Minggu, 21 Agustus 2022

Sejarah Pergeseran Aliran Teologi Imam-imam Syafi’iyyah dari Mazhab Salaf ke Asy’ariyyah* (Bagian 1)

*Sejarah Pergeseran Aliran Teologi Imam-imam Syafi’iyyah dari Mazhab Salaf ke Asy’ariyyah* (Bagian 1)

Tulisan ini saya mulai dengan sejarah masuknya ilmu kalam ke dalam Islam. Atau sejarah ilmu kalam merusak ajaran Islam. Karena ada yang menganggap bahwa ilmu kalam ini obat untuk orang yang masih kurang pemahamannya dalam memahami akidah.

Sejarah masuknya ilmu kalam ke dalam Islam ini saya kutip dari kitab Al-Khurrasaniyah karya Syekh Abdul Aziz Al-Tharifi dari sub bab berjudul, “Tarikh Intzham Ilm Al-Kalam,” sejarah terbentuknya ilmu kalam halaman 42-48.

Ilmu kalam tidak masuk ke dalam tradisi keilmuan Islam dengan tersusun rapi semua cabang-cabangnya. Dimana generasi awal menggunakan ilmu ini seperti Ma’bad Al-Juhani, Ghailan Ad-Dimasyqi, Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ibnu Karram, Bisyr Al-Marisi dan yang lainnya. Namun ia diambil sedikit demi sedikit lalu diterapkan ke dalam pembahasan tauhid.

Ma’bad, Ghailan dan Washil bin Atha’ menerapkan ilmu kalam ini dalam masalah takdir.

Dzarr bin Abdullah dan Qais Al-Mashir memasukkannya dalam pembahasan iman, lalu berakhir dengan kesimpulan irja’ atau pemahaman murji’ah.

Kemudian Washil bin Atha' dan Amr bin Ubaid memasukkannya ke dalam masalah Manzilah baina Manzilatain untuk pelaku dosa besar.

Lalu Ja’d, Jahm dan Bisyr memasukkan ilmu kalam ini ke dalam masalah sifat, dan akhirnya mereka menafikan Sifat-sifat Allah.

Mereka semua memasukkan ilmu kalam ke dalam Islam dari berbagai arah, namun dasar mereka semua sama. Hanya saja mereka belum menuliskan ilmu kalam ini sebagai dasar mereka.

Lalu setelah mereka, datang tingkatan berikutnya seperti Abu Hudzail Al-‘Allaf dab Abu Ishaq Al-Nazzham. Kajian mereka semakin meluas dalam mengambil buku-buku filsafat. Dan disinilah muncul aliran Muktazilah. Memakai dalil-dalil falsafi untuk mengkaji masalah-masalah akidah. Mereka juga belum menulis. Tingkatan ini juga muncul orang-orang seperti Bisyr bin Al-Mu’tamir, Muammar bin Ma’bad Al-Sulami dan Tsumamah bin Al-Asyras.

Madrasah ilmu kalam ini kemudian diikuti oleh para ulama seperti Abu Ja’far Al-Iskaf, Al-Jahizh, dan diikuti oleh Abu Ali Al-Jubba’i dan Abu Hisyam Al-Jubba’i. Generasi inilah yang menyusun ilmu kalam yang berserakan itu, mereka kumpulkan dari dalil-dalil falsafi dan juga perkataan para pendahulu mereka lalu disusun dan dikaji secara mendalam. Sehingga bahasannya semakin luas. Dasar mereka sama meskipun berbeda-beda dalam menggunakan ilmu kalam tersebut. Karena muktazilah ini adalah sebuah pemahaman yang ada dalam aliran Khawarij dan Rafidhah.

Awalnya mereka mempelajari ilmu kalam ini untuk mendebat orang-orang atheis dan para filosof. Setelah ilmu kalam masuk ke dalam Muktazilah dan pemahaman Muktazilah semakin kuat karena didukung oleh tiga Khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun, Al-Watsiq dan Al-Mu’tashim. Banyak yang mengikuti kajian-kajian falsafi kalami ini baik karena ingin mentahkik, mempelajari, atau karena ragu. Tujuannya satu, ingin membantah Muktazilah melalui ilmu kalam. Di antara yang melakukan ini adalah Abul Hasan Al-Asy’ari. Awalnya ia Muktazilah, terdidik oleh Abu Ali Al-Jubbai, suami dari ibunya. Abu Ali Al-Jubbai menikahi ibu Al-Asy’ari setelah ayah kandungnya meninggal. Kemudian setelah 40 tahun ia meninggalkan muktazilah dan mulai mendebatnya dengan metode ilmu kalam yang dulu ia pelajari ketika masih Muktazilah. Dan Abul Hasan Al-Asy’ari menjadi tokoh yang sangat terkenal yang keluar dari Muktazilah, karena ia membantahnya.

Muktazilah terpengaruh ilmu kalam karena mendebat orang-orang atheis dan filosof. Sedangkan Asy’ariyah terpengaruh ilmu kalam karena mendebat Muktazilah. Kedua kelompok ini mendapat keuntungan karena dapat mengalahkan lawannya masing-masing dengan ilmu kalam. Namun keduanya tidak sadar bahwa ilmu kalam juga berpengaruh besar dalam pembentukan keyakinan-keyakinan kedua aliran teologi tersebut.

Sampai disini Abul Hasan Al-Asy’ari menjadi tokoh sentral yang menggunakan metode ilmu kalam dalam perdebatan-perdebatannya dengan Muktazilah. Dimana hal ini –ilmu kalam- sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya dalam mengimani sifat-sifat Allah. Kebanyakan orang menilai jalan yang ditempuh Abul Hasan ini sama dengan metode Imam Ahmad bin Hanbal yang sesuai dengan mazhab salaf. Karena secara historis dua tokoh ini yang berani tampil melawan hegemoni Muktazilah di masanya. Dan juga karena sanjungan yang begitu tinggi dari Abul Hasan kepada Imam Ahmad dalam kitabnya Al-Ibanah.

*Fase Pergeseran Aliran Teologi Imam-imam Mazhab Syafi’i*

Abul Hasan Al-Asy’ari, menjadi tokoh yang sangat masyhur. Banyak para fuqaha dan ahli hadis yang ingin berguru padanya untuk mempelajari metodenya dalam mendebat muktazilah, dan kelompok-kelompok yang lain.

Kemudian pengikutnya semakin bertambah, hingga ilmu kalam ini disusun secara rapi, kajiannya semakin diperluas dan disebarkan berdasarkan manhaj Abul Hasan Al-Asy’ari oleh tiga tokoh besar dalam satu tingkatan yang sama di negeri Khurasan. Tiga tokoh besar tersebut adalah Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan bin Furok Al-Syafi’i yang dikenal dengan Ibnu Furok, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al-Isfirayini Al-Syafi’i, dan Abu Bakar Muhammad bin Al-Thayyib Al-Baqillani Al-Maliki.

Ketiganya mengambil mazhab Abul Hasan Al-Asy’ari melalui murid-murid Abul Hasan, diantaranya Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasyi Al-Faqih, Abul Hasan Al-Bahili, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Mujahid Al-Tha’i Al-Bashri. Al-Bahili sendiri memprivat ketiga calon imam mutakalim tersebut setiap hari jumat.

Abul Hasan Al-Asy’ari punya murid yang banyak dalam ilmu fiqh dan kalam, kebanyakannya orang-orang Khurasan. Namun mazhabnya belum tersebar secara luas seperti yang nanti dilakukan oleh ketiga imam mutakalim tersebut.

Tiga tokoh inilah yang kemudian melahirkan banyak tokoh mutakalim dan berpengaruh besar terhadap perkembangan mazhab Abul Hasan Al-Asy’ari, terutama dalam mazhab Maliki dan Syafi’i.

Tokoh pertama, Ibnu Furok Al-Syafi’i, ia menetap di Naisabur. Di antara ahli hadis yang berguru padanya, Abu Abdillah Al-Hakim penyusun kitab Al-Mustadrak, dan muridnya Al-Baihaqi, dan Abu Dzar Al-Harawi periwayat Sahih Bukhari. Selain itu ada juga nama Abul Qasim Al-Qusyairi penyusun kitab Al-Risalah, Al Qusyairi mengambil ilmu kalam juga dari Abu Ishaq Al-Isfirayini. Ia juga berguru secara tidak langsung kepada Al-Baqillani melalui buku-bukunya.

Madrasah Ahli Hadis di Khurasan awalnya belum terpengaruh dengan ilmu kalam dan menakwilkan sifat hingga datangnya Ibnu Furok dan Al-Isfirayini. Al-Baihaqi merupakan diantara imam ahli hadis yang terpengaruh dengan metode kalam Ibnu Furok. Ini bisa dilihat dalam dua kitabnya, Al-I’tiqad dan Al-Asma’ wa Al-Shifat yang sangat kental dengan pengaruh takwilan-takwilan Ibnu Furok dalam kitabnya Musykil Al-Hadits wa Bayanuhu.

Ibnu Furok ini sangat keras terhadap orang-orang yang menyelisihinya. Seperti orang-orang yang menetapkan sifat dengan cara tasybih seperti yang dilakukan oleh Al-Karramiyyah. Juga orang-orang yang menetapkan sifat dengan metode mazhab salaf. Ia membantah kitab Al-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah Al-Syafi’i.

Tokoh kedua, Abu Ishaq Al-Isfirayini Al-Naisaburi Al-Syafi’i. Ia banyak menulis kitab dalam ilmu kalam. Murid-muridnya mengikut semua ke mazhabnya. Di antaranya Abdul Qahir Al-Baghdadi Al-Naisaburi, Abu Al-Thayyib ibn Al-Baqillani, Abul Qasim Al-Isfirayini. Lalu murid Abul Qasim, Imam Al-Haramain Abul Ma’ali Al-Juwaini. Lalu murid Al-Juwaini, Abu Hamid Al-Ghazali Al-Thusi.

Madrasah Kalam Ibnu Furok dan Abu Ishaq Al-Isfirayini serta murid-muridnya semuanya di Khurasan. Adapun madrasah Abu Bakar Al-Baqillani terpusat di Baghdad.

Tokoh ketiga adalah Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki. Tokoh ini memiliki pengaruh besar terhadap imam-imam Ahlu Sunnah Ahli Hadis karena dua hal. Pertama karena bantahan-bantahannya terhadap Muktazilah, Rafidhah dan Bathiniyah serta kelompok-kelompok mutakalim yang lain. Kedua karena kepakarannya dalam ilmu hadis.

Perhatian para mutakalim terhadap ilmu hadis sangat sedikit, adapun Al-Baqillani, ia tak memiliki bandingan dalam ilmu ini. Karenanya ia memiliki pengaruh sangat besar dibanding yang lain. Tokoh yang lainnya memiliki pengaruh besar terhadap orang-orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh.

Tokoh-tokoh awal yang memasukkan Asy’ariyah ke wilayah Maghrib (maroko dan sekitarnya) mengambil ilmu kalam dari Al-Baqillani. Di antaranya, Abu Imran Al-Fasi Al-Qarawani yang merupakan murid Ibnu Abi Zaid juga, lalu Abul Hasan bin Al-Qabisi Al-Qairawani, Abu Thahir Al-Baghdadi dan Al-Husain Al-Adzri.

Di antara murid Al-Baqillani yang juga memiliki andil besar dalam penyebaran mazhab kalam asy’ari adalah Abu Dzar Al-Harawi periwayat Sahih Bukhari. Hingga disebutkan dalam Siyar A’lam, “Semua negeri di wilayah Khurasan yang dimasuki olehnya, tidak satupun tokoh yang disebut sebagai Ahlu Sunnah melainkan semuanya di atas mazhabnya.”

Disini kita bisa melihat pengaruh Al-Baqillani ke dalam dunia Islam, di timur maupun di barat. Di timur melalui Abu Dzar Al-Harawi di negeri-negeri Khurasan. Di barat melalui murid-muridnya dalam mazhab Maliki yang menjadi tokoh-tokoh awal Asy’ariyah di Maghrib.

Saking berpengaruhnya, hingga sebagian pengikutnya menyematkan pandangan-pandangan Asy’ari kepada Imam Ahmad dan mengklaim bahwa Imam Ahmad adalah seorang Asy’ari. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Al-Labban Al-Asbahani dalam risalahnya, Syarah Maqalat Al-Imam Al-Auhad Abi Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.

Pada masa inilah awal terjadinya pergeseran para fuqaha yang bermazhab Maliki dan Syafi’i yang bermazhab salaf seperti yang diyakini oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ke aliran teologi mazhab Abul Hasan Al-Asy’ari.

*Para Imam Mazhab Syafi’iyyah Memboikot Al-Baqillani*

Fase ini mulai disadari oleh para imam-imam mazhab syafi’i. Seperti yang dirasakan oleh seorang tokoh besar Mazhab Syafi’iyyah, Abu Hamid Al-Isfirayini Al-Syafi’i (bukan Abu Ishaq Al-Isfirayini salah satu dari tiga tokoh di atas). Abu Hamid sendiri sezaman dengan Al-Baqillani dan juga sama-sama berada di Baghdad.

Abu Hamid Al-Isfirayini berusaha memperingatkan kaum muslimin dari bahaya ilmu kalam yang disebarkan oleh Al-Baqillani. Karena beliau melihat Al-Baqillani tidak hanya memiliki andil besar dalam pergeseran mazhab Imam Malik yang berorientasi salaf, tapi juga dalam mazhab Imam Syafi’i.

Ketokohan Abu Hamid Al-Isfirayini dalam Mazhab Syafi’iyyah bisa dilihat dari kitabnya Al-Ta’liqah dimana Imam Nawawi menyebutnya sebagai kitab rujukan seluruh ulama syafi’iyyah, “Dan ketahuilah bahwa seluruh kitab ulama-ulama kita di Irak dan juga di Khurasan merujuk kepada kitab Ta’liqah karya Syekh Abu Hamid yang berjumlah 50 jilid, beliau mengumpulkan semua hal yang sangat berbobot yang tidak mungkin dibandingkan dengan lainnya, karena banyaknya cabang-cabang masalah yang dikumpulkan, menyebut mazhab para ulama, dalil-dalilnya dan menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Dan darinya tersebar fiqh mazhab ulama-ulama kita dari Irak.”

Abu Hamid menegur murid-muridnya agar jangan menghadiri majlis Abu Bakar Al-Baqillani. Hingga ia pernah menginterogasi salah satu muridnya, “Wahai anakku, ada kabar yang sampai padaku bahwa kamu bermajlis ke orang ini, yakni Al-Baqillani. Maka jangan sekali-sekali bermajlis padanya, karena ia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah). Mengajak orang menuju kesesatan. Jika kamu enggan mendengar, maka jangan hadiri majlisku,” murid tersebut menjawab, “Saya berlindung pada Allah dari apa yang dikatakan tentangku dan bertaubat pada-Nya. Saksikanlah bahwa saya tidak bermajlis padanya.”

Kemudian setiap hari jumat ketika beliau berjalan menuju Jami’ Al-Manshur, beliau singgah di lokasi Ribath  yang bernama Al-Zuzi yang berhadapan dengan Jami’ Al-Manshur, beliau mengucapkan pada orang-orang disitu, “Saksikanlah ucapanku bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk, ucapanku ini sama dengan yang diucapkan oleh Imam Ahmad, bukan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baqillani.”

Keresahan Ulama-ulama Syafi'iyyah terus berlanjut melihat aqidah Asy'ari sudah mulai mengambil tempat di kalangan para imam mazhab. Terutama dari silsilah murid Abu Ishaq Al-Isfirayini (salah satu dari tiga tokoh besar mutakalim) , yang melahirkan generasi berikutnya seperti Al-Juwaini dan Al-Ghazali. 

Bersambung...

Oleh: Muhammad Istiqamah, Lc.