Kamis, 15 Desember 2022

Ahlussunnah proporsional dalam membantah, tidak mendiamkan kekeliruan, tidak pula pukul rata saat membantah, dan tidak anti terhadap kritikan ilmiyah ::.Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari ditanya

.:: Ahlussunnah proporsional dalam membantah, tidak mendiamkan kekeliruan, tidak pula pukul rata saat membantah, dan tidak anti terhadap kritikan ilmiyah ::.

Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari ditanya :

Pertanyaan : Bagaimana kita mengkomparasikan antara tajrih nya para ulama terhadap Abu Hamid Al Ghazali, dengan pujian mereka yang menyebutkan bahwa ia seorang faqih ?

Jawaban : Ini pertanyaan yang bagus, karena bantahan itu berlaku jika ia dipuji didalam permasalahan yang telah dikritik oleh para ulama. 

Adapun para ulama seluruhnya memuji dia dalam pengetahuannya terhadap Fiqih Syafi’i. Dan memuji keimamannya di dalam madzhab Syafi’i, memujinya di dalam kepakarannya dalam ilmu Ushul Fiqih. 

Bahkan kitab Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah salah satu imam besar dalam madzhab Hanbali. Kitab tersebut merupakan ringkasan dari kitab Al Mustasfa (Karya Abu Hamid Al Ghazali).

Maka kritikan yang diarahkan kepada Al Ghazali karena tenggelam di dalam hadits hadits palsu, hadits hadist dusta, hadits hadits lemah, dan hadits hadits yang tidak ada asal usulnya. Ini merupakan bab yang tidak ada seorangpun ulama memuji Al Ghazali di dalamnya.  Barangsiapa memuji Al Ghazali dalam bab ini maka ia telah keliru.

Bab tasawuf dan tenggelamnya Al Ghazali di dalamnya adalah perkara yang telah dibantah oleh para ulama. Dan barangsiapa memuji Al Ghazali dalam perkara ini, maka tidak diragukan bahwa ia telah keliru pula. 

Meski demikian aku mengatakan Al Imam As Subki penulis kitab Thabaqat Asy Syafi’iyyah Kubra saat beliau menuliskan biografi Abu Hamid Al Ghazali. 

Dan beliau ini semisal dengan Al Ghazali sama sama penganut madzhab Syafi’i. Beliau mengatakan di dalam biografi tersebut. Dan ini diantara yang menjadikan Thabaqat Syafi’iyyah Kubra memiliki keistimewaan dibandingkan kitab Tarikh, kitab Thabaqat dan kitab Tarjamah lainnya. Yaitu beliau menyebutkan faidah faidah yang berkaitan dengan pemilik biografi. Seperti fawaid, info unik, tambahan maupun kritikan.

Saat sampai pada biografi Abu Hamid Al Ghazali beliau menyatakan : Ini merupakan paparan terhadap hadits hadits yang disebutkan oleh Abu Hamid Al Ghazali padahal tidak ada asal usulnya sama sekali di dalam sunnah. Maksudnya tidak asal asal usulnya sama sekali. Beliau lantas menyebutkan seribu hadits, iya seribu hadits.

Akan tetapi sebagai bentuk Amanah ilmiyah, Imam As Subki yang disifati sebagai seorang Hafidz, seorang ‘Alim sekaligus seorang imam. Beliau mengomentari Sebagian hadits ini memiliki ushul, dan sebagian ushulnya itu shahih. 

Karena kalimat La Ashla Lahu memiliki dua makna di kalangan para ulama ahli hadits. Yang pertama tidak ada asal usulnya dari sisi keshahihan hadits. Makna yang kedua tidak ada asal usulnya dari sisi penyebutan, ia tidak pernah tersebut dalam kitab hadits sama sekali. Ini adalah makna istilah La Ashla Lahu.

Disamping itu aku juga mengatakan sebagai bentuk tambahan jawaban terhadap pertanyaan tadi. Yaitu apa yang telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam puluhan bahkan ratusan lokasi di dalam kitab beliau. Bahwa Ahlus sunnah adalah adalah orang orang yang berilmu, adil, penuh kasih sayang serta bijaksana. 

Dan mereka menyatakan bahwa keadilan itu sesuatu yang wajib di kalangan mereka, meskipun terhadap orang Yahudi dan Nasrani. Ini diantara hal yang tidak diketahui Sebagian orang di zaman ini. 

Sehingga mereka menyangka, bahwa bersikap adil terhadap orang yang dibantah sama saja apakah ia muslim atau non muslim. Sama saja yang dibantah itu seorang sunni atau non sunni. 

Mereka menyangka sikap adil terhadap orang yang dibantah adalah bentuk tamyi’ (lembek) atau ungkapan lainnya. Dimana i ini tidak pernah dikenal di dalam kitab kitab ilmu dan tidak pernah dikenal di dalam sejarah ilmu. 

Sehingga mereka menyangka, pujian terhadap alim yang ia benar di dalam bab tersebut, bahwa itu sebuah kekeliruan. Dan barangsiapa dibantah pada satu pokok, maka wajib dibantah di semua pokok. 

Ini adalah kezaliman yang nyata. Haram untuk dinisbatkan kepada ilmu. Bahkan haram untuk dinisbatkan kepada akhlak manusiawi yang memiliki keutamaan. Apakagi dinisbatkan kepada akhlak islami yang sempurna. 

Permasalahan ini membutuhkan tambahan rincian lagi, semoga kita bisa menyebutkannya pada pertemuan berikutnya insya'Allah.
Ustad abul aswad al bayati
https://fb.watch/hqZdUMSZUa/