Ulama Nahwu Menguji Ulama Fiqh
Suatu waktu, Al-Kisa’i hendak menunjukkan kepada khalayak ramai akan pentingnya ilmu Nahwu yang ia kaji selama ini. Terlebih kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Grand Qadhi waktu itu, Imam Abu Yusuf.
Tibalah waktu ketika Al-Kisa’i memutuskan untuk mendatangi Sang Khalifah di istana.
“Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda mengizinkan saya untuk menguji Abu Yusuf perilah masalah fikih?”
Khalifah tentu sangat heran dengan pertanyaan yang barusan didengarnya. Seorang ahli Nahwu berani menanyai atau menguji Grand Qadhi di bidang yang digelutinya, yaitu Fikih.
“Apakah Anda hendak menguji Abu Yusuf dalam bidang Fikih? Ini sesuatu yang aneh bagiku, bidang Anda Nahwu, sedangkan yang Anda ingin uji telah lama menggeluti bidang Fikih. Bahkan Anda pun tahu siapa Abu Yusuf ini. Beliau adalah murid terbaik dari Imam Besar Abu Hanifah. Bagaimana mungkin Anda berani seperti itu?”
“Iya, saya tahu, Tuan. Tidak menjadi masalah.”
(Di riwayat yang lain, Imam Al-Kisa’i punya keyakinan kuat: siapapun yang telah mutabahhir (berpengetahuan mendalam) di bidang Nahwu, maka ia pun akan mampu mengerti dengan sangat baik di bidang Fikih.)
“Kalau begitu, silahkan.”
Dari sinilah terjadi percakapan yang menarik antara Al-Kisa’i dan Abu Yusuf—rahimahumallah.
“Wahai Abu Yusuf, apa yang terjadi jika ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya:
أنت طالق إن دخلت الدار (menggunakan in).
Dan orang yang lain mengatakan ke istrinya:
أنت طالق أن دخلت الدار (menggunakan an).
Perempuan manakah yang terkena hukum talak/cerai?”
Abu Yusuf menjawab, “Kesemuanya tertalak, baik dengan redaksi an ataupun in.”
“Anda salah, Abu Yusuf.” Abu Yusuf tertegun dengan balasan Al-Kisa’i.
Al-Kisa’i lalu menerangkan, “Istri yang kepadanya diucapkan
أنت طالق أن دخلت (menggunakan an)
inilah yang tertalak, Karena dengan menggunakan redaksi ini, si suami berarti memberikan informasi atas kejadian yang telah lewat. Yaitu kamu tertalak, karena telah masuk rumah. An di sini disebut sebagai An Masdariyyah yang bisa menasabkan fi’il mudhori’. Maka an beserta fi’il yang dimasukinya, baik madhi atau mudhori’ bisa ditakwil menjadi mashdar, dijarkan dengan lam, sehingga menjadi
انت طالق لدخولك الدار (kamu tertalak karena memasuki rumah).
Dialah yang tertalak.”
Ia melanjutkan, “Adapun yang mengucapkan
أنت طالق إن دخلت الدار (menggunakan in)
maka in di sini adalah In Syarthiyyah, dan syarat itu akan jatuh setelah kejadian, berarti perempuannya belum memasuki rumah. Maka belum tertalak.”
Kemudian Imam Al-Kisa’i melanjutkan pertanyaan yang kedua:
“Jika ada seorang bertanya kepadamu,
أنا قاتلٌ غلامَك (dengan tanwin)
dan yang lainnya bertanya,
أنا قاتلُ غلامِك (dengan idhofah)
Manakah yang musti diadili?”
Abu Yusuf dengan tegas menjawab:
“Keduanya diadili, karena membunuh orang yang dilarang untuk dibunuh.”
“Anda salah lagi, Abu Yusuf.”
Abu Yusuf semakin dibuat bingung.
“Bagaimana saya bisa salah, Al-Kisa’i?”
“Yang mengucapkan أنا قاتلُ غلامِك (dengan idhofah), berarti ia memberikan informasi kalau ia melaporkan dirinya telah membunuh seseorang. Dan inilah yang diadili. Tapi yang mengucapkan أنا قاتلٌ (dengan tanwin), ia memiliki makna mustaqbal, masa yang belum terjadi. Seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Kahfi ولا تقولن لشيء إني فاعلٌ ذلك غدا (Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi). Jadi pembunuhan belum terjadi. Dan ini belum bisa diadili.”
Dari kejadian ini, Abu Yusuf benar-benar mendapatkan pelajaran yang luar biasa mengenai urgensi Ilmu Nahwu. Sejak itu, dia memutuskan diri untuk berguru kepada Imam Al-Kisa’i. Dan dari sini juga, Abu Yusuf mulai sadar, ternyata seseorang tidak akan mampu berfatwa sebelum ia benar-benar mengerti betul seluk-beluk Bahasa Arab, termasuk di dalamnya adalah Ilmu Nahwu.
Kisah ini diceritakan oleh guru kami Syekh Hasan Utsman hafidzahullah Sabtu kemarin saat Dars Kitab At-Tuhfah As-Saniyyah.
#copas
Ustadz fajar al fariz affandi