Minggu, 07 Maret 2021

Penting untuk juga berusaha sebaik mungkin dalam hal penyajian dan redaksi, di samping substansi dan esensi.

Penting untuk juga berusaha sebaik mungkin dalam hal penyajian dan redaksi, di samping substansi dan esensi. 

* * * * * 

Syaikh Ibn ‘Utsamin berkata, “Dikisahkan bahwa ada yang seorang raja mengalami mimpi yang merisaukan. Ia bermimpi gigi-giginya copot. Ia kemudian mengumpulkan para penakwil mimpi dan mengisahkan tentang mimpi tersebut. Seorang penakwil lalu berkata, ‘Takwilnya adalah meninggalnya seluruh keluarga raja.’ Sang raja merespon dengan memerintahkan agar penakwil itu dihukum, karena dianggap telah menakutinya.” 

“Selanjutnya berdirilah penakwil kedua. Ia berkata: 

يكون الملك أطول أهله عمرا

‘Makna mimpi itu adalah, raja adalah yang paling panjang umurnya di antara keluarganya.’ Raja pun senang mendengarnya, dan memerintahkan agar penakwil itu diberikan ganjaran.” 

“Kalau kita cermati, apa yang dikatakan oleh penakwil pertama dan kedua itu memiliki esensi dan substansi yang sama. Sebab, ketika seluruh keluarga sang raja itu meninggal sebelum wafatnya sang raja, maka tentulah bisa dikatakan bahwa sang raja itu merupakan orang yang paling panjang umurnya di keluarganya. Begitu pula sebaliknya.”  
  
“Intinya, seseorang itu seharusnya memilih redaksi-redaksi yang mendekatkan orang lain kepadanya, serta menggunakan cara yang lembut semampunya.” 

Selesai kutipan dari Syaikh Ibn ‘Utsaimin, rahimahullah. [Ref.: Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatis-Syaikh Muhammad bn Shalih al-‘Utsaimin, vol. XXV, hlm. 554-555.] 

Begitu pula kalau ada yang berkata misalnya: “Istriku adalah wanita tercantik di dunia.” Ucapan ini tidak membuat orang lain yang mendengarnya menjadi tersinggung. Lain halnya kalau ia berkata: “Istri-istri kalian itu lebih jelek dibandingkan istriku.” Bisa jadi sang pembicara itu segera akan mendapat hadiah bogem mentah dari orang lain yang mendengarnya. Padahal, substansi dari kedua ucapan itu sama. Hanya penyajian dan redaksinya saja yang berbeda. 

Semisal itu pula ketika kita hendak memilih suatu produk. Kita akan melihat bungkus dan kemasannya terlebih dahulu, sebelum melihat isinya. Kalau bungkus dan kemasannya sudah tidak menarik, kemungkinan besar kita akan meninggalkan produk tersebut dan beralih ke produk lainnya, tanpa perlu merasa repot mengecek isinya. Umumnya manusia berasumsi bahwa produk yang bagus itu semestinya juga dikemas secara bagus pula. Demikian sebaliknya, kemasan yang buruk mengindikasikan kualitas isi yang juga buruk. 

Allah Ta’ala berfirman, 

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan katakanlah kepada para hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang paling hasan (baik). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” [QS al-Isra`/17: 53] 

Di dalam ayat ini, yang Allah sebutkan bukan sekadar perkataan yang BAIK, melainkan perkataan TERBAIK. 

Ketika menjelaskan ayat di atas, Ibn Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Allah Ta’ala memberi perintah kepada Rasul-Nya (shallallahu ‘alaihi wa sallam), agar beliau memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk berkata dengan kalimat thayyibah dan ucapan terbaik dalam dialog dan komunikasi mereka. Jika mereka tidak melaksanakan itu, niscaya setan akan menimbulkan permusuhan di antara mereka. Awalnya dari ucapan kemudian menjadi tindakan, sehingga terjadilah keburukan, permusuhan dan (bahkan) peperangan.” 

Allahu a’lam. Semoga bermanfaat. 

08/03/2021 
AdniKu

══ •◇ ✿ ❀ ✿ ◇• ══ 

📞 WA Group: bit.ly/faidahringkas 
📋 Telegram: t.me/faidahringkas 
🌐 Blog: adniku.blogspot.com 
📷 IG: instagram.com/adniku 
🎙 Twitter: twitter.com/adniku 
📱 FB: facebook.com/adni.ku