CARA YANG TEPAT DALAM BELAJAR ‘AQIDAH
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- berkata:
“Tidaklah seorang pun menempuh jalan penyelisihan terhadap nash-nash; melainkan dia akan dilbuat lemah oleh (bantahan atasnya yang berasal dari) dalil-dalil dan bahasa Arab.
Dan tidaklah seorang istiqamah di atas kebenaran yang berasal dari Al-Qur-an dan As-Sunnah; melainkan ia akan terbantu dengan nash-nash dan bahasa Arab.
Akan tetapi kekurangan ada pada kita (para penuntut ilmu). Saya memperhatikan selama saya mengajar, saya menemui di Universitas selama tiga puluh enam tahun mengajar, saya mengajar tingkatan S1 sampai S3: saya temui banyak dari lulusan yang lulus tapi memiliki kekurangan dalam memahami banyak masalah-masalah ‘Aqidah...
Pembelajaran zaman sekarang pada banyak pelajar hanyalah pembelajaran sebagai wawasan saja: mengambil permasalahan-permasalahan dari ujung-ujungnya saja tanpa ada pendalaman dan ketelitian/perincian dalam berbagai permasalahan. Sehingga hanya sambil lalu saja.
Tentang (pengertian) iman: i’tiqad, perkataan, dan perbuatan. Kalimat ini saja yang diulang-ulang, tanpa ada fiqih/pemahaman tentang maksud dari ahli ilmu ketika mereka menyebutkan pembahasan (tentang pengertian iman) ini: apakah ini untuk hakikat sempurna dari iman ataukah hanya asal/pondasi iman saja.
Demikian juga ketika kita menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah “bilaa kaifin” (tanpa kaifiyyat). Kita tidak faham (bahwa) makna tanpa kaifiyyat ini (maksudnya adalah bahwa sifat-sifat Allah ada kaifiyyatnya akan tetapi kita tidak mengetahuinya).
Dengan demikian, banyak kejanggalan yang bisa diberikan oleh Ahli Bid’ah kepada banyak pelajar (Ahlus Sunnah).
Adapun kalau permasalahan-permasalahan ini dipelajari dengan pembelajaran yang mendalam, dengan kembali kepada dalil-dalilnya dan mempelajarinya, serta bantuan dari perkataan para Salaf, dan tidak terburu-buru -baik dalam tulisan maupun pengajaran-: maka akan tercapai tujuan.
Ketika saya mengajar di luar (kelas), ketika mulai membahas kitab; maka sering kali saya mendengar pelajar yang berkata: “Kapan selesainya?!” Yakni: dia terburu-buru ingin menyelesaikan kitab yang dipelajari. Sebagian lagi bertanya: “Kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari kitab ini?!”...
Seharusnya engkaulah (sebagai pelajar) yang mengikuti alur waktu pembelajaran suatu kitab. Engkaulah yang mengikuti alur waktu pembelajaran suatu masalah. Ada suatu masalah yang engkau membutuhkan waktu enam bulan untuk mempelajarinya, ada yang satu bulan, ada yang sepekan, dan ada juga yang hanya semalam. Bahkan terkadang ada permasalahan yang tidak engkau fahami sama sekali sampai engkau membahasnya berbulan-bulan kemudian baru engkau faham.
Jika didapati ada ulama yang berijtihad dalam pembelajaran ini sesuai dengan yang dibahas oleh para Salaf dan para ulama muhaqqiq (peneliti) seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dan ulama-ulama kibar sebelum keduanya seperti Imam Ahmad; (maka pembahasan dari mereka lah yang kita ambil -pent).
Imam Ahmad adalah seorang imam besar, dan tidak akan mengetahui kedudukan imam ini melainkan orang yang mengenal fiqih/pemahaman beliau dalam ‘Aqidah.
Al-Khallal -rahimahullaah- menyebutkan bahwa ada seseorang yang mendatangi murid-murid Imam Ahmad dan bertanya tentang iman. Orang itu bertanya: “Apakah iman itu makhluk? Ataukah bukan makhluk?” Maka sebagian murid pergi mendatangi ‘Abdul Wahhab Al-Warraq -yang termasuk imam Ahlus Sunnah dan dipuji oleh Imam Ahmad-. Maka mereka bertanya kepadanya tentang hal ini, dan ia berkata: “Pergilah kepada Ahmad, karena sungguh, ia adalah imam dalam masalah ini.” Maka mereka pergi mendatangi Imam Ahmad dan bertanya kepada beliau; maka beliau berkata: “Ini termasuk masalah-masalah Jahm (bin Shafwan) yang jumlahnya ada tujuh puluh masalah, termasuk masalah: apakah iman makhluk ataukah bukan makhluk?”
Apa jawaban bagi orang yang bertanya: “Apakah iman makhluk ataukah bukan makhluk?” Maka ada perincian: iman itu ada dua bagian: ada yang makhluk dan ada yang bukan makhluk:
- Iman kepada Allah; nama-nama dan sifat-sifat-Nya; maka apakah sifat-sifat Allah ini makhluk? Tentu saja bukan makhluk. Iman kepada kitab-kitab Allah; maka kitab-kitab Allah bukanlah makhluk.
- Amalan hamba berupa Shalat dan Puasa; maka ini termasuk iman, dan (amalan hamba) ini adalah makhluk. Iman kepada malaikat dan rasul-rasul; maka malaikat dan rasul adalah makhluk.
Maka, Jahmiyyah mendatangkan pertanyaan ini untuk mengacaukan Ahlus Sunnah. Kalau Ahlus Sunnah menjawab: “Iman adalah makhluk.” Maka Jahmiyyah akan berkata: “Engkau beriman kepada Al-Qur-an; berarti Al-Qur-an makhluk.” Kalau Ahlus Sunnah menjawab: “Iman bukan makhluk.” Maka Jahmiyyah akan berkata: “Kalian mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk, tetapi sekarang kalian mengatakan: bukan makhluk.”
Maka dari sini kita faham cara Ahlul Bid’ah masuk mengacaukan Ahlus Sunnah melalui syubhat-syubhat ini.
Semisal ini juga: masalah (Jahmiyyah) “Al-Lafzh” (lafazh); yakni: “Lafazh-ku dengan Al-Qur-an apakah makhluk ataukah bukan makhluk?” Imam Ahmad berkata: “Tidak bisa langsung dikatakan: makhluk, dan tidak juga langsung dikatakan: bukan makhluk. Karena “Al-Lafzh” (lafazh) adalah perkataan yang masih global, bisa digunakan atas apa yang diucapkan; maka yang diucapkan, dikatakan dan didengar (Al-Qur-an) adalah Kalamullah, bukan makhluk. Tapi “Al-Lafzh” (lafazh) juga digunakan untuk pelafazhan (pengucapan); maka (perbuatan kita mengucapkan Al-Qur-an) ini adalah makhluk. Sehingga tidak bisa langsung dikatakan: lafazh-ku dengan Al-Qur-an makhluk atau bukan makhluk (harus dirinci).
Siapa yang memperingatkan dari masalah-masalah (Jahmiyyah) ini? Siapa yang memberikan arahan dalam masalah-masalah ini? Siapa yang memberikan bantahan atas Ahli Bid’ah? Jawabannya: Imam Ahmad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata bahwa kitab As-Sunnah milik Al-Khallal merupakan kitab yang paling lengkap tentang ‘Aqidah Imam Ahmad.
Siapa sekarang yang mau mempelajari kitab As-Sunnah milik Al-Khallal ini?! Kitab ini sangat penting, dan pembelajarannya butuh kepada waktu bertahun-tahun. Saya menghabiskan waktu hampir lima tahun dalam mengajarkan kitab Al-Khallal ini, sebanyak lebih dari sembilan puluh majlis.
Dan kitab Al-Khallal ini masih terus dibutuhkan untuk dipeljari. Al-Khallal sendiri -rahimahullaah- setiap selesai dari (menulis/meneliti) kitabnya ini; beliau ulang lagi dari awal dan mengulang-ulang pembelajarannya.
Dan termasuk cacat juga yang terjadi sekarang yang melahirkan syubhat-syubhat kepada para da’i dalam masalah ini adalah: banyak dari pembahas yang hanya bersandar kepada kitab-kitab mu’ashirin (orang/ulama zaman sekarang), bahkan hanya bersandar kepada pelajaran-pelajaran yang ditranskrip; padahal padanya banyak kesalahan-kesalahan yang bertumpuk-tumpuk, dari segi: salah pengucapan oleh pembicara atau tidak sengaja salah dalam pembahasannya, atau kesalahan dari pentranskrip.
Adapun kitab-kitab yang sudah diteliti yang ditulis dengan hati-hati; maka inilah yang selamat dari kesalahan-kesalahan di atas.
Maka dalam masalah-masalah ‘Aqidah: kita kembali kepada kitab-kitab Salaf. Karena masalah-masalah ini sudah selesai dibahas oleh mereka dan tidak membutuhkan kepada perkataan mu’ashirin. Karena mu’ashirin mengambil dari sumber (kitab Salaf) yang hendaknya engkau langsung merujuk kepada sumber tersebut dan engkau tidak taklid kepada mu’ashirin yang terkadang sebagian mereka spesialisasi-nya bukanlah ‘Aqidah.
Banyak dari syubhat tersebar di antara para penuntut ilmu dengan sebab orang yang mengajar bukanlah spesialisasinya dalam bidang ‘Aqidah Sifat dan Qadar, sehingga mereka terjatuh dalam beberapa kesalahan.
Jadi, Ahli Bid’ah tidak mungkin menang melawan Ahlus Sunnah. Kita pemilik kebenaran, kita kuat dengan dalil, bahasa ‘Arab, akal, panca indera, dan fithroh. Tidak ada yang kita sembunyikan, kita memiliki keberanian.”
TAMBAHAN:
Saya (Ahmad Hendrix) bertanya kepada Syaikh:
"Bagaimana mengambil faedah dari kitab-kitab ‘Aqidah karya mutaqaddimin (ulama-ulama terdahulu), karena sebagian dari kitab-kitab tersebut hanya berisi: judul-judul bab, dalil-dalil, dan perkataan-perkataan Salaf; tanpa penjelasan dan syarah dari penulisnya kecuali sedikit. Berbeda dengan kitab-kitab muta-akhkhirin (ulama belakangan) terlebih lagi mu’ashirin (ulama sekarang) [yang panjang pennjelasannya]?
Syaikh ibrahim bin 'Amir Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- menjawab:
"Iya. Tidak diragukan lagi bahwa kitab-kitab Salaf lebih didahulukan atas yang lain. Akan tetapi sebagaimana yang disebutkan oleh penanya: jika orang yang membaca kitab-kitab ini tidak faham maksud para penulis dan maksud dari dibawakannya perkataan para ulama; maka ia butuh untuk mempelajari kitab-kitab ini pada para ulama yang menjelaskan dan mensyarah kitab-kitab ini.
Dan perkataan Salaf memang sedikit; akan tetapi banyak faedah dan kekuatan materi yang tidak ada pada perkataan muta-akhkhirin.
Akan tetapi kitab-kitab muta-akhkhirin -dari Ahlus Sunnah- memiliki keistimewaan berupa: menggabungkan antara perkataan para Salaf dengan perkataan para Ulama yang men-syarah perkataan para Salaf tersebut, sehingga kitab-kitab muta-akhkhirin ini sangat berfaedah untuk para pemula dan pelajar menengah."
-diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix