Al-Makmun, Al-Mu'tashim dan Al-Watsiq dari Khilafah Abbasiyyah pernah memaksa semua rakyat baik ulama, qudhot, pejabat, dan rakyat umum agar mengikuti i'tiqod muktazilah.
Pertanyaannya ketika itu kaum muslimin aqidahnya apa? Syiah? Khowarij? Murjiah? Atau bahkan asy'ariyyah?
Ternyata bukan semua. Syiah, khowarij, dan murjiah menjadi madzhab aqidah yang dijauhi dan ditahdzir semua imam. Sementara madzhab asy'ariyyah belum ada.
Jadi apa i'tiqod kaum muslimin kala itu? Sudah tentu i'tiqod mereka adalah i'tiqod atsariyyah salafiyyah. I'tiqod ini adalah i'tiqodnya Rosulullah SAW dan para sahabat. I'tiqod ini bertumpu pada kitabullah, sunnah, dan atsar dari sahabat, tabi'in dan kibar tabi'ut tabi'in.
Dalam sejarah awal tersebut tak pernah penguasa yang beri'tiqod atsariyyah salafiyyah memaksa orang yang berbeda. Semua dibebaskan memilih keyakinannya. Makanya segelintir orang yang mengikuti i'tiqod sesat itu tetap bebas dan tak ada yang ditahan. Baru ditindak oleh penguasa kalau mereka sudah menciptakan gangguan sosial dan keamanan.
Ibnu Tumart pada abad kelima hijriyyah memaksa kaum muslimin mengikuti i'tiqod asy'ariyyah dan membantai puluhan ribu kaum muslimin di Afrika.
Pertanyaannya: Apa i'tiqod kaum muslimin di Afrika kala itu? Syiah? Khowarij? Murjiah? Muktazilah?
Ternyata tidak semua. Kaum muslimin di Afrika yang bermadzhab dengan madzhab sunnah punya i'tiqod atsariyyah salafiyyah. Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnu Kholdun dalam kitab tarikhnya.
Hebatnya imam-imam astariyyah salafiyyah tetap berlaku adil dan inshof pada orang yang berbeda. Mereka tetap meriwayatkan hadits dari sebagian rawi yang beda i'tiqod dengan syarat punya sifat adil, jujur, dan dhobit. Bahkan Imam Ahmad memaafkan semua kesalahan Al-Mu'tashim yang muktazilah dan memerangi sunnah ketika menang dalam Perang 'Amuriyyah. Serta bergembira dengan kemenangan tersebut.
Kesalahan dan penyimpangan dibahas dengan kitab dan diskusi langsung. Cara ilmiah dan elegan. Dan tak ada ceritanya mereka kalah hujjah baik aqli dan naqli ketika diskusi. Maka, lucu saja ketika ada orang berkata: tak ada ceritanya atsariyyah salafiyyah menang ketika debat. Lha Imam Ahmad diskusi dikeroyok semua ulama muktazilah tak bisa dikalahkan.
Kemudian di masa belakangan muncul Ibnu Taimiyyah. Beliau adalah mujtahid, muhaqqiq dan muharrir madzhab atsariyyah salafiyyah.
Tak ada Ibnu Taimiyyah tak masalah. I'tiqod atsariyyah salafiyyah takkan terpengaruh. Karena sebelum Ibnu Taimiyyah datang i'tiqod atsariyyah salafiyyah sudah eksis selama berabad-abad dari generasi ke generasi. Bahkan sampai abad keenam hijriyyah atsariyyah salafiyyah masih menjadi madzhab mayoritas. Sementara asy'ariyyah masih menjadi madzhab minoritas sebagaimana pengakuan Ibnu Asyakir dalam Tabyin Kadzibil Muftari.
Mawarid (sumber) Ibnu Taimiyyah dalam mengambil dan menceritakan ucapan dan kenyakinan kaum salaf yang bersanad sangat besar jumlahnya. Telaah dan penelitiannya pada turots mereka sulit dihitung banyaknya. Maka, tak heran bila Ibnu Taimiyyah menjadi rujukan dan pegangan generasi atsariyyah salafiyyah belakangan dalam memahami ucapan dan keyakinan para salaf. Tahrirot Ibnu Taimiyyah jadi semacam taqyid (pengikat) dan tabyin (penjelas) buat ucapan mereka. Hal ini bisa dipahami kalau orang paham sejarah dan pembakuan madzhab fiqh di masa belakangan.
Ada orang siang malam terus mencari cara dan cela buat menjatuhkan Ibnu Taimiyyah. Saya kasihan dengan orang-orang itu. Karena makin dihujat ternyata makin gemilang nama Ibnu Taimiyyah dan makin terlihat jelas kebenaran tahrirot dan istinbatnya dalam masalah-masalah i'tiqod. Sementara musuh-musuh dan pembenci-pembencinya bertambah tampak kekurangan dan kebodohannya.
Benarlah kata Al-Mutanabbi dalam syairnya:
وإذا أتتك مذمتي من ناقص .. فهي الشهادة لي بأني كامل
Dan bila orang yang punya kekurangan datang kepadamu buat mencelaku maka hal tersebut sejatinya adalah kesaksian atas kesempurnaan diriku.
Ustadz hafidin achmad luthfie