Rabu, 13 Januari 2021

Hukum atas suatu perkara dibangun diatas persepsi/pemahaman seseorang terhadap permasalahan tersebut Ini kaedah yang sangat familiar di kalangan pembelajar hukum-hukum fikih.

 Kita memohon kepada Allah keikhlasan niat, kelurusan ilmu, dan kesalehan amal

الحكم على الشيء فرع عن تصوره
Hukum atas suatu perkara dibangun diatas persepsi/pemahaman seseorang terhadap permasalahan tersebut
Ini kaedah yang sangat familiar di kalangan pembelajar hukum-hukum fikih.
Semakin sempurna pemahaman, semakin detail & akurat dalam menyimpulkan hukum. Semakin global pemahaman, semakin dangkal pula kesimpulan hukum yang dihasilkan. Karena itu seorang pembelajar harus memahami konsep dasar dari suatu permasalahan sebelum menghasilkan kesimpulan hukum (ta`shil).
Apabila kesimpulan hukum dari para ulama telah ada maka perlu dipahami apakah kesimpulan itu sebagai keputusan atas suatu kasus/qodho` ataukah berupa fatwa (tafshil).
Apabila qodho` maka tidak dapat digunakan untuk kasus lain meski sekilas merupakan dua kasus yang sepadan karena qodho` berkekuatan hukum tetap dan mengikat semua pihak yang terlibat serta bersifat kasuistik, namun jika berupa fatwa maka seorang pembelajar harus memahami konsep permasalahan dg tepat agar jangan sampai menerapkan fatwa bukan pada kasus yang identik dengannya (tamtsil &Tanzil).
Inilah definisi fikih yang sering mereka ungkapkan dengan
الجمع بين المتماثلات والتفريق بن المفترقات
"Kemampuan mengodifikasikan perkara2 yang semisal dan mengklasifikasian perkara2 yang berbeda"
Menerapkan fatwa tertentu pada kasus yang tidak identik akan berakibat fatal dalam pemahaman persoalan dan persepsi hukumnya.
Bolehkah Amin Donasi Mengelola sendiri donasi yang dikumpulkannya?
Tulisan ini sebenarnya bermula dari diskusi di grup dosen STDI tentang hukum panitia mengambil daging kurban untuk diri mereka sendiri sekian tahun lalu, kemudian di grup dai sekitar 2-3 tahun yang lalu, selanjutnya muncul permasalahan semisal tentang pengelolaan sedekah nasi bungkus dan sedekah jumat.
Hampir setiap diskusi yang terjadi membangun permasalahani ini dengan hukum wakil membeli barang dari dirinya sendiri.
Menurut penulis, tittik landasan ini kurang tepat karena "transaksi dengan diri sendiri" hanya merupakan satu unsur kecil dari kerangka besar permasalahan yaitu akad dasar dan tujuan pemberi kuasa.
Ibaratnya kita ingin menggambar gajah, kita hanya memegang telinganya kemudian kita mendefinisikan gajah berdasar persepsi kita terhadap telinga gajah.
Selain itu, ketidakbsahan transaksi selalu dibangun diatas argumentasi adanya tuhmah/tuduhan konflik kepentingan pada diri pelaksana mandat/amin donasi.
Hal ini sangat tidak tepat karena membangun hukum bukan di atas bayyinah/bukti yang membatalkan akad.
Oleh karenyanya penyusun melihat pentingnya mundur ke belakang untuk meluaskan cakrawala dan sisi pandang sehingga kita dapat melihat permasalahan itu secara sempurna dan menggambarkannya dengan hukum yang lebih tepat insya Allah.
Jenis Akad & cara pelaksanaannya
Dalam kebanyakan kasus (berdasar asumsi bukan sensus), terlebih ketika kita menjadikan kondisi psikologis masyarakat Indonesia pada umumnya:
Pemberi donasi memberikan mandat sepenuhnya kepada amin dalam mengelola donasinya, yang penting ditunaikan dalam bentuk terbaik dalam pandangan amiin/penerima mandat, sehingga akad nya bersifat mutlak dalam banyak aspek & dikembalikan kepada sikap amanat penerima mandat.
Di atas kerangka besar inilah kita membangun pembahasan dalam tulisan ini.
Sangat mungkin hukumnya akan berbeda jika kerangka masalahnya berbeda dengan apa yang disebutkan di sini, semakin dirinci semakin sulit pula bagi penerima mandat & biasanya akan berujung penerima mandat enggan menerima karena memepersulit diri sendiri.
Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa bahwa donatur & pelaksana donasi melakukan akad jaiz, sewaktu-waktu donatur dapat membatalkan & pengelola juga sewaktu-waktu boleh menolak donasi.
Tidak ada keharusan atas donatur berdonasi & penerima mandat berkewajiban melaksanakan mandat dalam pandangan terbaiknya.
Istishaban bil Ashl (berdasar pertimbangan dasar muamalah ini) maka penerima mandat boleh menunaikan mandat baik dengan membeli, membuat, memesan dan semua cara yang ma`ruf dalam pandangan penerima mandat.
Karena itu, tidak tepat mengidentikkan pelaksanaan mandat hanya dapat dilakukan dengan transaksi jual beli antara wakil donatur/penerima mandat dengan dirinya sendiri.
Transaksi jual beli antara wakil donatur/penerima mandat dengan dirinya sendiri.
Konsep dasar akad jual beli terjadi antara dua orang yang berbeda.
Karena itu pada dasarnya ahli fikih melarang transaksi seseorang dengan dirinya sendiri karena rukunnya tidak lengkap.
Namun dalam konteks permasalahan yang sedang dibahas hal tersebut sangat debatable karena pada dasarnya donatur telah melimpahkan wewenang kepada pelaksana dengan akad yang dibangun di atas samah/keridhoan bukan syukh/perhitungan detail.
Dalam hal ini terjadi irisan kasus:
Penerima mandat sebagai dirinya sendiri dan penerima mandat sebagai wakil donatur.
Permasalahan ini muncul tatkala kita mentakhrij/membangun persepsi permasalahan itu sebaagai akad jual beli, meskipun pada dasarnya penerima mandat telah diperbolehkan oleh donatur melakukan transaksi apapun untuk menunaikan amanatnya.
Argumentasi diperbolehkannya penerima mandat menggunakan akad apapun berdasar keumuman kepercayaan yg diberikan. Bisa dg jual beli, memesan, ataupun mengelolanya secara mandiri selama tujuannya adalah melaksanakan mandat dengan yang terbaik.
Konflik kepentingan sebagai Tuhmah
(Celaan/keraguan atas sikap amanah pelaksana)
Kembali kepada kerangka permasalahan, akad yang biasa terjadi di masyarakat kita adalah akad jaiz.
Kaum muslimin yang melihat amanah penerima mandat dipersilakan berdonasi, penerima mandat pun boleh menolak donasi jika dirasa tdk sesuai mashlahat dirinya.
Perlu dipahami bersama bahwa perbuatan seseorang beragam maksud & tujuannya, tidak semuanya harus bersifat sosial.
Namun prinsip dasarnya donatur percaya bahwa penerima mandat akan melaksanakan amanah dalam pandangan terbaiknya. Jika terdapat sisi yang tidak dipercaya, donatur cukup menyatakan secara eksplisit semisal: jangan beli dari usahamu sendiri.
Konflik kepentingan pada dasarnya akan selalu ada, namun tidak semuanya mnjadi bukti/bayyinah yang membatalkan akad kecuali yang terbukti menodai dan merusak akad atau maksud awal dari akad.
Konflik kepentingan digunakan dalam fatwa/qodho` saddan lidzari`ah (tindakan preventif)
Tuhmah/tuduhan konflik kepentingan merupakan prinsip muamalah menurut malikiyah. Adapun syafiiyyah, mereka membangun hukum di atas dhohir akad dan tidak menjadikan niat sebagai pertimbangan keabsahan akad.
Sangat mungkin pendapat tidak sahnya jual beli penerima mandat dengan dirinya sendiri menurut syafiiyyah karena keberadaan pembeli sekaligus penjual sehingga dhohir akadnya tidak memenuhi rukun jual beli.
Namun sekali lagi, jual beli hanya satu bagian kecil dari upaya pelaksanaan amanah, adapun gambar besarnya adalah ijin tashorruf/Ijin pengelolaan yang cenderung mutlak dari donatur kepada pelaksana, sehingga pelaksana dapat memilih akad/pengelolaan yang sesuai dengan mashlahat donatur juga mashlahat dirinya (dana/tenaga/waktu/jarak/upah dsb)
Konflik kepentingan bertingkat kekuatannya, ada yang dapat diterima sebagai tuhmah namun ada pula yang tertolak:
a. Konflik kepentingan yang dsebagai pembatal karena sangat kuat
b. Disepakati bukan sebagai pembatal
c. Diperselisihkan
Dalam kerangka kasus yang sedang dibahas, yaitu mandat donatur yang relativ mutlak/bebas, apakah konflik kepentingan merupakan tuhmah/tuduhan yang kuat atau lemah?
Wallahu a`lam, penulis melihat konflik kepentingan merupakah tuhmah yang lemah karena akad awalnya adalah akad jaiz/kepercayaan yang diberikan secara mutlak.
Meski demikian bukan berarti berarti penerima mandat bebas mengambil keuntungan untuk kemashlahatan pribadinya secara mutlak. Ada rambu rambu kepatutan yang jika dilanggar akan menghilangkan sifat amanat sehingga konflik kepentingan menjadi kuat sebagai tuhmah & pembatal.
Tuduhan konflik kepentingan semakin lemah ketika penerim mandate telah memiliki unit usaha sebelum dia menerima mandat tersebut.
Rambu kepantasan yang dimaksud adalah mistliyah/ kesepadanan terhadap kehidupanya sehari hari. Baik selisih laba yang semisal , atau upah yang semisal.
Sekali lagi ditegaskan bahwa perbuatan seseorang beragam jenis dan tujuannya, tidak harus semuanya bernilai sosial. Dan itu tidak ada korelasinya dengan pahala yang diperoleh donatur.
Kaidah mitsliyah ini sangat banyak digunakan dalam beragam permasalahan fikih yang rawan konflik.
Sebagaimana kesepadanan laba/upah pada kehidupan sehari-hariannya tidak merusak sikap amanahnya di mata manusia, maka hal itu juga bukan celaan atas amanahnya dalam menunaikan mandat. Jika donatur tidak ridho dengan hal tersebut maka wajib atas donatur menyatakannya secara eksplisit, sehingga pelaksana dapat menimbang untuk menerima donasi atau menolaknya.
Jadi, seandainya pengadaan dilakukan dengan transaksi antara penerima mandat dengan dirinya sendiri (berdasar pendapat yang membolehkannya), maka rambu batas kepantasannya adalah kesepadanan yang ma`ruf dalam kehidupan sehari-hari. Melebihi itu maka konflik kepentingan menjadi tuhmah/celaan yang kuat yang menafikan sikap amanat penerima mandat.
Keberhakan pelaksana atas laba semisal atau upah semisal tidak dianggap sebagai cela atas amanatnya karena keberhakannya dari usaha yang sdh dia jalankan sebelumnya atau upah semisal atas lelahnya. Atau dapat pula berasal dari sikap ridho donatur selama dalam batas yang ma`ruf (berdasar urf/adat keseharian)
Selain itu, tujuan utama donatur bukan memeras keringat pelaksana tanpa ada mashlahat sedikitpun baginya, tujuan donatur adalah terlaksananya mandat dalam keadaan yang terbaik dalam pandangan pelaksana.
Konflik kepentingan akan selalu ada, baik berupa laba, upah, tenaga, waktu, jarak, beban dsb. Namun tidak semua konflik kepentingan menjadi cela yang menjatuhkan amanat pelaksana.
Sebagai penutup, tulisan ini dibangun di atas pemahaman penyusun terhadap kasus-kasus donasi dan karakteristik masyarakat Indonesia pada umumnya yang nyaman dengan mandate yang bersifat mutlak/bebas dalam banyak aspeknya (berdasar asumsi bukan berdasar sensus)
Perbedaan hukum sangat mungkin terjadi bilamana dibangun di atas kerangka muamalah dan syarat yang berbeda pula.
Bersikap wara` dengan tidak mengambil sedikitpun laba atau upah tentu merupakan kesempurnaan akhlak, namun ada batas-batas kepatutan yang perlu dijabarkan agar kita dapat bersikap secara proporsional baik kepada diri sendiri maupun kepada saudara kita.
Kemashlahatan masyarakat dibangun di atas kerjasama tanpa memaksakan pandangan kita kepada orang lain selama dalam batas kepatutan secara syar`I insya Allah
Sebagian nukilan dari pernyataan & kaedah di atas mudah-mudahan dapat ditelusuri di kitab-kitab berikut ini
البحر المحيط في أصول الفقه - (3 / 384)
البرهان في أصول الفقه - (1 / 419)
التمهيد في تخريج الفروع على الأصول - (1 / 322)
الفروق أو أنوار البروق في أنواء الفروق (مع الهوامش ) القرافي - (4 / 106)
المستصفى - (1 / 127)
المنثور في القواعد - الزركشي - (3 / 31)
الموافقات - (3 / 463)
الضروري في أصول الفقه - (1 / 33)
سد الذرائع وتحريم الحيل لابن القيم - (3 / 168)
كشف الأسرار عن أصول فخر الإسلام البزدوي - (2 / 104)
الدر المختار - (5 / 521)
ustadz noor ihsan silviantoro lc