Sabtu, 01 Oktober 2022

CINTA ILMU

CINTA ILMU

[1]- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ: مَنْهُوْمٌ فِي الْعِلْمِ لَا يَشْبَعُ مِنْهُ، وَمَنْهُوْمٌ فِي الدُّنْيَا لَا يَشْبَعُ مِنْهَا

“Ada dua orang rakus yang tidak akan kenyang: rakus terhadap ilmu; tidak akan kenyang darinya, dan rakus terhadap dunia; tidak akan kenyang darinya.”

HR. Al-Baihaqi dalam “Syu’abul Iimaan” (no. 9798 -cet. Maktabah ar-Rusyd) dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” (I/92) dari Anas, dan Abu Khaitsamah dalam “Kitaabu‘Ilmu” (no. 141) dari Ibnu ‘Abbas, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- dalam “Takhriij Hidaayatir Ruwaah” (I/69, no. 251) dan dalam “Shahiih al-Jaami’ash-Shaghiir” (no. 6624).

* Catatan: Dalam kitab “Shahiih al-Jaami’ash-Shaghiir” karya Syaikh Al-Albani -rahimahullaah-, nomor 6624, cetakan ketiga tahun 1408 H / 1988 M, Al-Maktab Al-Islami: tertulis مَنوْمَانِ -hilang hurf ha’-, sedangkan yang benar adalah: مَنْهُوْمَانِ. Wallaahu A’lam.

[2]- Dari ‘Aun, ia berkata: ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Ada dua orang rakus yang tidak akan kenyang: penuntut ilmu dan pencari dunia. Dan keduanya tidaklah sama:

- Adapun penuntut ilmu; maka bertambah keridha’an untuk Ar-Rahman.

- Adapun pencari dunia; maka terus-menerus dalam sikap melampaui batas.” Kemudian ‘Abdullah (bin Mas’ud) membaca:

{كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى * أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى}

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq: 6-7)

(‘Aun) berkata: (‘Abdullah bin Mas’ud) berkata (membawakan dalil) lain:

{...إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ...}

“...Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama...” (QS. Fathir: 28)

Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- berkata dalam “Takhriij Hidaayatir Ruwaah” (I/69, no. 252):

“Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam “Sunan”-nya (I/96) [no. 344 -tahqiiq Ad-Darani] dengan sanad yang shahih dari ‘Aun -yaitu: bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud Al-Hudzali-, dan dia tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud sehingga (sanadnya) munqathi’ (terputus).”

Catatan: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari -rahimahullaah- berkata dalam “Al-Muntaqaa an-Nafiis min Talbiis Ibliis” (hlm. 11, cet. 1441 H):

“Adapun atsar (dari Shahabat dan setelahnya -pent); maka saya tidak mensyaratkan (keshahihan)nya (berbeda dengan hadits), “karena (atsar-atsar) tidaklah sama dengan hadits-hadits yang marfu’ yang wajib dijadikan hujjah dan bagian dari agama. (Atsar-atsar) hanyalah dibawakan untuk menenangkan dan menguatkan (pendalilan)”; sebagaimana dikatakan oleh Guru kami Syaikh Al-Albani dalam “Mukhtashar al-‘Uluww” (hlm. 21).”

[3]- Kata: مَنْهُوْمَانِ (dua yang rakus); diambil dari kata “an-Nahmah”; yang artinya keinginan yang sangat. Maka, rakus terhadap ilmu adalah: keinginan yang sangat besar untuk bisa mendapatkan ilmu sampai hal itu mendorong seseorang untuk mengerahkan kemampuan maksimalnya agar bisa mendapatkan ilmu.

[Lihat: “Faidhul Qadiir” (VIII/305 -cet. Daarul Hadiits)

[4]- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziiyah -rahimahullaah- berkata dalam “Raudhatul Muhibbiin wa Nuz-hatul Musytaqiin” (I/108-109):

“Adapun para pecinta ilmu; maka paling agung dalam memuja dan mencintai ilmu; dibandingkan semua pecinta dengan yang dicintainya. Dan kebanyakan mereka (para pecinta ilmu): kecintaannya terhadap ilmu tidak disibukkan dengan kecintaan kepada manusia walaupun paling indah (cantik/tampan).

Dikatakan kepada istri Zubair bin Bakkar -atau lainnya-: “Bergembiralah engkau karena tidak punya madu (suamimu tidak berpoligami).” Maka ia (sang istri tersebut) berkata: “Demi Allah, kitab-kitab ini lebih merugikanku dibandingkan madu-madu (istri-istri: kedua, ketiga dan keempat)!”

Saudara dari guru kami: ‘Abdrurrahman bin Taimiyyah mengabarkan kepadaku dari ayahnya, ia berkata: “Dahulu kakek jika masuk toilet; maka ia berkata kepadaku: Bacalah kitab ini (dari luar toilet) dan keraskanlah suaramu agar aku mendengar.”

Dan ada orang -yang saya kenal- tertimpa penyakit pusing dan demam, dan kitab (ia letakkan) di sisi kepalanya. Kalau agak mendingan; maka ia membacanya, dan kalau parah lagi; maka ia meletakkannya...

Guru kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) mengabarkan kepadaku: “Saya terkena sakit, lalu dokter berkata kepadaku: ‘Engkau belajar dan mengajar: itu akan menambah sakitmu.’ Maka aku katakan padanya: ‘Saya tidak bisa sabar dari hal itu (belajar dan mengajar). Saya akan tanya kepadamu sesuai dengan ilmu (kedokteran)mu: bukankah jiwa ini jika senang dan gembira; maka akan kuat “thabii’ah” (sistem imun, kekebalan dan pertahanan tubuh), sehingga akan menolak penyakit?!’ Maka (dokter) tersebut menjawab: ‘Iya.’ Lalu aku berkata padanya: ‘Sungguh, jiwaku senang dengan ilmu, sehingga dengannya “thabii’ah” akan kuat, dan akau dapati rasa rileks/nyaman.’ (Dokter) itu berkata: ‘Ini di luar pengobatan kami.’...

Maka, kecintaan terhadap sifat-sifat yang sempurna (seperti: ilmu): termasuk kecintaan yang paling bermanfaat dan paling tinggi. Dan (kecintaan semacam ini) hanya didapatkan dengan adanya kesesuaian antara jiwa dengan sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, jiwa yang tertinggi dan paling mulia adalah: jiwa yang memiliki kecintaan terhadap sesuatu yang paling tinggi dan paling mulia (yakni: ketinggian dan kemulian jiwa dilihat dari: ketinggian dan kemuliaan sesuatu yang dicintainya -pent).”

[5]- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah- berkata:

“Saya pernah sakit mata ringan sejak dua belas tahun, maka dokter spesialis telah menasehatiku agar istirahat dari membaca, menulis dan dari pekerjaanku memperbaiki jam: selama enam bulan. Maka, awalnya saya mengikuti nasehatnya, saya tinggalkan itu semua selama dua pekan. Kemudian jiwaku tergoda untuk melakukan sesuatu pada masa yang membosankan ini, aku mengerjakan sesuatu yang menurutku tidak bertentangan dengan nasehatnya. Saya ingat sebuah risalah yang masih berbentuk tulisan tangan di Maktabah/Perpustakaan (Zhahiriyyah) yang berjudul “Dzammul Malaahii” karya Ibnu Abid Dunya yang ketika itu setahu saya belum tercetak. Maka aku berpikir: Apa salahnya aku menyuruh orang untuk mengetiknya?...”

Beliau menceritakan bahwa pada kitab itu ada halamanya yang hilang, sehingga beliau mulai mencari dalam berjilid-jilid kitab. Ketika beliau memeriksa jilid-jilid tersebut; beliau menyadari hal lain; yaitu: jilid-jilid yang beliau periksa -dalam mencari “kertas yang hilang”- padannya terdapat risalah-risalah dan kitab-kitab milik para ahli hadits dan hafizh-hafizh yang masyhur. Setelah selesai memeriksa 152 (seratus lima puluh dua) jilid kitab; ternyata beliau telah mencatat judul-judul kitab yang menarik bagi beliau.

Beliau terus mencari “kertas yang hilang” tersebut sampai akhirnya beliau berputus asa. Akan tetapi beliau menyadari hal lain; yaitu: bahwa Maktabah Zhahiriyyah berisi kitab-kitab dan risalah-risalah berbagai cabang ilmu yang merupakan peninggalan nenek moyang, bahkan ada tulisan tangan yang tidak didapati di Maktabah lain di seluruh dunia.

Menyadari hal tersebut; maka beliau memulai dari awal lagi memeriksa kitab-kitab ratusan jilid tersebut dan menulis dengan detail kitab-kitab yang berkaitan dengan hadits yang merupakan spesialisasi beliau. Sampai beliau kadang naik tangga dan memeriksa kitab-kitab yang berada di atas selama berjam-jam. Sehingga terhasilkan satu kitab daftar isi untuk kitab-kitab hadits yang masih berbentuk tulisan tangan di Maktabah Zhahiriyyah.

[Diringkas dari: “Al-Imaam Al-Albaaniy, Duruus wa Mawaaqif wa ‘Ibar” (hlm. 54-56)]

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari -rahimahullaah- berkata dalam “Ma’a Muhadditsil ‘Ashr” (hlm. 44-46):

“Sampai terkumpul (juga) bagi beliau: faedah-faedah hadits sekitar 40 (empat puluh) jilid, pada setiap jilidnya ada 400 (empat ratus) hadits yang setiap haditsnya di-takhrij dari puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kitab; baik kitab hadits, biografi, para perawi, tafsir, ‘aqidah, maupun tarikh, dan juga cabang-cabang ilmu lainnya.

Syaikh Al-Albani menamakan buah dari pekerjaan beliau ini dengan “Mu’jamul Hadiits”. Syaikh Al-Albani berkata tentang kitab (“Mu’jamul Hadiits”) ini -sebagaimana saya dengar langsung lebih dari sekali dari beliau-: “Kitab ini ibarat sungai yang saya menjadikannya sebagai sumber dari takhrij-takhrij-ku dan tulisan-tulisan-ku yang lain, serta dalam penyandaran kepada kitab-kitab dan sumber-sumber yang aku jadikan rujukan.”

Tersisa sebuah faedah yang berkaitan dengan “kertas yang hilang”:

Setelah Syaikh Al-Albani menulis “Mu’jamul Hadiits” dan setelah beliau tidak mendapatkan “kertas yang hilang” dari kitab “Dzammul Malaahii” bertahun-tahun lamanya: dengan takdir Allah, suatu hari aku (Syaikh ‘Ali) berada di Sa’udi untuk ‘Umroh -atau Haji-. Seperti biasa: aku membeli sebagian koran. Maka ada koran yang berjudul “Shahiifatul Madiinah” dan di dalamnya ada halaman tentang kitab-kitab dengan judul “Shaf-hatut Turaats”. Ternyata pada halam ini ada seorang muhaqqiq (peniliti) menemukan naskah yang lengkap dari “Dzammul Malaahii”, dan mem-foto “kertas yang hilang” tersebut, dan berkata: ‘Inilah “kertas yang hilang” dari kitab “Dzammul Malaahii” naskah Maktabah Zhahiriyyah.’!

Maka saya bawa koran ini ke Syaikh Al-Albani di perpustakaan beliau, dan saya katakan padanya: ‘Wahai guru kami, anda masih ingat kisah “kertas yang hilang”?’ Beliau menjawab: ‘Tentu.’. Saya katakan: ‘Inilah “kertas yang hilang” tersebut!!’ Maka beliau pun tertawa dan sangat senang sekali dengan hal itu.”

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix