Ketika menjelaskan ayat tentang “ulil-amri”: QS al-Nisa`/4: 59, al-Fakhr al-Razi (w. 606 H) berkata dalam tafsirnya,
وَالْعُلَمَاءُ فِي الْحَقِيقَةِ أُمَرَاءُ الْأُمَرَاءِ، فَكَانَ حَمْلُ لَفْظِ أُولِي الْأَمْرِ عَلَيْهِمْ أَوْلَى
“Para ulama pada hakikatnya adalah pemimpinnya para penguasa. Dengan demikian diksi ulil-amri lebih utama untuk ditujukan kepada mereka.”
Alasan yang ia sampaikan adalah karena tindakan penguasa (seharusnya) tergantung pada fatwa dan arahan ulama. [Lihat Mafatih al-Ghaib, vol. X, hlm. 114.]
Tentunya, sekiranya terjadi kesalahan dari penguasa maupun ulama, maka keduanya sama-sama tidak boleh ditaati. Hal ini sebagaimana hadis valid yang sangat populer, bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Tidak boleh menaati makhluk manapun dalam kemaksiatan terhadap Sang Pencipta.”
Allahu a’lam.
02/01/2021
Cak AdniKu
══ •◇ ✿ ❀ ✿ ◇• ══
📞 WA Group: bit.ly/faidahringkas
📋 Telegram: t.me/faidahringkas
🌐 Blog: adniku.blogspot.com
📷 IG: instagram.com/adniku
🎙 Twitter: twitter.com/adniku
📱 FB: facebook.com/adni.ku