Kamis, 27 Februari 2020

HUKUM MENCICIPI BUAH SEBELUM MEMBELI

HUKUM MENCICIPI BUAH SEBELUM MEMBELI

Para ulama fiqih sudah melakukan pembahasan terkait kebiasaan yang berlaku dalam transaksi jual-beli buah dan semisalnya yang mana pembeli ingin mengetahui rasa barang yang dijual oleh penjual apakah sesuai dengan penawaran yang disampaikan oleh penjual atau tidak. Umumnya buah yang dijual yang ingin dicicipi oleh pembeli adalah rasa manisnya.

Fiimaa na'lam pembicaraan dikalangan ulama kita adalah mengerucut kepada dua macam terkait mencicipinya, yakni mencicipi dengan niat tidak membelinya dan mencicipi dengan niat membelinya ketika cocok dengan ekspetasinya.

Adapun mencicipi dengan niat dari awal memang tidak ingin membeli buah atau kalau istilah populernya "cari gratisan", maka para ulama fiqih menyebut mereka dengan sebutan "الْقَلَّاشَ". Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya "Raudhoh ath-Thaalibiin" (VIII/186) mengatakan tentang al-Qollaasy yaitu :
وَهُوَ مَنْ يُوهِمُ أَنَّهُ يَشْتَرِي الطَّعَامَ لِيَذُوقَهُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ الشِّرَاءَ
"Orang yang disangka akan membeli makanan, lalu ia mencicipinya padahal tidak ada keinginan untuk membelinya."

Menurut asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithiy hafizhahullah bahwa modusnya "al-Qollaasy" ini masuk ke pasar lalu cicap-cicip barang yang dijual tanpa bermaksud membelinya dan ia keluar dari pasar dalam kondisi perutnya sudah kenyang. Adapun hukumnya, maka asy-Syaikh ibnu Jibriin rahimahullah pernah berfatwa :
فمثل هذا لا يجوز، حرام عليه
"maka perbuatan semisal ini (yakni cicip tanpa ada keinginan untuk membeli, pent.) tidak boleh dan haram atasnya."

Adapun jika memang pembeli berkeinginan membeli buah misalnya, lalu ia mencicipinya terlebih dahulu untuk mengetahui rasanya, maka tim islamweb mengatakan :
فمن أراد شراء هذه المطعومات، فلا حرج عليه في ذوقها؛ لأن الغالب أن أصحاب هذه المحال يأذنون في مثل ذلك القدر اليسير، سواء كان الإذن صريحًا أم عرفيًّا
"Barangsiapa yang ingin membeli makanan-makanan tersebut, maka tidak mengapa untuk mencicipinya, karena umumnya pemilik makanan tersebut mengizinkannya untuk dicicipi dengan jumlah sedikit, sama saja apakah izinnya secara jelas atau berdasarkan urf (kebiasaan) yang berlaku di masyarakat."

asy-Syaikh ibnu Jibriin rahimahullah juga berkata :
...إذا أخذ منه قليلًا، وجعله في فمه ليعرف جودته, أو نحو ذلك، فهذا يُعفى عنه، ولو كان ما جزم بشرائه؛ لأنه يحتاج إلى معرفته بالتجربة: هل يناسب شراؤه منه أو لا يناسب...
" ...jika pembeli mengambil sedikit, lalu ia rasakan di mulutnya untuk mengetahui rasanya atau yang semisalnya, maka ini ditoleransi sekalipun ternyata tidak jadi membeli, karena ia butuh kepada mengetahui rasanya dengan mencicipinya, apakah sesuai untuk dibeli atau tidak...".

Adapun jika penjual secara tegas tidak mengizinkan pembeli untuk mencicipi barang yang dijualnya, maka haram hukumnya untuk mencicipinya. Lembaga resmi fatwa Uni Emirat Arab berfatwa :
أن تذوق المبيع قبل شرائه موقوف على إذن البائع، فإن أذن بالتذوق أو علم منه الإذن حقيقة جاز وإن لم يأذن حرم، لأننا نهينا عن الانتفاع بما يملكه الغير إلا بإذن صاحبه، وجاء النهي صريحاً عن أكل الأموال بالباطل إلا عن تراض بين كل من البائع والمشتري
"pembeli mencicipi barang sebelum dibelinya tergantung dengan izin penjualnya, jika ia mengizinkan untuk dicicipi atau diketahui ia akan mengizinkannya secara kenyataannya, maka boleh. Namun jika TIDAK DIIZINKAN maka HARAM, karena kita dilarang mengambil manfaat dari apa yang masih menjadi milik orang lain kecuali dengan izin pemiliknya. Telah datang larangan yang jelas terkait memakan harta dengan batil, kecuali dengan keridhoan antara pembeli dan penjual."

Wallahu a'lam.

Referensi :
¶ https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=100530
¶ https://www.islamweb.net/ar/fatwa/376849/
¶ http://www.alkhaleej.ae/mob/detailed/

Abu Sa'id Neno Triyono