ALLAH BERISTIWA’ DI ATAS ARASY
Al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt merupakan tema yang kerap kali hangat (bahkan panas) diperdebatkan, khususnya di era medsos saat ini. Salah satu isunya adalah tentang “Allah beristiwa’ di atas Arasy”, benarkah Allah beristiwa’ diatas Arasy? Jika benar, yang beristiwa’ itu zat Allah atau bukan?
Takkan ada asap jikalau tak ada api, begitu pula dengan perselisihan tentang Allah beristiwa’ diatas Arasy, yang memiliki akar muakar yang rumit. Tanpa mengetahui akar tersebut, kita tidak akan benar-benar paham apa yang membuat para tokoh dahulu berdebat mengenai masalah ini, dan tentu kita tidak akan betul-betul tahu pendirian Ahlussunnah dalam masalah ini dengan baik dan benar.
Akhir-akhir ini dimunculkan lagi syubhat mengenai hal ini, bahwa Allah beristiwa’ diatas Arasy itu secara maknawi saja, hakikatnya tidak. Dalilnya, nas hanya mengatakan “Allah beristiwa’ di atas Arasy” tanpa menambah kata “dengan zat-Nya”. Dalihnya, Salaf Ahlussunnah hanya mentafwīḍ, bukan mengisbat, dan “qarinahnya adalah Salaf tidak menambah lebih dari apa yang wārid". Benarkah demikian?
1⃣ Dalam kalimat perkataan, ta‘kīd (penegasan) hanya dibuat ketika diperlukan. Tatkala sesuatu itu sudah jelas dan dirasakan tidak akan menimbulkan kekeliruan atau salah paham, maka ta‘kīd tidak diperlukan. Kata-kata “Allah di atas Arasy” sudah jelas bermaksud bahwa zat-Nya berada di atas Arasy, itulah sebabnya salaf tidak membuat penambahan “dengan zat-Nya.”
Jika ketiadaan “dengan zat-Nya” menunjukkan salaf tidak mengisbatkan Allah diatas Arasy secara hakiki, maka ternyata salaf juga tidak mengatakan bahwa Allah berkalam dengan “zat-Nya”. Apakah ini bermakna salaf tidak mengisbat sifat Kalam secara hakiki? atau, yang berkalam kepada Nabi Musa, Nabi Muhammad, dan Malaikat Jibril itu bukan zat Allah!?
2⃣ Selepas generasi salaf berlalu, banyak ulama Ahlussunnah memberi tambahan “dengan zat-Nya” sebagai penegasan untuk menolak paham sesat Muktazilah bahwa Allah tidak diatas Arsy atau paham sesat Jahmiyyah bahwa Allah ada dimana-mana. Ulama Ahlussunnah yang kali pertama menambah kata “dengan Zat-Nya” adalah Imam Abū Sa‘īd Uṡmān Ad-Dārimī Asy-Syāfi‘ī (w. 280 H) ketika membantah ide liar Bisyr Al-Marisī yang mengatakan bahwa Allah berada disegala sesuatu (semua tempat).
Setelah itu bermunculan ulama-ulama Ahlussunnah yang turut memberi tambahan “dengan zat-Nya” untuk mengingkari waham atau takwilan Asyā‘irah bahwa yang dimaksud dengan kalimat “Allah di atas Arasy” adalah ‘uluww manzilah atau ma‘nawī. Diantara mereka adalah Sa‘d bin ‘Alī Az-Zanjānī Asy-Syāfi‘ī (w. 471 H), Abul-Ḥasan Al-Karajī Asy-Syāfi‘ī (w. 532 H), Yaḥyā Al-‘Imrānī Asy-Syāfi‘ī (w. 558 H), Ibnu Ṣalāḥ Asy-Syāfi‘ī (w. 643 H), ‘Abdul-Karīm Al-Mūṣilī Asy-Syāfi‘ī (w. 651 H), dan yang lainnya. Para ulama agung mazhab Syafii ini ingin menolong umat dari pemahaman yang terpapar paham Jahmiyyah-Muktazillah, yakni Allah tidak di atas Arasy, atau yang beristiwa’ di atas Arasy itu bukan zat Allah.
3⃣ Tidak mengatakan Allah di atas Arasy “dengan zat-Nya” tidaklah bermakna menolak mengisbatkannya. Imam Aż-Żahabī Asy-Syāfi‘ī misalnya, beliau menolak penambahan kata “dengan zat-Nya” dan menganggapnya fuḍūl al-kalām, karena maknanya sudah sangat jelas tanpa penambahan kata “dengan zat-Nya”, bahkan beliau menulis kitab khusus berkenaan hal ini.
Dengan demikian, dari penjelasan ringkas ini, bisa kita ketahui dua kutub perbedaan: Ahlussunnah mengisbat “Allah di atas Arasy” dengan zat-Nya, sedangkan Ahli Kalam tidak (baik yang terang-terangan maupun yang samar-samar). [bersambung]
-----catatan:
Saya cukupkan dengan menyebut ulama dikalangan mazhab Syafii saja, agar tepat sasaran dan tak berpanjang kalam. Karena sejatinya, diluar mazhab Syafii, juga banyak ulama khalaf Ahlussunnah yang turut menambahkan kata “dengan zat-Nya”. Dan tulisan ini akan dilanjutkan apabila ada yang tidak terima, atau kepanasan hingga teko menumpahkan seluruh isinya dikolom komentar.
Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa