Adam adalah banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah orang yang banyak bertaubat.”

Dan Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- telah memerintahkan untuk bertaubat:

{...وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ}

 “…Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)

Juga Allah perintahkan untuk bertaubat dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا...}

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat “Nashuha” (yang semurni-murninya)…” (QS. At-Tahrim: 8)

Imam An-Nawawi -rahimahullaah- menyebutkan dalam “Riyadhus Shalihin” bahwa syarat taubat ada tiga:

1. Meninggalkan dosa tersebut.

2. Menyesali perbuatan dosanya.

3. Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.

Jika dosanya berkaitan dengan hak orang lain; maka syaratnya ditambah satu: harus diselesaikan dengan orang tersebut.

-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix