Kamis, 28 Januari 2021

Sekilas Tentang Taklid

Sekilas Tentang Taklid 

Secara bahasa, taklid berasal dari ‘al-Qiladah”, yang artinya sesuatu yang digantungkan dilehernya[1]. Adapun secara istilah, Imam al-Haramain mendefinisikan, “Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa hujjah” maksudnya adalah tanpa penyebutan dalil untuk hukum tersebut. Atau, “Menerima perkataan orang lain sementara engkau tidak tahu dari mana ia mengatakannya.”[2]

Orang yang diperbolehkan taklid dan meminta fatwa adalah orang yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat ijtihad. Ia boleh taklid terhadap seorang mufti dalam fatwanya. Darinya disimpulkan dua hal:

Pertama, seorang yang jahil tidak diperbolehkan mentaklid siapa saja, akan tetapi taklid kepada seorang mufti yang terkumpul padanya syarat-syarat ijtihad.

Kedua, ia hanya boleh taklid dalam fatwanya saja, tidak boleh taklid dalam amal si mufti. Maka, jika seorang jahil melihat seorang alim mengamalkan sesuatu, tidak boleh baginya taklid kepada alim tersebut hanya karena ia mengerjakannya.[3]

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa taklid yang haram untuk diikuti dan berfatwa dengannya ada tiga:

Pertama, berpaling dari apa yang diturunkan Allah, tidak memperhatikannya, sebab mencukupkan diri dengan taklid kepada para pendahulu.

Kedua, mentaklid orang yang tidak diketahui oleh si mukallid bahwa orang tersebut layak diambil perkataannya.

Ketiga, taklid setelah tegaknya hujjah dan nampaknya bukti atas perkataan yang menyelisihi pendapat yang diambil oleh si mukallid.

Ia adalah taklid yang disepakati para salaf dan para imam yang empat –rahimahumullah– atas ketercelaan dan keharamannya. Adapun taklidnya seorang yang mengerahkan kemampuan untuk mengikuti wahyu yang diturunkan Allah, kemudian tersembunyi atasnya sebagian dari wahyu Allah itu, lalu dengan sebab itu ia taklid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka ia terpuji dan tidak tercela.[4]

[1] Al-Mu’jam al-Wasith, hal. 754

[2] Syarh al-Waraqat, Ibnu al-Firkah, hal. 369

[3] Idem, hal. 365

[4] Muqaddimah Muhaqqiq Kitab Zad al-Ma’aad, vol. 1, hal. 18, cet. Muassasah al-Risalah

www.sabilulilmi.wordpress.com
Ust resa gunarsa