Sabtu, 29 Februari 2020

NASEHAT DALAM MENUNTUT ILMU (10)

NASEHAT DALAM MENUNTUT ILMU (10)

Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-

(Masjid Nurul Iman)

KIAT-KIAT MERAIH ILMU SYAR’I

Telah disebutkan pada kajian sebelumnya: dua kiat dari kiat-kiat meraih ilmu syar’i; yaitu:

KIAT PERTAMA: MENGIKHLASKAN NIAT DALAM MENUNTUT ILMU

Yang memiliki Surga adalah Allah, yang memiliki ganjaran dan pahala juga Allah. Maka, dari-Nya kita mengharapkan pahala dan Surga. Adapun manusia; maka mereka adalah makhluk yang faqir; sebagaimana firman Allah -Ta’aalaa-:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ}

“Wahai manusia! Kamulah yang faqir (memerlukan) kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Dan masalah keikhlasan ini harus terus diingatkan, karena keinginan hawa nafsu manusia sangatlah banyak: ingin dipuji, ingin menonjol, ingin bagian dunia, dan lainnya.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab -rahimahullaah- membuat bab dalam Kitab Tauhid:

بَابُ: مِنَ الشِّرْكِ إِرَادَةُ الْإِنْسَانِ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا

“Bab: Di antara bentuk kesyirikan adalah seorang melakukan amal shalih untuk kepentingan dunia.”

Maka, mengharap dunia dari ibadah termasuk kesyirikan. Sehingga kita berusaha mengikhlaskan amalan kepada Allah.

KIAT KEDUA: MEMOHON ILMU YANG BERMANFAAT KEPADA ALLAH -Tabaaraka Wa Ta’aalaa-

Di antara doa yang diucapkan setiap hari -pada dzikir pagi-:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا.

 “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu: ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.” [HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan lainnya]

Dan setelah berdo’a; maka harus disertai usaha/ikhtiar untuk mendapatkan ilmu yang bermanfat; yaitu: dengan menuntut ilmu, mendatangi kajian, membaca Al-Qur-an disertai tafsirnya, membaca kitab-kitab para ulama, dan lain-lain.

Dan buah dari ilmu yang bermanfaat akan terlihat pada: rasa takut yang muncul dari hamba; sehingga ia bersegera melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

KIAT KETIGA: BERSUNGGUH-SUNGGUH DALAM MENUNUT ILMU SYAR’I DAN RINDU UNTUK MENDAPATKANNYA

Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat -dengan izin Allah- apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.

Seorang penuntut ilmu harus selalu hadir di majelis ilmu dan berusaha agar datang lebih awal di majelis; tidak boleh terlambat, karena menuntut ilmu lebih penting dari pada amal-amal sunnah dan wajib kifayah. Penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh, sebab tanpa kesungguhan; kita tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Imam Asy-Syafi’i (wafat th. 104) -rahimahullaah- berkata:

أَخِيْ لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ * سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَان

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ * وَإِرْشَادُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان

“Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu melainkan dengan enam perkara,

aku beritahukan kepadamu rinciannya dengan jelas:

Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh,

bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktu yang lama.”

Keenam hal inilah yang diwasiatkan Imam Asy-Sayfi’i -rahimahullaah- bagi para penuntut ilmu syar’i:

1. Kecerdasan.

2. Kemauan yang keras.

3. Kesungguhan.

4. Bekal.

Dahulu para ulama menaiki unta, keledai, dan kuda dalam menuntut ilmu. Dan perjalanan yang mereka tempuh bukan hanya sehari dua hari, akan tetapi bisa sampai berbulan-bulan. Mereka juga membawa bekal berupa kertas dan tinta. Dan mereka tidak menzhalimi keluarga yang ditinggalkn, tapi mereka juga membekali keluarganya selama mereka menuntut ilmu. Dan untuk semuanya itu: mereka tidak minta-minta kepada manusia. Tidak seperti sekarang; penuntut ilmu dan ustadz banyak yang bermudah-mudahan meminta bantuan kepada orang lain: untuk berangkat menuntut ilmu; mengikuti dauroh dan lainnya.

5. Bimbingan ustadz.

6. Waktu yang lama.

Ilmu syar’i bukan seperti ilmu umum yang bisa dikursuskan. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- saja mendapat wahyu selama 23 tahun.

Seorang da’i boleh saja mengikuti dauroh yang diadakan selama sepekan, tapi hanya sebagai kunci untuk membuka ilmu.

[Di antara dalil yang menunjukkan atas keharusan untuk bersungguh-sungguh dalam kebaikan -di antaranya menuntut ilmu-:]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ؛ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَذَا؛ لَكَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلٰكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ؛ فَعلَ، فإنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah engkau untuk mendapatkan yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah; maka janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian; tentulah yang terjadi adalah begini dan begitu’, tetapi katakanlah: ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki’, karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.” [HR. Muslim]

Dalam hadits ini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan beberapa perkara:

PERTAMA: Mukmin yang kuat. Kuat di sini adalah berkaitan dengan kuat iman; bukan berkaitan dengan kuat fisik, bukan mukmin yang kuat badannya. Maka, jelas bahwa mukmin yang kuat imannya dicintai oleh Allah. Dan kita berusaha menguatkan iman kita di antaranya dengan majelis ilmu yang merupakan majelis penyubur iman.

KEDUA: Masing-masing dari mukmin yang kuat imannya maupun yang lemah imannya: pada keduanya ada kebaikan. Karena orang yang beriman jelas lebih baik dari orang kafir; meskipun orang beriman itu lemah imannya. Dan tidak bisa disamakan antara mukmin dengan kafir.

Akan tetapi tidak boleh seorang mukmin itu lemah terus imannya, ia harus berusaha meningkatkan imannya. Seorang terkadang mengatakan: “Saya lemah imannya.” Tapi dia tidak mau menuntut ilmu, tidak membaca Al-Qur-an dan kitab-kitab para ulama agar kuat imannya. Ada juga yang sudah lima tahun mengikuti kajian tapi masih mengatakan: “Saya orang awam.” Maka seharusnya dia berusaha meningkatkan keilmuannya.

KETIGA: Kita harus mempunyai kemauan keras dalam hal yang bermanfaat; baik dalam urusan akhirat maupun dunia. Namun yang paling pokok jelas manfaat akhirat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:

فَإِذَا تَعَارَضَتْ مَنْفَعَةُ الدِّيْنِ وَمَنْفَعَةُ الدُّنْيَا؛ فَقَدِّمْ مَنْفَعَةَ الدِّيْنِ؛ لِأَنَّ الدِّيْنَ إِذَا صَلَحَ؛ صَلَحَتِ الدُّنْيَا، أَمَّا الدُّنْيَا إِذَا صَلَحَتْ مَعَ فَسَادِ الدِّيْنِ؛ فَإِنَّهَا تَفْسُدُ

“Jika bertentangan antara manfaat agama dan manfaat dunia; maka dahulukanlah manfaat agama. Karena apabila agama baik; akan baik pula dunianya. Adapun dunia; apabila baik disertai rusaknya agama; maka dunia tersebut akan rusak.” [“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/79)]

Jadi, bukan berarti kita tidak mencari dunia; akan tetapi kita harus menjadi “Abnaa-ul Aakhirah” (anak-anak akhirat), seperti yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu-:

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُوْنَ، فَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ، وَلَا تَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ اليَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ

“Dunia pergi ke belakang dan akhirat datang dari depan, dan masing-masing dari keduanya ada anak-anaknya. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Sungguh, sekarang yang ada adalah amal dan belum ada hisab (perhitungan amal), tapi nanti akan ada hisab dan tidak ada waktu beramal.” [Dibawakan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq]

Yang diperintahkan oleh Allah adalah mencari akhirat. Adapun dunia; maka Allah katakan: jangan lupakan. Sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا...}

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia…” (QS. Al-Qashash: 77)

Pembicaraan tentang hadits ini sebenarnya sangat panjang, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-:

وَهَذَا الْحَدِيْثُ فِي الْحَقِيْقَةِ يَحْتَاجُ إِلَى مُجَلَّدَاتٍ

“Hadits ini sebenarnya butuh (penjelasan) berjilid-jilid (kitab).” [“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/80)]

Yang pokok dan pertama kali dalam bersungguh-sungguh adalah: bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, dan yang paling penting dari ilmu adalah: ilmu tauhid, selain kita juga harus memperhatikan ibadah kita.

Kita hidup bukan untuk main-main, kita hidup harus bersungguh-sungguh. Tidak bisa kita menuntut ilmu dengan sambilan, tidak bisa menuntut ilmu disertai dengan main HP; sehingga tidak boleh dalam majelis ilmu ini ada suara dering HP.

KEEMPAT: Minta tolong kepada Allah. Karena dalam menuntut ilmu: tidak bisa kita belajar, membaca, dan menghafal; kecuali dengan pertolongan dari Allah. Manusia asalnya adalah lemah:

{...وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفًا}

“…karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisaa’: 28)

Yang kuat adalah Allah. Maka ketika Allah sebutkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah (dalam QS. Adz-Dzariyat: 56); maka Allah sebutkan tentang kekuatan-Nya (dalam QS. Adz-Dzariyat: 58). Allah berfirman:

{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ * مَا أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ * إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ}

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)

Kita tidak dapat beribadah kecuali dengan pertolongan Allah:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ}

“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

Allah yang telah menolong kita dalam semua urusan kita, sehingga keberhasilan kita bukanlah karena kehebatan kita. Dengan meyakini demikian; maka akan hilang sifat ‘ujub dalam diri kita.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:

“Sabda Nabi -‘alaihish shalaatu was salaam-: “dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu)” alangkah mengagumkan kalimat ini (beliau sabdakan) setelah sabda beliau: “Bersungguh-sungguhlah engkau untuk mendapatkan yang bermanfaat bagimu .” Karena manusia jika dia berakal dan cerdas; maka dia pasti akan mencari-cari hal-hal yang bermanfaat dan mengambil yang paling bermanfaat dan berusaha keras dan bersungguh-sungguh (dalam mendapatkannya). Dan terkadang dia ditipu oleh dirinya sendiri sampai dia bersandar kepada dirinya dan lupa untuk minta tolong kepada Allah. Dan hal ini banyak terjadi pada manusia; dimana dia ‘ujub dengan dirinya sendiri dan tidak ingat kepada Allah -‘Azza Wa Jalla- dan tidak minta tolong kepada-Nya. Jika dia melihat ada kekuatan pada dirinya untuk melakukan berbagai amalan dan dia bersemangat atas hal yang bermanfaat dan semangat untuk melakukannya; maka dia ‘ujub dengan dirinya dan lupa untuk minta tolong kepada Allah. Oleh karena itulah Rasullullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“Bersungguh-sungguhlah engkau untuk mendapatkan yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu).”

Yakni: janganlah engkau lupa untuk minta tolong kepada Allah walaupun dalam masalah kecil.” [“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/80)]

KELIMA: Janganlah sekali-kali merasa lemah, dan ini maknanya ada dua:

1. Janganlah engkau tinggalkan amal.

2. Jangan malas dan mundur dalam amal, jika engkau memulai suatu amal; maka teruslah dalam amalan tersebut. Di antara contohnya adalah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-: seperti orang yang mencari suatu masalah dalam kitab-kitab; terkadang kita mmencari suatu permasalahan di kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, sebelum kita temukan masalah yang kita inginkan; mata kita tertuju pada suatu masalah lain yang menarik perhatian kita, maka jangan tinggalkan masalah yang kita cari. Kalau seorang mengikuti setiap masalah yang bukan tujuan utamanya; maka lama-kelamaan dia akan menjadi bosan. [Lihat: “Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (II/81)]

Seperti juga seorang yang sudah rutin mengikuti kajian, kemudian ada kajian lain yang dia rasa lebih enak -mungkin karena tidak menggunakan kitab, hanya cukup mendengarkan-. Maka orang semacam ini lama-kelamaan dia akan bosan.

Jadi, belajar membutuhkan kesabaran dan perjuangan yang berat; sama dengan orang yang berdakwah juga membutuhkan yang demikian. Kalau kita lihat orang-orang yang berbuat syirik, bid’ah dan maksiat; maka mereka terus-menerus melakukannya dengan sabar, dan mereka pun saling menasehati untuk sabar; seperti yang Allah firmankan tentang orang-orang musyrik:

{وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوْا وَاصْبِرُوْا عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ}

“Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): “Pergilah kamu dan bersabarlah (tetaplah menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.” (QS. Shaad: 6)

Maka jangan sampai kita kalah dari mereka.

KEENAM: Setiap orang pasti tertimpa musibah, maka kita harus bersabar atasnya. Yang pertama kali harus kita ingat adalah: beriman kepada takdir yang merupakan salah satu rukun iman, yang Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sabdakan:

وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ؛ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang jelek.” [HR, Muslim]

Dan orang yang Allah kehendaki kebaikan baginya; pasti terkena musibah. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya; maka Allah akan (mengujinya dengan) menimpakan musibah padanya.” [HR. Al-Bukhari]

KETUJUH: Dalam hadits ini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

وَإنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ؛ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَذَا؛ لَكَانَ كَذَا وَكَذَا.

“Apabila engkau tertimpa musibah; maka janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian; tentulah yang terjadi adalah begini dan begitu’.”

Yang sudah terjadi maka jangan katakan ‘seandainya’. Seperti anak yang sakit parah dan tidak dibawa ke rumah sakit; maka jangan katakan: “Seandainya saya bawa ke rumah sakit.” Atau dalam berdagang; jangan sampai seorang mengatakan: “Seandainya saya dahulu berdagang ini; pasti sudah untung.” Semua sudah dikehendaki oleh Allah dan semua berkaitan dengan hikmah dan ilmu Allah. Allah berfirman:

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيْمًا

"Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS. Al-Insan: 30)

KEDELAPAN: Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

وَلٰكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ؛ فَعلَ.

“tetapi katakanlah: ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki’,”

Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan demikian karena yang terjadi ini sudah ditakdirkan. Semua yang ada di langit dan bumi: berjalan dengan takdir Allah.

KESEMBILAN: Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan alasan kenapa tidak boleh mengucapkan ‘seandainya’:

فإنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.”

Ucapan ‘seandainya’ hanya mendatangkan was-was, kesedihan, dan penyesalan. Tidak boleh kita terus menyesal dan sedih atas musibah yang menimpa, karena dengan adanya kesedihan; kita akan malas dalam beribadah, malas dalam bekerja, dan malas dalam belajar.

-------------***------------

Maka, kita kembali pada pembahasan: Kiat Ketiga Untuk Meraih Ilmu Syar’i; yaitu: Bersungguh-sungguh Dalam Menuntut Ilmu: Seorang penuntut ilmu wajib bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Seseorang tidak mungkin mendapat ilmu dengan santai. Yahya bin Abi Katsir (wafat th. 132 H) -rahimahullaah- berkata:

لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ

“Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai).” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Sehingga tidak bisa menuntut ilmu dengan santai, dengan jalan santai, dengan wisata, dengan motor-motoran, dan semisalnya. Dengan cara-cara semacam ini seorang tidak akan mendapatkan ilmu.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

  وَمنْ آثَرَ الرَّاحَة فَاتَتْهُ الرَّاحَةُ

“Barangsiapa lebih mendahulukan istirahat/santai; maka dia akan kehilangan kebahagiaan (di akhirat).” [“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/446)]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، وَمَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطَهُ، وَمَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَّ يُوقَهُ

“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan (sungguh-sungguh) belajar dan sikap sabar (penyantun) diperoleh dengan membiasakan diri untuk sabar. Barangsiapa yang berusaha (keras) mencari kebaikan; maka ia akan memperoleh diberikan (kebaikan), dan barangsiapa yang menjaga dirinya dari kejelekan (kejahatan) maka ia akan dilindungi Allah dari (kejelekan) kejahatan.” [HR. Ibnul Jauzi dalam “Al-‘Ilal Mutanahiyah” dan Al-Khathib dalam “Tarikh Baghdad”, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 342)]

Ilmu didapatkan dengan belajar. Ilmu tidak didapatkan dengan keturunan, mimpi, apalagi ilmu laduni. Maka anggapan bahwa ilmu bisa didapat dengan cara laduni; ini kebohongan dan kedustaan. Ilmu hanya bisa didapat dengan cara belajar. Nabi Musa -‘alaihis salaam- belajar kepada Nabi Khidir -‘alaihis salaam-; sebagaimana yang Allah firmankan:

{قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا}

“Musa berkata kepadanya (Nabi Khidir): “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (QS. Al-Kahfi: 66)

Nabi Musa sampai meninggalkan dakwahnya untuk menuntut ilmu. Berbeda dengan orang zaman sekarang yang diajak belajar tapi ia tidak mau; dengan alasan: ada jadwal mengajar.

Para Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum- belajar kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dan setelah beliau wafat; maka mereka saling bertanya satu sama lain tentang hadits-hadits beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

KIAT KEEMPAT: MENJAUHKAN DIRI DARI DOSA DAN MAKSIAT DENGAN BERTAQWA KEPADA ALLAH -‘AZZA WA JALLA-

Dosa banyak sekali jumlahnya; tidak bisa dihitung: ada dosa lisan, dosa tangan, dosa hati, dosa kepada Allah, dosa yang berkaitan dengan orang tua, keluarga, dan kaum muslimin.

Cahaya ilmu bisa hilang dengan berbuat dosa. Ibnu Mas’ud (wafat th. 32 H) -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: “Sungguh, aku mengetahui bahwa seseorang lupa terhadap ilmu yang pernah diketahuinya dengan sebab dosa yang dilakukannya.” [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab “Az-Zuhd” dan Ibnu ‘Abdill Barr dalam “Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi”]

Oleh karena itu, Allah perintahkan kita untuk bertakwa:

{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ}

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 29)

Maksud “Furqaan” pada ayat di atas adalah petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang bertaqwa kepada Allah; maka Allah akan memberikannya ilmu yang dengannya ia dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil.

Juga firman Allah:

{...وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ}

“…Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Di antara ulama ada yang menjelaskan bahwa maknanya: barangsiapa bertakwa; maka akan Allah beri ilmu.

Dosa-dosa yang dilakukan oleh muslim dan muslimah sangatlah banyak. Akan tetapi di sini perlu diingatkan bahwa ada orang-orang yang menjauhi dosa; tapi ia tidak menjaga lisannya. Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- berkata:

“Di antara hal yang sangat mengherankan: bahwa ada seseorang yang mudah menjaga dirinya dan berhati-hati dari makan makanan yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum khamar, melihat kepada sesuatu yang haram dan selainnya; namun ia sangat sulit untuk menahan gerak lisannya, sehingga Anda dapat melihat seseorang yang dianggap faham agama, zuhud, dan banyak beribadah; ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar dapat mendatangkan murka Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-. Yang dengan satu kalimat darinya; dia dimasukkan ke dalam Neraka yang dalamnya lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” [“Ad-Daa’ wad Dawaa’” (hlm. 244)]

Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- ini selaras dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَهْوِيْ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata yang tidak diklarifikasinya (tidak diketahui kebenarannya); maka akan menjerumuskan ke dalam Neraka lebih jauh daripada apa yang ada di antara timur dan barat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Maka kita harus berhati-hati terhadap berita-berita di medsos atau yang kita dapat dari teman di WA; yang terkadang dengan berita itu kita bisa menuduh orang lain; dan ternyata tuduhan tersebut salah. Kita hendaknya mengurusi diri sendiri dan keluarga, jangan disibukkan mengurusi orang lain, mengurusi da’i-da’i, dan lainnya.

Imam Asy-Safi’i -rahimahullaah- berkata:

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ * فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيْ

وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ * وَنُوْرُ اللهِ لَا يهْدَىُ لِعَاصِيْ

Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku

Ia membimbingku agar meninggalkan maksiat

Ia kabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya

Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat

[“Diiwaan Imaam Asy-Syaafi’i” (hlm. 262-263)]

Terkadang ada orang yang banyak dosa; akan tetapi hafalannya tetap ada. Maka orang semacam ini ilmunya tidak bermanfaat, dan lambat laun akan hilang hafalannya.

Imam Malik bin Anas -rahimahullaah- (wafat th. 179H) -guru dari Imam Asy-Syafi’i- memberikan nasehat kepada Imam Asy-Syafi’i: “Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah memberikan cahaya kepada hatimu; maka janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.” [“Ad-Daa’ wad Dawaa’” (hlm. 124)]

Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181) -rahimahullaah- berkata:

رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ * وَقَدْ يُوْرِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا

وَتَرْكُ الذُّنُوْبِ حَيَاةُ الْقُلُوْبِ * وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا

وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّيْنَ إِلَّا الْمُلُوْكُ * وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا

“Sungguh, aku melihat dosa-dosa telah mematikan hati, dan terus melakukan dosa akan mewariskan kehinaan.

Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan sangat baik bagi dirimu untuk meninggalkannya.

Tidak ada yang merusak agama melainkan raja-raja, ulama suu’ (jelek) dan para ahli ibadah (yang tidak berilmu).”

[“Ad-Daa’ wad Dawaa’” (hlm. 95)]

Ada tiga perkara yang perlu diperhatikan dari perkataan beliau:

PERTAMA: Dosa-dosa adalah mematikan hati. Dan hal ini adalah benar; sesuai dengan hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ، كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِيْ قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ؛ صُقِلَ قَلْبُهُ، فَإِنْ زَادَ؛ زَادَتْ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِيْ ذَكَرَهُ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ}

“Sungguh, seorang mukmin jika ia berdosa; maka akan menjadi noktah hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan (dosanya), dan beristighfar; maka hatinya akan dibersihkan. Kalau ia menambah (dosanya); maka noktah hitam pun akan bertambah. Maka itulah “ar-Raan” (tutupan) yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) [HR. Ahmad dan lainnya]

KEDUA: Orang yang banyak berbuat dosa; maka ia akan hina dan hidupnya penuh kehinaan. Sedangkan kalau ia meninggalkan dosa; maka akan hidup hatinya.

KETIGA: Ada tiga golongan perusak agama:

1. Penguasa; karena rakyat beragama mengikuti penguasa mereka.

2. Ulama Suu’ (jelek). Da’i-da’i yang mengajak kepada kesesatan, dan ini yang Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- paling takutkan. Dan mereka ini (ulama suu)’ ada di setiap zaman.

3. Ahli ibadah yang tanpa ilmu.

Maka, kita harus bertaubat kepada Allah, dan seorang hamba harus bertaubat setiap saat, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- dalam “Madaarijus Saalikiin”:

وَمَنْزِلُ التَّوْبَةِ: أَوَّلُ الْمَنَازِلِ، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ الْعَبْدُ

“Dan kedudukan Taubat adalah: awal kedudukan, tengahnya, dan akhirnya; dan tidak terpisah dari hamba.”

Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap keturunan Adam adalah banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah orang yang banyak bertaubat.”

Dan Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- telah memerintahkan untuk bertaubat:

{...وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ}

 “…Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)

Juga Allah perintahkan untuk bertaubat dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا...}

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat “Nashuha” (yang semurni-murninya)…” (QS. At-Tahrim: 8)

Imam An-Nawawi -rahimahullaah- menyebutkan dalam “Riyadhus Shalihin” bahwa syarat taubat ada tiga:

1. Meninggalkan dosa tersebut.

2. Menyesali perbuatan dosanya.

3. Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.

Jika dosanya berkaitan dengan hak orang lain; maka syaratnya ditambah satu: harus diselesaikan dengan orang tersebut.

-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix

introspeksi diri sekarang

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Setiap kali seseorang bersungguh-sungguh untuk introspeksi diri pada hari ini maka ia akan bisa istirahat besok, namun jika mengentengkannya hari ini maka akan berat hisabnya besok." 
(Ighotsatul Lahafan 1/137)
Al hujjah

nikmat setelah Islam

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Pemahaman yang benar dan niat yang baik termasuk diantara nikmat Alloh yang sangat besar yang diberikan kepada seorang hamba bahkan itu adalah pemberian terbesar setelah Islam." 
(I'lamul Muwaqi'in 1/86)
Al hujjah

umur tergantung akhirnya

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Umur tergantung akhirnya, 
amalan tergantung penutupnya, 
barangsiapa yang merusak akhir umurnya niscaya ia akan menemui Robbnya dengan wajah seperti itu." 
(Fawaidul fawaid 342)
Al hujjah

orang yg menjaga kesucian dan orang yg berzina

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Orang yang menjaga (kesucian) diri akan terpancar keceriaan di wajahnya dan ketenangan dalam hatinya, orang yang duduk dengannya akan merasa tenteram, sedangkan orang yang berzina, wajahnya diliputi keberingasan, orang yang duduk dengannya tidak akan tenang dengannya dan penampakannya." 
(Roudhotul Muhibbin 1/361)
Al hujjah

hanya suara pena dan Isak tangis

Berkata Abu Ja'far Ahmad Ibnu Budail rohimahulloh: 
"Sungguh aku melihat sementara kami menulis hadits, tidak ada yang terdengar selain suara pena dan isak tangis." 
(al Adab as Syar'iyyah)

Karena mereka menuntut ilmu untuk melembutkan hati...
Al hujjah dot com

kecintaan terhadap makhluk jika tidak lillah niscaya menjadi adzab

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Sungguh kecintaan kepada makhluk jika tidak lillah niscaya akan menjadi adzab dan kehancuran bagi sang pencinta. Rasa sakit yang ia rasakan lebih dahsyat dari kenikmatan yang diperoleh. Setiap kali ia semakin jauh dari Alloh tentu pedih dan siksanya semakin besar..." 
(Ighotsaul Lahafan 2/946)

Bertemu takut berpisah, berpisah rindu bertemu...
 اللهم ارزقنا حبك وحب من يحبك
Al hujjah dot com

Prinsip Dakwah Salafiyah

🔰Prinsip Dakwah Salafiyah📚
-----------------------------------------------------------------------------
١ـ الاهتمام والعناية بطلب العلم الشرعية والتفقه في الدين
1. Perhatian Besar terhadap belajar Ilmu Syar’i dan memahami Agama.

٢ـ الحرص على التطبيق العملي للإسلام
2. Bersemangat dalam memperaktekkan islam (ilmu),.

٣ـ الإخلاص لله تعالى في كل شيئ
3. Mengikhlaskan karena Allah Ta'ala dalam segala sesuatu.

٤ـ التمسك بالكتاب والسنة بفهم سلف الأمة
4. Berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.

٥ـ الاهتمام بعقيدة السلف
5. Perhatian utama kepada Aqidah salaf.

٦ـ الصبر في الدعوة إلى الله
6. Sabar dalam berdakwah kepada Allah.

٧ـ الإكثار من الدعاء والذكر
7. Perbanyak doa dan Dzikir

📚diringkas dari kitab :
أصول الدعوة السلفية للشيخ عبد السلام برجس رحمه الله
حياة السعداء للشيخ صالح بن طه أبي إسلام رحمه الله

📝------------
Grand Dafam Rohan -Jogja-,.
29/02/2020 M
Ustadz Muhammad Alif lc 

Jumat, 28 Februari 2020

imam Syafi'i : ucapan tasbih

Berkata Imam Asy Syafi'i -رحمه الله- :
ما رأيت أنفع للوباء إلا التسبيح
"Aku tak melihat sesuatu yang bermanfaat untuk (menghilangkan) wabah suatu penyakit melainkan ucapan tasbih" [Hilyatul Aulia' 7a/275]
Yami Hamada
Mahasiswa universitas Islam Madinah

Kamis, 27 Februari 2020

HUKUM MENCICIPI BUAH SEBELUM MEMBELI

HUKUM MENCICIPI BUAH SEBELUM MEMBELI

Para ulama fiqih sudah melakukan pembahasan terkait kebiasaan yang berlaku dalam transaksi jual-beli buah dan semisalnya yang mana pembeli ingin mengetahui rasa barang yang dijual oleh penjual apakah sesuai dengan penawaran yang disampaikan oleh penjual atau tidak. Umumnya buah yang dijual yang ingin dicicipi oleh pembeli adalah rasa manisnya.

Fiimaa na'lam pembicaraan dikalangan ulama kita adalah mengerucut kepada dua macam terkait mencicipinya, yakni mencicipi dengan niat tidak membelinya dan mencicipi dengan niat membelinya ketika cocok dengan ekspetasinya.

Adapun mencicipi dengan niat dari awal memang tidak ingin membeli buah atau kalau istilah populernya "cari gratisan", maka para ulama fiqih menyebut mereka dengan sebutan "الْقَلَّاشَ". Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya "Raudhoh ath-Thaalibiin" (VIII/186) mengatakan tentang al-Qollaasy yaitu :
وَهُوَ مَنْ يُوهِمُ أَنَّهُ يَشْتَرِي الطَّعَامَ لِيَذُوقَهُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ الشِّرَاءَ
"Orang yang disangka akan membeli makanan, lalu ia mencicipinya padahal tidak ada keinginan untuk membelinya."

Menurut asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithiy hafizhahullah bahwa modusnya "al-Qollaasy" ini masuk ke pasar lalu cicap-cicip barang yang dijual tanpa bermaksud membelinya dan ia keluar dari pasar dalam kondisi perutnya sudah kenyang. Adapun hukumnya, maka asy-Syaikh ibnu Jibriin rahimahullah pernah berfatwa :
فمثل هذا لا يجوز، حرام عليه
"maka perbuatan semisal ini (yakni cicip tanpa ada keinginan untuk membeli, pent.) tidak boleh dan haram atasnya."

Adapun jika memang pembeli berkeinginan membeli buah misalnya, lalu ia mencicipinya terlebih dahulu untuk mengetahui rasanya, maka tim islamweb mengatakan :
فمن أراد شراء هذه المطعومات، فلا حرج عليه في ذوقها؛ لأن الغالب أن أصحاب هذه المحال يأذنون في مثل ذلك القدر اليسير، سواء كان الإذن صريحًا أم عرفيًّا
"Barangsiapa yang ingin membeli makanan-makanan tersebut, maka tidak mengapa untuk mencicipinya, karena umumnya pemilik makanan tersebut mengizinkannya untuk dicicipi dengan jumlah sedikit, sama saja apakah izinnya secara jelas atau berdasarkan urf (kebiasaan) yang berlaku di masyarakat."

asy-Syaikh ibnu Jibriin rahimahullah juga berkata :
...إذا أخذ منه قليلًا، وجعله في فمه ليعرف جودته, أو نحو ذلك، فهذا يُعفى عنه، ولو كان ما جزم بشرائه؛ لأنه يحتاج إلى معرفته بالتجربة: هل يناسب شراؤه منه أو لا يناسب...
" ...jika pembeli mengambil sedikit, lalu ia rasakan di mulutnya untuk mengetahui rasanya atau yang semisalnya, maka ini ditoleransi sekalipun ternyata tidak jadi membeli, karena ia butuh kepada mengetahui rasanya dengan mencicipinya, apakah sesuai untuk dibeli atau tidak...".

Adapun jika penjual secara tegas tidak mengizinkan pembeli untuk mencicipi barang yang dijualnya, maka haram hukumnya untuk mencicipinya. Lembaga resmi fatwa Uni Emirat Arab berfatwa :
أن تذوق المبيع قبل شرائه موقوف على إذن البائع، فإن أذن بالتذوق أو علم منه الإذن حقيقة جاز وإن لم يأذن حرم، لأننا نهينا عن الانتفاع بما يملكه الغير إلا بإذن صاحبه، وجاء النهي صريحاً عن أكل الأموال بالباطل إلا عن تراض بين كل من البائع والمشتري
"pembeli mencicipi barang sebelum dibelinya tergantung dengan izin penjualnya, jika ia mengizinkan untuk dicicipi atau diketahui ia akan mengizinkannya secara kenyataannya, maka boleh. Namun jika TIDAK DIIZINKAN maka HARAM, karena kita dilarang mengambil manfaat dari apa yang masih menjadi milik orang lain kecuali dengan izin pemiliknya. Telah datang larangan yang jelas terkait memakan harta dengan batil, kecuali dengan keridhoan antara pembeli dan penjual."

Wallahu a'lam.

Referensi :
¶ https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=100530
¶ https://www.islamweb.net/ar/fatwa/376849/
¶ http://www.alkhaleej.ae/mob/detailed/

Abu Sa'id Neno Triyono

Madinah Ditaklukkan dengan Al-Qur'an

Madinah Ditaklukkan dengan Al-Qur'an

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan :
فُتحت القرى بالسيف، وفتحت المدينة بالقرآن
"Desa-desa ditaklukkan dengan pedang, dan kota Madinah ditaklukkan dengan Al-Qur'an".

(Al-Mukhtasar fi Sahih Sirah, Sulaiman al-'Udah)

Siapa penakluknya?
Ia adalah Mush'ab bin Umair yang dijuluki (مقرئ المدينة ) Muqri' al-Madinah, yang membacakan Al-Qur'an kepada penduduk Madinah. Ia tinggal bersama As'ad bin Zurarah, masuk Islam ditangannya pemuka Aus, seperti Sa'd bin Mu'adz dan Usaid bin Khudair yang kemudian diikuti kaumnya.
Setelahnya, Islam sampai ke penjuru Madinah meski ada yang baru masuk Islam belakangan dari Bani Haritsah pada tahun 5 H.

#Sirah Nabawiyah #
Ustadz Ezzedin Lutfi

dosa dianggap sepele besar disisi Allah

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Seorang hamba jika terus-menerus melakukan dosa hingga meremehkan dan mengentengkan di dalam hatinya, pertanda itu adalah kehancurannya, karena setiap kali dosa itu dianggap sepele maka akan menjadi besar di sisi Alloh." 
(ad Daa' wad dawaa' 58)
Al hujjah DOT com

Selasa, 25 Februari 2020

Ibnu Umar berkata:لو ألنت لها الكلام وأطعمتها الطعام لتدخلن الجنة ما اجتنبت الكبائر"Demi Allah, sekiranya engkau melembutkan tutur kata untuknya (ibumu -ed) dan memberinya makan maka engkau pasti benar-benar akan masuk surga selama engkau jauhi dosa besar." (Al-Adab al-Mufrad)

Semua orang akan berubah kecuali dia. Dia dengan segenap cintanya dahulu kala, masih begitu setia dengan cintanya itu hingga kini. .

Seorang da'i berkata:

"Berebut lah dalam mempersembahkan bakti untuknya, bukan saling melempar tanggung jawab."

Ibnu Umar berkata:

لو ألنت لها الكلام وأطعمتها الطعام لتدخلن الجنة ما اجتنبت الكبائر

"Demi Allah, sekiranya engkau melembutkan tutur kata untuknya (ibumu -ed) dan memberinya makan maka engkau pasti benar-benar akan masuk surga selama engkau jauhi dosa besar." (Al-Adab al-Mufrad)

Para ulama menyebutkan makna kalimat memberi ibu makan:

1. Memberi/menyediakan makanan
2. Menanggung penghidupannya.
Ustadz yani fahriansyah

sembunyikan amal baik mu sebagaimana engkau sembunyikan amalan jelekmu

Berkata Salamah Ibnu Dinar rohimahulloh: 
"Sembunyikan amalan baikmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan jelekmu, jangan bangga diri dengan amalanmu karena engkau tidak tahu apakah engkau termasuk yang akan celaka atau bahagia." 
(Syu'abul Iman al baihaqy 6412)
Al hujjah DOT com

Senin, 24 Februari 2020

seseorang yg hatinya kosong dari Allah

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Seorang hamba jika terhibur dengan sesuatu dan hatinya tenang dengannya maka akan sulit berpisah dengannya..., seseorang yang hatinya kosong dari Alloh dan hari akhir yang terlena dengan cinta dunia akan terasa berat baginya sholat dan memanjangkan sholatnya sekalipun ia fokus, sehat dan tidak ada kesibukannya." 
(Risalah Ibnul Qoyyim kepada salah seorang saudaranya 1/33)
Al hujjah

belajar agama di zaman ini wajib ain

Berkata 'al 'Allamah Muhammad Aman al Jami rohimahulloh: 
"Belajar (agama) di zaman ini menjadi wajib 'ain karenanya banyaknya kekeliruan, kerancuan, pengaburan dan penyesatan." 
(Syarh al Washithiyyah 276)
Al hujjah 

jika hati tenang dengannya maka akan sulit berpisah dengannya

Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh: 
"Seorang hamba jika terhibur dengan sesuatu dan hatinya tenang dengannya maka akan sulit berpisah dengannya..., seseorang yang hatinya kosong dari Alloh dan hari akhir yang terlena dengan cinta dunia akan terasa berat baginya sholat dan memanjangkan sholatnya sekalipun ia fokus, sehat dan tidak ada kesibukannya." 
(Risalah Ibnul Qoyyim kepada salah seorang saudaranya 1/33)
Al hujjah

Berhijab syar'i plus cadaran seharusnya tidak membatasi seorang wanita untuk tetap berinteraksi dengan tetangganya (ibu-ibu).

Berhijab syar'i plus cadaran seharusnya tidak membatasi seorang wanita untuk tetap berinteraksi dengan tetangganya (ibu-ibu). Bahkan meski mereka tak berhijab sekalipun. 

Sebab bisa jadi interaksi yang baik dari seorang ummahat akan menumbuhkan ketertarikan pada mereka yang awwam terhadap hijab dan menghilangkan prasangka buruk mereka.

Bahkan seorang ummahat yang menutup diri dari tetangga karena anggapan tidak perlu berhubungan dengan ibu-ibu awwam, malah akan memperburuk citra islam dan hijab secara khusus.

Makanya tak heran bila banyak kalangan awwam yang tidak suka ummahat yang berhijab lebar plus cadarnya. Bukan karena mereka tertutup auratnya sedemikian rupa, tapi karena mereka tertutup dari interaksi terhadap dunia di sekitar mereka.

Ustadz Ahmad Farid darwis
Lulusan lipia Jakarta 
Mahasiswa Qosim universitas ksa

Minggu, 23 Februari 2020

MENGENAL SEKILAS GURU KAMI AS-SYAIKH MUHAMMAD Al-IMAM HAFIDZAHULLAH( PIMPINAN DARUL HADIST MA'BAR )

MENGENAL SEKILAS  GURU KAMI AS-SYAIKH MUHAMMAD Al-IMAM HAFIDZAHULLAH( PIMPINAN DARUL HADIST MA'BAR )

Beliau mendapatkan uang maka diapun bergembira. Bukan karena ingin menumpuk harta , akan tetapi untuk membagikannya kepada para santrinya . Ketika beliau sakit maka ia pun menangis , bukan karena pedihnya rasa sakit yang beliau alami , namun karena kealpaannya untuk mengajar , dan memberi manfaat kepada manusia . Beliau berhutang hingga berjuta-juta (pen: reyal Yaman ) bukan untuk membangun proyek-proyek keduniaan akan tetapi untuk menafkahi santri santrinya.
Sungguh beliau pernah berkata dalam salah satu kesempatan ketika beliau mengajar, seandainya salah seorang diantara kalian mengetahui beban utang saya maka pasti dia akan memvonis saya dengan kegilaan ( pen: sakin banyaknya utang pondok ), 
Beliau merengek kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan doanya dsertai dengan kerendahan hati dan tangisan kencang, kebanyakan doa beliau adalah untuk para santrinya dan untuk kaum muslimin.
Maka ayah manakah yang telah melakukan hal hal seperti ini untuk anak anaknya ???.

Saya berkisah tentang guru kami, ayah kami, Muhammad bin Abdillah al-imam ( Semoga Allah subhanahu wa ta'ala menjaga beliau dan  membahagiakan kami dengan memanjangkan umurnya ).

Diterjemahkan oleh abul irbadh supriano.

#Darul hadist ma'bar adalah salah satu pondok pesantren yang terletak di yaman Utara dengan sistem belajar mulazamah /talaqqi ( berguru langsung ) 
-santrinya berjumlah ribuan dengan kewarganegaraan yang berbeda-beda dari timur sampai barat ,arab dan non arab ,
-semua santri yang jumlahnya ribuan gratis makan dan tinggal berapapun lamanya.
- Biasanya utang2 pondok lunas dbulan ramadhon krn banyak zakat harta dan donasi yang masuk.

Ustadz abu Supriano irbad

Dakwah_ditempat_Ahlil_Bida'

#Jawaban_Ulama
#Dakwah_ditempat_Ahlil_Bida'

As Syaikh Al 'Allamah Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad hafidzahullah pernah ditanya :

📌ما حكم التدريس أو الدعوة في مساجد أهل البدعة أو مراكزهم؟

الجواب: "الدعوة في مساجد أهل السنة يعني هذا هو المطلوب، وإذا ذهب إلى أولئك وألقى فيهم كلامًا فيه بيان السُّنة وبيان خطر البدعة فإنّ هذا طيب، ‏هذا ما دام أنه سيمكَّن من الكلام في بيان السنة، أما إذا كان يتكلم في الشيء الذي يشتهونه أو الشيء الذي يريدونه فلا يذهب".

🔰Apa hukum mengajar atau dakwah di Masjid-masjid ahlil bid'ah atau markaz-markaz mereka?

Beliau menjawab :
"Dakwah di masjid-masjid Ahlis sunnah itulah yang seharusnya, (tapi) jika harus pergi ke tempat mereka dan memberikan cermah menjelaskan sunnah dan bahaya bid'ah maka ini perkara yang baik, selama dia diberi kesempatan dan kebebasan menjelaskan sunnah. adapun jika menyampaikan sesuai kemauan mereka atau pesanan mereka maka jangan pergi (ke tempat mereka)". 

📚Syarah Shahih Muslim, bab. fi fadhl al hubb fillah, 12/05/1437 H.
-------------------
Ustadz Muhammad Alif lc

Sabtu, 22 Februari 2020

Sesi #20LARANGAN BAGI PARA PENUNTUT ILMU

Sesi #20
LARANGAN BAGI PARA PENUNTUT ILMU

Kelima puluh empat: Jangan mengklaim sebagai seorang ‘alim dan mufti padahal tidak punya ilmu (HULMAL YAQOZHOH)

Kelima puluh lima: Jangan menjadi Abu Syibr (Syibr = Jengkal, yang dimaksud adalah jengkal pertama yaitu kesombongan)
Ilmu itu memiliki tiga jengkal:
Jengkal pertama: Sombong
Jengkal kedua: Rendah hati
Jengkal ketiga: Ia mengetahui bahwa ia tidak berilmu
Jangan menjadi Abu Syibr yang terhenti pada jengkal pertama.

Kelima puluh enam: Janganlah tampil sebelum ahli
Ihdzar at-tashoddur qabla at-ta’ahhul, jangan tampai sebelum ahli.

Kelimat puluh tujuh: Jangan pamer ilmu
Padahal baru mengetahui satu ilmu saja.

Kelima puluh delapan: Jangan membuat coretan artinya menjadi seorang penulis sebelum waktunya
Kalau belum ahli dan belum punya perangkat lengkap, janganlah jadi penulis sebelum waktunya.
Kalau memang sudah memiliki keahlian, menguasai perangkat, luas wawasan, terbiasa mengkajikan, mengevaluasi, menelaah, membaca buku-buku besar, menghafal, maka menulislah karena itu pekerjaan mulia.

Kelima puluh sembilan: Jangan mencela dan merendahkan ulama, cukup kalau ada kesalah koreksilah kesalahannya

Syaikh Ibnu Utsaimin katakan:
- Tetap kesalahan ulama dikoreksi
- Yang dilakukan adalah koreksi kesalahannya, bukan koreksi aibnya. Ini hanya terjadi pada orang yang hasad.
Lihat Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 299-300.

Keenam puluh: Hindarilah syubhat
Syubhat itu kuat, hati itu lemah.

Keenam puluh satu: Hindarilah kesalah ucap atau tulis (lahen)
“Belajarlah bahasa Arab karena ia memperbaiki muru-ah (citra).”

Keenam puluh dua: Jangan tergesa-gesa mengeluarkan suatu pendapat, lebih-lebih lagi menyelisihi kebanyakan ulama

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan dalam Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi hlm. 314:
Jika melihat hadits bertentangan dengan hadits sahih, maka janganlah terburu-buru membuat kesimpulan hukum.
Sama halnya pula jika ada pendapat menyelisihi jumhur (kebanyakan ulama) jangan tergesa-gesa berpendapat dengannya.

Keenam puluh tiga: Hindari cara berpikir Israiliyyat (Yahudi dan Nashrani)
- bisa jadi dalam muamalat, ibadah, nikah.
- misalnya: sebagian penulis mengingkari poligami

Keenam puluh empat: Hindari perdebatan yang tidak ada manfaat

Keenam puluh lima: Hindari fanatik pada golongan tertentu. Karena salafus saleh—kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin—adalah hizbun waahid (satu kelompok)

Keenam puluh enam: Hindari pembatal perhiasan bagi penuntut ilmu
1. Menyebarkan rahasia
2. Menukil perkataan dari suatu kaum kepada kaum lain
3. Bangga diri dan banyak bicara
4. Banyak bergurau (bercanda)
5. Menyela pembicaraan antara dua orag
6. Benci (al-hiqdu)
7. Hasad (berharap nikmat orang lain hilang)
8. Suuzhan
9. Duduk-duduk dengan ahli bid’ah (bid’ah dalam akidah)
10. Jalan ke tempat maksiat


Walhamudlillah, selesai catatan faedah dari Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Hilyah Thalib Al-‘Ilmi dengan mensarikan dari Syarh Thalib Al-‘Ilmi karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan catatan lainnya di web Rumaysho.Com:

Al Faqir ilallah, yang butuh pada ampunan Alllah Al-Ghaffar: Muhammad Abduh Tuasikal

Selesai ditulis 29 Jumadats Tsaniyyah 1441 H
23 Februari 2020
05.52 WIB
di Rumah Tercinta
Pesantren Darush Sholihin
Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul

Sesi #19ZAKATILAH ILMU DAN KIAT BACA BUKU kitab hilya thalibil ilmi

Sesi #19
ZAKATILAH ILMU DAN KIAT BACA BUKU

Keempat puluh lima: Zakatilah ilmu
Caranya dengan:
- menyampaikan kebenaran
- beramar makruf nahi mungkar
- mempertimbangkan maslahat dan mudarat
- mengajarkan ilmu atas dasar kecintaan memberi manfaat
- memanfaatkan jabatan untuk kebaikan
- menolong kaum muslimin

Catatan: Ilmu itu bertambah dengan banyaknya diberikan, sedangkan bencana ilmu adalah menyembunyikannya

Keempat puluh enam: Menjaga kemuliaan ulama
Yaitu dengan menjaga kemuliaannya.

Keempat puluh tujuh: Menjaga ilmu
Berilah kedudukan pada ilmu, dan amalkan serta tempatkan pada tempatnya.

Keempat puluh delapan: Miliki sifat mudaarah, bukan mudaahanah
Mudahanah berarti menyetujui, rida, tidak diingatkan, didiamkan atas kesalahan.
Mudaarah berarti mengingkari kemungkaran dalam hati, namun ingin diingkari kemungkaran tersebut dengan hikmah, bertahap, bersikap lemah lembut, kadang bersikap keras, kadang bersikap lemah lembut, kadang ia berbicara, kadang ia diam.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan dalam Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 273:
“Penuntut ilmu hendaklah memiliki sifat mudaarah tergantung melihat dari maslahat.”

Keempat puluh sembilan: Semangat mengumpulkan buku (kitab)
Penuntut ilmu yang benar itu rajin mengoleksi buku.

Kelima puluh: Milikilah perpustakaan di rumahmu
Ada karya-karya yang patut dikoleksi dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

Kelima puluh satu: Berinteraksi baik dengan buku (kitab)
- Kenal dulu judul buku
- Kuasai istilah dulu yang dipakai dalam buku, lihat di bagian glosari (daftar istilah)
- Mengenal uslub (metodologi penulis)
- Baca muqaddimah sebelum membaca isi buku

Kelima puluh dua: Jangan langsung memasukkan buku dalam perpustakaan, bacalah sekilas dahulu
- Baca muqaddimah
- Baca daftar isi
- Baca beberapa tema di dalamnya
Bisa jadi ketika kita memasukkannya langsung dalam rak perpustakaan, ketika waktu berlalu, buku itu sama sekali belum dibaca.

Kelima puluh tiga: Kalau menulis, tulislah dengan jelas

Sesi #18TANDA ILMU YANG BERMANFAAT kitab hilya thalibil ilmi

Sesi #18
TANDA ILMU YANG BERMANFAAT

Pasal Keenam: Menghias Diri dengan Amal

Keempat puluh empat: Tanda-Tanda Ilmu yang Bermanfaat

Tanda ilmu yang bermanfaat:
1. Mengamalkannya
2. Tidak suka dipuji (tazkiyah), tidak suka disanjung, dan tidak suka sombong di hadapan manusia
3. Makin berisi makin merunduk (makin tawadhu’)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تواضعَ للهِ رفَعَهُ اللهُ
“Siapa yang tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (Shahil Al-Jaami’, 6162. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih)
قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”
يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »
Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.
Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.
4. Menghindari sifat gila kepemimpinan, ingin tenar, dan cinta dunia.
5. Menghindari klaim sebagai orang paling tahu (berilmu).
6. Berprasangka buruk pada diri sendiri dan berprasangka baik kepada orang lain, berhati-hati jangan sampai suuzhan (berprasangka jelek) kepada orang lain atau menaruh curiga

Catatan: Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah katakan dalam Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 256: Jika diketahui seseorang itu patut dicurigai, maka tidak masalah kita berprasangka buruk padanya, untuk waspada padanya.

Sesi #17ORANG YANG BELAJAR JUGA BUTUH REHAT kitab hilya thulabil ilmi

Sesi #17
ORANG YANG BELAJAR JUGA BUTUH REHAT

Ketiga puluh enam: Gunakan waktu istirahat, sehingga semangat lagi pada waktu berikutnya (ijmamun nafsi)

Hikmah kita tidak melakukan ibadah sunnah pada waktu tertentu:
bisa ada waktu menghibur diri dan tidak terbebani ibadah.

Ketiga puluh tujuh: Membaca untuk mengoreksi bacaan dan mengakuratkan hafalan

- Para ulama kadang membaca cepat kitab-kitab para ulama di hadapan gurunya dalam waktu singkat.

Ketiga puluh delapan: Membaca kitab-kitab besar
- memperkaya wawasan
- menambah pemahaman
- menemukan hal-hal baru

Ketiga puluh sembilan: Melontarkan pertanyaan yang baik

 - Jangan sebut nama ustadz lain, kalau mau bertanya

Ilmu kata Ibnul Qayyim punya enam tingkatan:
1. Bertanya dengan baik
2. Mendengar dengan baik
3. Memahami dengan baik
4. Menghafal
5. Mengajarkan
6. Mengamalkan

Keempat puluh: Diskusi tanpa debat kusir

Cara diskusi yang benar:
1. Saling menasihati
2. Lemah lembut
3. Menyebarluaskan ilmu

Keempat puluh satu: Mudzakarah ilmiah

Mudzakarah itu saling mengingatkan ilmu dan bertanya.
Mudzakarah itu lebih baik dari menelaah buku.

Keempat puluh dua: Hidup dengan Alquran dan As-Sunnah serta ilmu-ilmunya

Keempat puluh tiga: Menyempurnakan perangkat di setiap bidang ilmu, 
- dengan menbambah mempelajari ilmu alat:
1. ushul fikih
2. ilmu dirayah dan riwayat
3. mustahah hadits
4. ushul tafsir
5. kaedah fikih

sesi #16 Ketiga puluh: Tafaqquh Maknanya: thalabul fiqhi kitab thulabil ilmi

Sesi #16

Ketiga puluh: Tafaqquh 
Maknanya: thalabul fiqhi, mencari al-fiqhi.
al-fiqhi adalah mengetahui rahasia-rahasia syariat.
Banyak orang punya ilmu, namun tidak punya fikih.

Jumat, 21 Februari 2020

Sesi #15ADAB DALAM KEHIDUPAN ILMIAH kitab hilya thalibil ilmi

Sesi #15
ADAB DALAM KEHIDUPAN ILMIAH

Kedua puluh empat: Memiliki motivasi tinggi dalam menuntut ilmu

Kedua puluh lima: Rakus menuntut ilmu

Kedua puluh enam: Perjalanan menuntut ilmu

Kedua puluh tujuh: Menjaga ilmu dengan tulisan

Kedua puluh delapan: Menjaga ilmu dengan perhatian

sesi #14ADAB BERSAHABATKedua puluh tiga: Berhati-hatilah terhadap sahabat yang buruk kitab hilya thulabil ilmi

Sesi #14
ADAB BERSAHABAT

Kedua puluh tiga: Berhati-hatilah terhadap sahabat yang buruk

Mencegah lebih mudah daripada mengobati

Sahabat:
1. Dapat manfaat (manfaat dari harta dan kedudukan)
2. Dapat kesenangan (dapat kesenangan karena asyik bicara)
3. Dapat akhlak mulia

Sahabat yang kita bisa terpengaruh akhlak mulia: itulah sahabat yang dicari.

Sesi #13 Tidak BELAJAR DARI AHLU BID’AH kitab thalibil ilmi

Sesi #13
Tidak BELAJAR DARI AHLU BID’AH

Ketiga puluh dua: Belajar dari Mubtadi’
Ada dua mafsadat:
1. Ia tertipu pada dirinya sendiri, bahwa ia berada di atas kebenaran
2. Ia menipu maniusia

sesi #12MENGHORMATI GURU kitab hilya thulabil ilmi

Sesi #12
MENGHORMATI GURU

Adab Murid Terhadap Guru
Kedelapan belas: Menghormati Guru

Kesembilan belas: Guru itu adalah Ra’su Maalik
Maksudnya guru itu jadi suri tauladan dari murid.

Kedua puluh: Semangat belajar guru
Ini tergantung pada semangat belajarnya murid.

Kedua puluh dua: Menulis ucapan guru

Sesi #11BELAJAR KEPADA GURU kitab hilyah thalibil ilmi

Sesi #11
BELAJAR KEPADA GURU

Ketujuh belas: Belajar kepada Guru

Faedah belajar dari guru:
- Jalannya ringkas
- Mudah cepat paham
- Ada hubungan baik antara guru dan murid

Faedah dari penjelasan Syaikh Bakr Abu Zaid:
- Pada dasarnya belajar ilmu harus dengan guru, bukan dari tulisan atau buku. Karena belajar kepada guru itu menyandarkan ilmu kepada yang punya nasab ilmu. Belajar dari buku berarti bernasab kepada benda mati.
- Ada ungkapan, siapa yang mempelajari ilmu tanpa guru, maka ia tidak akan memperoleh ilmu.
- Ulama yang belajar tanpa ilmu dan dikritisi oleh para ulama adalah Ali bin Rudhwan Al-Mashri.
- Di buku terdapat hal-hal yang menghambat pemahaman ilmu, yang tidak terdapat pada guru, yaitu kesalahan pelafalan, kesalahan karena kurang konsentrasi, salah i’rab, ada yang tidak tertulis, madzhab yang dianut penulis buku, kesalah tulis, salah kutipan.
- Para ulama sampai katakan jangan pelajari ilmu dari guru yang hanya belajar dari buku.
- Para ulama punya rekam jejak bagus karena mereka memiliki guru.

Sesi #10METODE DAN TAHAP MENUNTUT ILMU kitab hilya thalibil ilmi

Sesi #10
METODE DAN TAHAP MENUNTUT ILMU

Keenam belas: Metode dan Tahapan Menuntut Ilmu
- Belajar ilmu itu dari dasar (ushul)
- Menghafal kaidah dan ilmu yang ringkas
- Dibimbing guru
- Jangan baca buku otodidak
- Belajar secara bertahap

Sesi #09Pikir-Pikir Dulu, Tsabat (Sabar), dan Kroscek kitab hilya at thalibil ilmi

Sesi #09
Pikir-Pikir Dulu, Tsabat (Sabar), dan Kroscek

Keempat belas: Ta-ammul (merenungkan atau memikirkan dahulu)

Berhias dengan ta-ammul karena barang siapa merenungkan, niscaya ia jadi tahu.

Ta-ammul ada beberapa macam:
 1. Ta-ammul ketika berbicara
 2. Ta-ammul ketika mudzakarah (mengingatkan orang lain)
 3. Ta-ammul ketika bertanya

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin lalu menambahkan:
Ta-ammul ketika memberikan jawaban

Kelima belas: At-Tsabaat wa At-Tatsabbut (sabar dan teliti dalam menyebar berita)

Ingat:
من ثبت نبت
“Siapa yang sabar, maka ia akan tumbuh.”
Tsabat artinya sabar, mushobarah (sabar atas gangguan orang lain), tidak menyimpang, tidak mengeluh.
Sabar secara bahasa berarti al habsu yaitu menahan diri.
Ada perbedaan antara ishbiru dan shaabiru. Ishbiru hanya dari satu pihak yaitu menahan diri dari sesuatu. Sedangkan shaabiru berasal dari dua pihak yaitu bersabar atas gangguan orang lain misalnya bersabar ketika bertemu musuh.

Kesebelas: Menghindari forum yang sia-sia (laghwu) kitab hilya at thalibil ilmi

Kesebelas: Menghindari forum yang sia-sia (laghwu)

Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi:
“Laghwu itu ada dua macam:
Laghwu yang tidak ada faedah dan mudarat.
Laghwu yang ada mudarat.
Untuk laghwu jenis pertama, orang yang cerdas tentu waktunya tidak habis untuk itu, karena suatu kerugian.
Untuk laghwu jenis kedua, tentu diharamkan menghabiskan waktu untuk itu, karena termasuk perbuatan mungkar yang diharamkan.”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa laghwu yang dimaksudkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid adalah jenis yang kedua.
Lihat surah An-Nisa’ ayat 140.
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
140. Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,

Sesi #07 MENJAUHI KEMEWAHAN kitab hilya thalib ilmi

Sesi #07
MENJAUHI KEMEWAHAN

Kesepuluh: Menjauhi kemewahan.
Jangan memanjakan diri dengan kesenangan dan kemewahan.

PUNYA PARFUM MAHAL APAKAH TERMASUK BOROS?

Parfum itu makin wangi dan makin awet, akan berharga makin mahal.
Maka membelinya tidak termasuk ISROF (pemborosan).

Membeli parfum mahal tidaklah disebut boros (israf). Yang tidak boleh jika:
1.  Tidak punya uang hingga berutang untuk membeli parfum atau hingga menyusahkan orang lain.
2. Membeli parfum untuk kesombongan atau berbangga diri.
3. Memiliki banyak tanpa ada kebutuhan.

- Fatwa Islamqa 97011 Oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid
Meninggalkan Pakaian Bagus dalam Rangka Tawadhu’

Itu judul bab yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin ketika membawakan hadits berikut ini.

 
Dari Mu’adz bin Anas, ia berkata,

مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسِ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَىِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا

“Barangsiapa yang meninggalkan pakaian (yang bagus) disebabkan tawadhu’ (merendahkan diri) di hadapan Allah, sedangkan ia sebenarnya mampu, niscaya Allah memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segenap makhluk dan ia disuruh memilih jenis pakaian mana saja yang ia kehendaki untuk dikenakan.” (HR. Tirmidzi no. 2481 dan Ahmad 3: 439. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Intinya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin merinci menjadi dua:
1- Jika seseorang melihat di sekelilingnya berpakaian sederhana, padahal ia mampu mengenakan pakaian yang bagus, maka berpakaian seperti itu adalah pahala yang besar.
2- Jika seseorang melihat di sekitarnya berpakaian yang bagus, maka tidak mengapa ia memakai semisal itu pula.

Maksud Syaikh rahimahullah, berarti tidak selamanya memakai pakaian yang sederhana, namun melihat pada kondisi kapan dan di mana berpakaian. Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 317-318.
Tidak Mesti Berpakaian Hina

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

“Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah kepada hamba-Nya.” (HR. Tirmidzi no. 2819 dan An Nasai no. 3605. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikh Muhammad Al Utsaimin menerangkan bahwa hendaklah setiap orang bersederhana dalam setiap aktivitasnya. Hendaklah ia bersederhana dalam pakaian, makan, dan minum. Namun jangan sampai ia menyembunyikan nikmat Allah. Karena Allah amatlah suka jika melihat bekas nikmat pada hamba-Nya.

Jika nikmat tersebut berupa harta, maka Allah sangat senang jika hamba memanfaatkan nikmat tersebut untuk berinfak, bersedekah, dan menolong dalam kebaikan.

Jika nikmat tersebut berupa ilmu, maka Allah sangat senang jika ilmu tersebut diamalkan sehingga baik ibadah dan muamalahnya, juga ilmu tersebut disebar dengan dakwah dan mengajari orang lain.

Jika malah sebaliknya, saat Allah sudah memberikan nikmat harta sehingga mampu sebenarnya membeli pakaian, kok malah ia keluar di hadapan orang lain dalam keadaan fakir (seakan tak punya apa-apa). Ini hakekatnya menolak atau menentang nikmat Allah. Sama halnya jika orang diberi harta, lantas ia tidak memanfaatkannya untuk infak atau memenuhi kewajiban dari harta.

Begitu pula dengan nikmat ilmu, kalau tidak dimanfaatkan untuk menambah ibadah, khusu’ dalam ibadah atau baik dalam muamalah, atau tidak dimanfaatkan untuk mengajarkan orang lain, maka ini pun tanda menyembunyikan nikmat Allah. Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 318-319.

1. Kita diperintahkan Hidup sederhana
2. Hidup mewah itu tidak makruh, tidak haram
3. Pakaian lahiriyah bisa mencerminkan batin seseorang
4. Cara berpakaian akan memberikan kesan pada orang lain
5. Jangan malah berpenampilan jelek, yg malah jadi omongan, cemoohan
6. Dengan penampilan baik bisa tercatat sebagai amal ibadah
7. Anjuran pakai baju warna putih, punya tiga manfaat:
- lebih bersih
- lebih sederhana
- lebih mengingatkan mati (kain kafan)

POLEMIK ‘UDZR BIL-JAHL DAN TUDINGAN SEKTE MURJIAH

POLEMIK ‘UDZR BIL-JAHL DAN TUDINGAN SEKTE MURJIAH 

Dalam suatu kesempatan pertemuan terbuka (liqā` maftūḥ), Syaikh Ibn ‘Utsaymīn, raḥimahullāh, ditanya tentang bagaimana hukum seorang yang memvonis kalangan yang berpendapat adanya ‘udzr bil-jahl sebagai sekte Murjiah. Menanggapi pertanyaan itu, Syaikh Ibn ‘Utsaymīn justru memberikan jawaban dengan menguatkan pendapat adanya ‘udzr bil-jahl, dan bahwa demikianlah konsekuensi dalil-dalil Quran dan Sunnah. Dan dalam kesempatan lainnya, beliau ditanya tentang perkara ‘udzr bil-jahl dalam konteks akidah. Beliau menjawab bahwa perbedaan pendapat dalam perkara ‘udzr bil-jahl termasuk khilafiah yang bersifat fikih dan ijtihād. 

Bandingkan jawaban beliau di atas dengan ucapan kalangan yang gampang menuding pihak lain yang tidak sepaham dengannya dalam perkara ‘udzr bil-jahl dengan tuduhan Murjiah! Faktanya, umumnya kalangan tersebut memang lebih bermudah-mudahan dalam pengafiran terhadap sesama. 

Referensi (SS terlampir): 
1. Liqā`āt al-Bāb al-Maftūh Ma’a Fadhīlatisy-Syaykh Muḥammad bn Shālih bn ‘Utsaymīn, pemrakarsa: Dr. ‘Abdullāh bn Muḥammad al-Thayyār, pertemuan ke-33, vol. II, hlm. 264, Maktab Dār al-Bashīrah, Aleksandria, Mesir; dan  
2. Majmū’ Fatāwā wa Rasāil Fadhīlatisy-Syaykh Muḥammad bn Shālih al-‘Utsaymīn, kolektor dan penyunting: Fahd bn Nāshir bn Ibrāhim al-Sulaymān, soal ke-224, vol. II, hlm. 130, cet. Dār al-Wathan, Riyad, KSA.

Allāhu a’lam. Semoga tulisan ini bermanfaat. 

Adni Abu Faris 
22/02/2020

fiqih khilaf tanawu perbedaan ulama merapat kan kaki saat sujud

Beberapa faidah kajian malam ini yang saya dapati dari beliau.
1. Untuk Semangat dalam menuntut ilmu hendaknya ia selalu berdoa agar diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla ilmu yg bermanfaat, memilih teman dan sahabat-sahabat yg baik agamanya dan senantiasa berdoa agar diberikan keistiqomahan.

2. Permasalahan menyikapi khilafiyah diantara ulama yg Khilafnya bersikap Tanawu' dimana ada kelonggaran untuk mengambil, mengamalkan dan menerima perbedaan. Salah satu contohnya dlm ijtihad para ulama dan ma'asyeikh semisal merapatkan telapak kaki ketika sujud. Syeikh al-Utsaimin, Syeikh al-Albani ijtihadnya merapatkan sementara Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muqbil yg tidak merapatkan. Maka dalam permasalahan ini ada kelonggaran.

بارك لله فيك و جزاك لله خير.
Ustadz Abdurrahman Yusak Abu Hanif.

Mengajak kepada Kesesatan lewat jalur Nyanyian dan Musik

==Mengajak kepada Kesesatan lewat jalur Nyanyian dan Musik==

(وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ)

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan *Lahwal Hadits* untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
[Surat Luqman 6]

Sahabat Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu mengatakan:
"Lahwal Hadits dalam ayat ini adalah NYANYIAN, demi Allah ia adalah nyanyian", beliau mengulanginya 3 kali, begitu juga dengan Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Makhul, Amru bin Syuaib, dll
(Tafsir ibnu Katsir)

Seorang Tabiin Al Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan:
Lahwal Hadits adalah Nyayian dan Alat-alat Musik 
(Tafsir Ibnu Katsir)
Ustadz Hafzan El hadi

Sesungguhnya cinta memiliki tahapan-tahapan dalam kitab adaa' wa dawaa' karya imam Ibnu qoyim

Sesungguhnya cinta memiliki tahapan-tahapan: 
1. Al-'Alâqah, dinamakan 'alâqah karena hati terkait pada apa yang dicintainya. Awas, aktivitas semisal menanyakan kabar secara intens sudah masuk dalam tahapan ini.
2. Ash-Shobâbah, dinamakan demikian karena hati mulai mencurahkan apa yang terpendam kepada apa yang dicinta.
3. Al-Gharam yaitu tetapnya cinta untuk hati dengan perasaan lengket yang tidak mungkin terpisah darinya.
4. Al-'Isyq, yaitu cinta yang berlebihan, yang dalam ungkapan kita disebut mabuk kepayang. Sehingga kata isyq tidak layak disifatkan untuk cinta kepada Allah.
5. Asy-Syauq, yaitu bepergiannya hati kepada apa yang dicintainya dengan hasunganya yang sangat besar agar badan pun menurutinya. Tingkatan ini dimutlakkan juga ketika seorang hamba merindukan Allah, sebagaimana dalam salah satu doa Nabi shallallahu alaihi wasallam.
6. At-Tatayyum atau at-Ta'abbud. Yaitu tingkatan tertinggi dalam cinta, ketika kecintaan kepada apa yang dicintainya sampai pada tahap mengibadahinya.

Tahapan-tahapan ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau, ad-Da' wad Dawa'. 

Mungkin beberapa hal pernah atau sedang kita alami disaat mencintai seorang lawan jenis. Pertanyaannya, sampai pada tingkat apa cinta kita kepada Allah? Jangan-jangan ibadah yang kita tunaikan kepadaNya baru sebatas gerakan lahiriyah, namun masih jauh dari tingkatan at-tatayyum sebagai puncak dari semua cinta. Allahu A'lam wal Musta'an.

Sucipto 
Mahasiswa studi imam Syafi'i jember

Mari Berkenalan dengan para Ulama Ahlussunnah

🔰 Mari Berkenalan dengan para Ulama Ahlussunnah 🔰

Banyak diantara para ulama ahlussunnah  terkemuka yang dikenal oleh banyak orang namun tidak dengan nama asli mereka, dan banyak pula yang tidak tahu siapa nama asli dari para ulama tersebut. Ayo berkenalan dengan sebagian dari mereka! Bismillah...

• Imam Abu Hanifah -رحمه الله- : Nu'man bin Tsabit.

• Imam Asy Syafi'i -رحمه الله- : Muhammad bin Idris.

• Imam Al Bukhari -رحمه الله- : Muhammad bin Isma'il.

• Imam Abu Daud -رحمه الله- : Sulaiman bin Al Asy'ats.

• Imam At Tirmidzi -رحمه الله- : Muhammad bin 'Isa.

• Imam An Nasa'i -رحمه الله- : Ahmad bin Syu'aib.

• Imam Ibnu Majah -رحمه الله- : Muhammad bin Yazid.

• Imam Ibnu Hazm -رحمه الله- : Ali bin Ahmad.

• Imam Ibnul Jauzi -رحمه الله- : Abdurrahman bin Ali.

• Imam Ibnu Rajab Al Hanbali -رحمه الله- : Abdurrahman bin Ahmad.

• Imam Ibnu Taimiyyah -رحمه الله- : Ahmad bin Abdul Halim.

• Imam Ibnu Katsir -رحمه الله- : Isma'il bin Umar.

• Imam Adz Dzahabi -رحمه الله- : Muhammad bin Ahmad.

• Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah -رحمه الله- : Muhammad bin Abu bakar.

• Imam An Nawawi -رحمه الله- : Yahya bin Syaraf.

• Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani -رحمه الله- : Ahmad bin Ali.

• Imam Al Qurthubi -رحمه الله- : Muhammad bin Ahmad.

• Imam As Suyuthi -رحمه الله- : Abdurrahman bin Abi Bakar 

• Imam Asy syaukani -رحمه الله- : Muhammad bin Ali 

• Imam Ash Shan'ani -رحمه الله- : Muhammad bin Isma'il 

• Syaikh As Sa'di -رحمه الله- : Abdurrahman bin Nashir.

• Syaikh Bin Baz -رحمه الله- : Abdul Aziz bin Abdullah.

• Syaikh Al Albani -رحمه الله- : Muhammad Nashiruddin bin Nuh.

• Syaikh Ibnu 'Utsaimin -رحمه الله- : Muhammad bin Shalih.

Dan masih banyak lagi ulama ahlussunnah yang tak mungkin untuk disebutkan.

Semoga Allah merahmati mereka, mengampuni segala kesalahan mereka, dan mengumpulkan kita serta mereka di surga Firdaus yang tinggi.

Madinah An Nabawiyyah
✒ Yami amanda Cahyanto

Kamis, 20 Februari 2020

sesi 06 Menjaga Muru-ah dan Berjiwa Ksatria

Sesi #06
Menjaga Muru-ah dan Berjiwa Ksatria

Kedelapan: Berhiaslah dengan kesopanan (muruah).
Muruah itu dijelaskan oleh para fuqaha dalam kitab fikih saat membahas syahadat (persaksian), pengertiannya adalah mengerjakan sesuatu yang memperindah dan menjauhkan diri dari segala yang merusak. Berarti segala sesuaut yang bagus yang membuat kita disanjung orang lain, itulah muruah, walaupun itu tidak termasuk dalam ibadah. Sedangkan yang berbeda dengan itu namanya “khawarim al-muruah”.
Contoh muruah yang disampaikan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid adalah berbagai akhlak mulia seperti: 
 • - Wajah berseri
 • - Menyebarkan salam
 • - Berlapang dada
 • - Semangat namun tidak fanatik pada suku atau kelompok
 • - Semangat membela kebenaran (bukan membela kejahiliyahan)
Contoh yang masuk khawarim al-muruah:
 • - Perbuatan hina dan buruk seperti ujub, riya’, sombong, angkuh, merendahkan orang lain
 • - Mendatangi tempat-tempat yang mengandung kecurigaan
Berakhlak mulia menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi (hlm. 52) adalah berakhlak dengan akhlak yang fadhilah (utama), yang menggabungkan antara keadilan dan ihsan (berbuat baik), ia bersikap tegas pada tempatnya, dan bersikap lemah lembut serta memudahkan pula pada tempatnya.

Kesembilan: Berjiwa ksatria.
Seperti: 
 • - Berani
 • - Teguh dalam berpegang pada kebenaran
 • - Akhlak mulia
 • - Bersedia berkorban dalam jalan kebaikan
Sifat yang bertentangan dengan ini:
 • - Lemah hati
 • - Kurang sabar
 • - Akhlak buruk

Sesi #05 Qanaah, Zuhud, Sopan, Jaga Muru-ah

Sesi #05
Qanaah, Zuhud, Sopan, Jaga Muru-ah

Keenam: Qanaah dan zuhud.
Qanaah artinya puas dengan apa yang Allah beri dan bukan memposisikan diri terus menjadi orang kaya.
Zuhud yang dimaksud oleh Syaikh Bakr Abu Zaid adalah meninggalkan yang haram dan menahan diri dari perkara syubhat, juga tidak mengharapkan apa yang ada pada orang lain.
Namun pengertian zuhud dan wara’ menurut Ibnu Taimiyah yaitu:
 • - Wara’: meninggalkan sesuatu yang memudaratkan di akhirat.
 • - Zuhud: meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat.
Ibnul Qayyim mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
الزُّهْدُ تَرْكُ مَالاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ وَالوَرَعُ : تَرْكُ مَا تَخَافُ ضَرَرَهُ فِي الآخِرَةِ
“Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat.”
Ibnul Qayyim lantas berkata, “Itulah pengertian zuhud dan wara’ yang paling bagus dan paling mencakup.” (Madarij As-Salikin, 2:10, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:138)
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa yang dimaksud zuhud oleh Ibnu Taimiyah di atas adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan yang tidak membantu dalam ketaatan kepada Allah.
Zuhud apakah identik dengan miskin?
Zuhud terhadap dunia tidaklah identik dengan miskin. 
Kalau kita perhatikan sahabat seperti Utsman dan Abdurrahman bin Auf bukanlah orang yang miskin namun mereka masih disebut orang yang zuhud.
Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (2: 11) menyebutkan,
وقال الإمام أحمد الزهد في الدنيا قصر الأمل وعنه رواية أخرى : أنه عدم فرحه بإقبالها ولا حزنه على إدبارها فإنه سئل عن الرجل يكون معه ألف دينار هل يكون زاهدا فقال : نعم على شريطة أن لا يفرح إذا زادت ولا يحزن إذا نقصت
“Imam Ahmad berkata mengenai zuhud di dunia adalah sedikit angan-angan. Dalam riwayat lainnya disebutkan, “Ketika mendapatkan sesuatu tidaklah terlalu bergembira. Ketika luput dari sesuatu tidaklah bersedih.”
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang memiliki uang 1000 dinar (2,5 Milyar rupiah). Apakah ia bisa disebut sebagai orang yang zuhud? Jawab beliau, “Iya, bisa saja asalkan ia tidaklah terlalu berbangga bertambahnya harta dan tidaklah terlalu bersedih harta yang berkurang.”

Qana’ah dan nerimo ing pandum
Narimo ing Pandum adalah sebuah falsafah Jawa, yang kalau dibahasa-Indonesia-kan secara bebas menjadi “Menerima Segala Pemberian”.
Kita simpulkan, narimo ing pandum berarti menyadari segala yang diberikan kepada kita sudah sesuai dengan kemampuan kita.
Jadi “Narimo ing Pandum” bukan berarti pasrah dan diam saja atas segala yang diberikan. Namun apapun yang diberikan kepada kita, terimalah dengan ikhlas dan usahakanlah agar yang kita terima bisa berlipat ganda.

Ketujuh: Berhias dengan adab-adab mulia.
Yaitu berhias dengan keindahan ilmu, yaitu sikap dan perilaku baik seperti tenang, berwibawa, khusyuk, tawadhu’, serta memperhatikan lahir dan batin.

Adab tercela:
1. banyak main
2. lakukan perbuatan sia-sia
3. perbuatan konyol
4. banyak becanda

Sesi #04Takut, Muraqabah, Tawadhu, Tidak Sombong

Sesi #04
Takut, Muraqabah, Tawadhu, Tidak Sombong

Ketiga: Senantiasa takut kepada Allah.
- Caranya adalah Memperbaiki kondisi lahir batin: menjaga syiar Islam, menampakkan sunnah nabi, dan menyebarkan sunnah beliau (mendakwahkan). 

- Prinsip ilmu adalah rasa takut kepada Allah karena yang paling kepada Allah adalah orang yang berilmu.

Dalilnya firman Allah surah Fathir ayat 28.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Takut di sini dibangun di atas ilmu dan ta’zhim (pengagungan).” Sebagaimana disebutkan dalam surah Fathir ayat 28, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah hanyalah ulama.”
Perbedaan khasyah dan khauf (keduanya sama-sama berarti takut):
 1. Khasyah: takut yang dibangun karena agungnya yang ditakuti.
 2. Khauf: takut karena kita merasa lemah.
Khasyah lebih tinggi daripada khauf.

Keempat: Selalu menjaga sifat muraqabah, juga menghimpun rasa takut (khauf) dan harap (raja’).
Muraqabah adalah buah dari khasyah. Muraqabah adalah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat Allah.

Kelima: Rendah hati dan tidak sombong.
Seorang penuntut ilmu hendaklah berhias diri dengan sifat ‘afaf (‘iffah dari apa yang ada di tangan manusia dan ‘iffah dari melihat yang haram), hilm (tidak tergesa-gesa membalas orang lain), sabar, dan tawadhu’. Tawadhu’ yang dimaksud ada dua macam yaitu: (1) tawadhu’ pada kebenaran, (2) tawadhu’ di hadapan manusia lainnya.

Jadilah Salafi (Lanjutan)

Jadilah Salafi (Lanjutan)

Disebutkan dalam hadits:
وورد بلفظ : ( ... وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً ، قَالُوا : وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي ) ، رواه الترمذي ( 2641 ) وحسَّنه ابن العربي في " أحكام القرآن " ( 3 / 432 ) ، والعراقي في " تخريج الإحياء " ( 3 / 284 ) ، والألباني في " صحيح الترمذي " .

Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua di neraka kecuali satu golongan. Mereka berkata, “Siapa itu wahai Rasulullah?”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka yang berpegang teguh dengan ajaranku dan ajaran para sahabatku.”
Maka Ahlus Sunnah wal Jamaah punya beberapa istilah:
1. Salafi
2. Ahlus Sunnah
3. Al-Jama’ah
4. Ahlul hadits
5. Ahlul atsar
6. Ahlul ittiba’
7. Ath-Thaifah Al-Manshurah
8. Al-Firqah An-Najiyah

Konsekuensi menjadi salafi:
1. Tinggalkan perdebatan yang tidak manfaat
2. Tidak terjun dalam ilmu kalam
3. meninggalkan dosa
4. Meninggalkan hal yang menghalangi dari syariat

Sesi #03Jadilah SALAFI

Sesi #03
Jadilah SALAFI

Perhiasan Kedua: 
Jadilah SALAFI SEJATI

Mengikuti jalan salafush shalih dalam tauhid, ibadah, muamalat, dan lainnya.
Secara bahasa, salaf artinya yang sudah lewat, lampau, terdahulu. 

Secara istilah, as-salaf adalah generasi awal dari umat ini yaitu para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para tabiin, tabiut tabiin, dan para imam dan tokoh ulama kaum muslimin. 

Semua yang mengikuti para salaf secara bahasa disebut SALAFI karena menisbatkan dirinya pada salafush saleh. 

Istilah lainnya adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. 
Mereka adalah yang berada di atas jalan hidup Rasulullah dan para sahabatnya, mengikuti cara beragama mereka. Disebutkan ahlus sunnah karena mereka keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah yang dimaksud adalah ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam secara total, baik yang hukumnya wajib, sunnah, dan mubah.
Mereka juga digelari Al-Jamaah.
Disebut Al-Jamaah karena mereka adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran, dan tidak berpecah belah dalam agama mereka. Berjamaah di sini artinya berjamaah secara ideologi, pemikiran, akidah. Walaupun mereka hanya seorang diri di tengah masyarakatnya. Ahlus Sunnah wal Jamaah bukan berarti harus kumpul secara fisik pada suatu tempat. 

Perpecahan itu hakikatnya ketika seseorang menyelisihi apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. 

Pada asalnya umat ini adalah umat yang satu dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perpecahan itu baru muncul kemudian hari. Khawarij, Mutazilah, Syiah, Jahmiyah, Sufiyah itu baru muncul belakangan.

Al-Jamaah juga bermakna berada di bawah kepemimpinan yang benar di suatu daerah atau wilayah. Berarti al-jamaah akan menaati pemimpin yang sah, tidak memberontak kepadanya.

Bisa juga disebut al-jamaah karena mengikuti ijmak salaful ummah.
Namun yang paling inti adalah berjamaah secara ideologi, itulah yang dimaksud al-jamaah.

Mereka juga disebut Ahlul Hadits, ini sinonim dari Ahlus Sunnah. Juga disebut pula Ahlul Atsar, Ahlul Ittiba’. 

Hadits dan atsar adalah apa pun yang dinisbatkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat Rasulullah.

Disebut Ahlul Ittiba’ karena hakikatnya beragama itu mengikuti, bukan berkreasi.

Dalam ayat disebutkan:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ 
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-A’raaf: 3)

Juga dalam ayat lainnya,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ 
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Dari dua ayat ini dapat disimpulkan bahwa Ahlus Sunnah itu disebut juga dengan Ahlul Ittiba’ karena pada dasarnya kita beragama itu dengan “mengikuti”.
Mereka juga disebut dengan Ath-Thaifah Al-Manshurah, golongan yang ditolong oleh Allah.
وأخرجه مسلم (1920) من حديث ثوبان، رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ".
“Akan senantiasa ada dari umatku ini orang-orang yang senantiasa berada di atas al-haqq (kebenaran). Mereka tidak akan dicelakai, oleh orang-orang yang menyelisihi atau tidak mau menolong mereka sampai Allah menurunkan keputusannya.” (HR. Muslim, no. 1920)

Mereka juga disebut Al-Firqah An-Najiyah, golongan yang selamat. Karena nabi mengatakan bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan.

Sesi #02Jadikanlah Menuntut Ilmu itu Ibadah

Sesi #02
Jadikanlah Menuntut Ilmu itu Ibadah

Perhiasan Pertama: 
Jadikan menuntut ilmu itu ibadah

Sebagian ulama sampai-sampai mengatakan: Al-‘ilmu shalatus sirri wa ‘ibadatul qolbi (ilmu itu adalah shalat sirr dan ibadah hati).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ilmu itu adalah ibadah tanpa diragukan lagi, bahkan menuntut ilmu adalah semulia-mulianya ibadah dan termasuk ibadah yang paling afdal sampai-sampai Allah menjadikan dalam kitab-Nya sebagai bagian dari jihad di jalan Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122). Berarti ada yang tidak ikut berjihad karena thalabul ilmi untuk memberi peringatan pada yang tidak berangkat. 
Dalam hadits dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari, no. 71 dan Muslim, no. 1037). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Al-fiqhu adalah ilmu tentang syariat. Masuk dalam istilah adalah ilmu akidah, tauhid, dan selain dari itu.” (Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 15)

Syarat ibadah adalah (1) diniatkan ikhlas karena Allah; (2) mengikuti ajaran dan jejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam secara murni.

Yang dimaksud ikhlas dalam belajar -sebagaimana kata Syaikh Sholih Al-’Ushaimi-:
a- Belajar agama untuk menghilangkan kebodohan pada diri sendiri.
b- Belajar agama untuk menghilangkan kebodohan pada orang lain.
c- Belajar agama untuk menghidupkan dan menjaga ilmu.
d- Belajar agama untuk mengamalkan ilmu.

Bentuk tidak ikhlas dalam belajar jika niatnya:
1. Riya’, kemaksiatan yang paling nista.
2. Ingin menonjolkan diri (mencari popularitas).
3. Mengalahkan teman.
4. Menjadikan ilmu sebagai ambisi untuk mendapatkan dunia: jabatan, uang, kehormatan, ketenaran, pujian, atau menarik perhatian orang lain.

Bagaimana kita bisa ikhlas?
- Milikilah rasa takut kepada Allah
- Bergantung penuh kepada Allah.

Nasihat punya pengaruh kuat kalau yang menyampaikan itu ikhlas.

Pengantar Adab Penuntut Ilmu

Seri #01
Pengantar Adab Penuntut Ilmu

- Ada adab yang sunnah dan ada adab yang wajib
- Ada juga penyakit bagi penuntut ilmu: makruh dan haram
- Sebagian adab berlaku untuk semua orang (mukallaf), dan sebagian adab berlaku untuk penuntut ilmu

- Sumber adab ini:
1. Syariat dari dalil Alquran dan As-Sunnah
2. Sebagian lagi dengan naluri (ath-thab’i), itu berdasarkan dalil umum dari dalil syari
3. Dari adab-adab para ulama

- Adab-adab tersebut dipaparkan dengan menampilkan contoh-contoh.

Muqoddimah Penulis Kitab Syaikh Muhammad Bin Sholih Al Utsaimin Bag 06

🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _JUM’AT_
| 27 Jumādā Al-Akhir 1441 H
| 21 Februari 2020 M

🎙 Oleh : Ustadz DR. Abdullah Roy M.A. حفظه الله تعالى
📗 Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

🔈 *Audio ke-15*
📖  _Muqoddimah Penulis Kitab Syaikh Muhammad Bin Sholih Al Utsaimin Bag 06_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله و صحبه أجمعين ومن والاه

Anggota grup whatsapp Dirosah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allah.

Kita lanjutkan pembahasan kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh Fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu Ta'ala.

Masih kita pada pasal Muqodimah. Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala:

فسار على ذلك أمته الذين استجابوا لله ورسوله

Kemudian umatnya yang telah mengijabahi Allah dan juga Rasul-Nya, menjawab panggilan Allah dan juga Rasul-Nya telah berjalan di atas jalan beliau shallallahu 'alayhi wa sallam.

وهم خيرة الخلق من الصحابة والتابعين

Dan mereka sebaik-baik manusia, dari kalangan sahabat dan juga para tabi'in.

Jadi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam sudah menyampaikan semua yang telah diamanatkan kepada beliau. Kemudian para sahabat dan juga para tabi’in, mereka berjalan di atas jalan ini.

Mereka adalah خيرة الخلق mereka adalah sebaik-baik manusia karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan خَيْرُ الناسِ.

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ،

“Sebaik-baik manusia adalah orang yang ada di zamanku yaitu para sahabat dan setelah mereka dan setelah mereka.”  (HR Bukhari & Muslim)

Termasuk diantaranya para tabi'in, karena mereka datang setelah para sahabat kemudian para tabi'ut tabi'in  yang datang setelah tabi'in.

والذين اتبعَو هُمْ بِإِحْسَانٍ

Dan orang-orang yang istiqamah mengikuti mereka dengan baik yang datang setelah para sahabat dan tabi'in.

فقاموا بشريعته وتمسكوا بسنته وعضوا عليها بالنواجذ

Maka mereka tegak dengan syari'at Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dan memegang sunnah beliau. Dan mereka menggigit sunnah dengan gigi geraham mereka.

Sebagaimana dalam hadits:

تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ

"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian" (HR Abu Dawud)

Jadi dipegang dengan tangannya dan digigit dengan gigi geraham. Ini menunjukkan harusnya kita sekuat mungkin memegang petunjuk ini, jangan kita lemah di dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.

عقيدة وعبادة وخلقاوأدبا  

Berpegang teguh dengan sunnah beliau dalam seluruh perkara baik aqidah, ibadah, akhlak maupun adab.

فصارواهم الطائفة الذين لايزالون على الحق ظاهرين لا يضر هم من خذلهم أوخالفهم حتي يأتي أمر الله تعالى وهم على ذلك

Maka jadilah mereka ini (orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi) menjadi kelompok yang senantiasa berada di atas kebenaran.

ظاهرين

Dalam keadaan mereka nampak dengan hujjah. 

Dengan ilmu, mereka nampak dan tidak memudharati mereka, orang-orang yang meninggalkan mereka (membenci mereka), karena mereka di tolong oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

أوخالفهم 

Atau menyelisihi mereka, sampai datang perkara Allah dan mereka masih dalam keadaan demikian.

Ini menunjukkan akan senantiasa ada sekelompok dari umat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam yang mereka terus berada di atas kebenaran.

Kemudian syaikh mengatakan: 

ونحن- والله الحمد- على آثارهم سائرون و بسير تهم المؤيدة بالكتاب والسنة مهتدون 

Dan kami, Alhamdulillah, kita berjalan di atas jalan mereka dan kita mendapatkan petunjuk dengan sunnah mereka yang dikuatkan dengan Al-Quran dan Hadits.

نقول ذلك تحدثا بنعمة الله تعالى وبيانا لما يجب أن يكون عليه كل مؤمن 

Kami mengucapkan demikian adalah untuk mengabarkan atau menceritakan dengan nikmat Allah. Bukan sombong. Bukan!

Beliau ingin menyebutkan bahwasanya kami (beliau dan orang-orang yang mengikuti sunnah) Alhamdulillah mereka berjalan di atas sunnah Rasulullah shallalahu 'alayhi wa sallam dan mengikuti para sahabat.

Mengikuti sunnah mereka yang dikuatkan oleh Al-Quran dan juga Sunnah. Beliau sebutkan bukan karena kesombongan tetapi karena ingin menceritakan nikmat.

Allah Subanahu wa Ta'ala mengatakan: 

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

"Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu ceritakan.” [QS Ad-Duha: 11]

وبيانا لما يجب أن يكون عليه كل مؤمن 

Dan ini adalah penjelasan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang beriman.

Seharusnya dia mengikuti Al-Quran dan Hadits dengan pemahaman para sahabat.

Kemudian beliau mengatakan:

ونسأل الله تعالى أن يثبتنا وإخواننا المسبمين بالقول الثابت في احياة الدنيا و في الآخرة و أن يهب لنا منه رحمة إنه هو الوهاب

Maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, semoga Allah menguatkan kami dan juga saudara-saudara kami dari orang-orang Islam, dengan ucapan yang kokoh (La ilaha illallah (لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ)) di dalam kehidupan di dunia dan juga di akhirat. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada kita semuanya, kasih sayang dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pemberi.

Tidak lupa beliau mendoakan kebaikan untuk beliau sendiri dan juga saudara-saudara seislam yang lain dengan istiqomah.

ولأهمية هذا الموضوع وتفرق أهواء الخلق فيه، أحببت أن أكتب على سبيل الاختصار عقيدتنا - عقيدة أهل السنة و الجماعة - وهي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر خيره وشره، سائلا الله تعالى أن يجعل ذلك خالصاً لوجهه موفقاً لمرضاته نافعاً لعباد

Kemudian di akhir muqaddimah beliau mengatakan:

Dan karena pentingnya pembahasan ini dan juga berpecah belahnya hawa nafsu manusia di dalam masalah aqidah. 

Karena perkara ini adalah perkara penting yang sudah kita sebutkan sehingga penting kita membahas masalah aqidah, dan banyaknya aliran-aliran, banyaknya hawa nafsu yang mereka berbeda-beda di dalam masalah aqidah.

Maka aku ingin menulis aqidah kami (yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah) tetapi dengan ringkas, tidak terlalu panjang sehingga mudah dipelajari dan mudah diikuti. In sya Allah bagi orang yang mau bersabar mudah untuk menyelesaikan kitab ini.

Dan dia adalah beriman kepada Allah, kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, kepada hari akhir dan juga takdir yang baik dan buruk. Ini yang akan beliau sampaikan dan ini adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. 

Kemudian beliau mengatakan, sambil kita meminta kepada Allah, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan tulisan ini ikhlas, untuk mengharapkan wajahnya dan sesuai dengan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bermanfaat bagi para hamba-Nya.

Itulah yang bisa kita bacakan dari muqaddimah yang dibawakan oleh pengarang di dalam kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini.

Demikian yang bisa kita sampaikan dan sampai bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya dalam keadaan lebih baik In sya Allah.

Wallahu Ta'ala A'lam 

وبالله التوفيق و الهداية 
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


════ ❁✿❁ ════