Sabtu, 22 Agustus 2020

Sulṭānul-Awliyā’‘ABDUL-QĀDIR AL-JAYLĀNĪ(Akidah dan Sikapnya terhadap Asyā‘irah)

Sulṭānul-Awliyā’
‘ABDUL-QĀDIR AL-JAYLĀNĪ
(Akidah dan Sikapnya terhadap Asyā‘irah)

Al-Imām Al-‘Ārif Billāh ‘Abdul-Qādir Al-Jaylānī (w. 561 H) merupakan ulama sufi-salafi yang sangat terkenal di zamannya hingga kini, karamahnya banyak dan tidak diragukan oleh siapapun. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syamsuddīn Aż-Żahabī Asy-Syāfi‘ī (w. 748 H) dari Al-Ḥāfiẓ Syarafuddīn Abul-Ḥusayn Al-Yūnīnī (w. 701 H), yang mendengar langsung dari Sulṭānul-‘Ulamā’ ‘Izzuddīn Ibnu ‘Abdis-Salām Asy-Syāfi‘ī (w. 660 H) tentang karamah Sulṭānul-Awliyā’, berikut ini:

قال شيخنا الحافظ أبو الحسين علي بن محمد: سمعت الشيخ عبد العزيز بن عبد السلام الفقيه الشافعي يقول: ما نقلت إلينا كرامات أحد بالتواتر إلا الشيخ عبد القادر، فقيل له: هذا مع اعتقاده، فكيف هذا؟ فقال: لازم المذهب ليس بمذهب.
Mahaguru kami [Al-Ḥāfiẓ Abul-Ḥusayn ‘Alī bin Muhammad] berkata: Aku mendengar Syekh ‘Abdul-‘Azīz bin ‘Abdus-Salām Al-Faqīh Asy-Syāfi‘ī] mengatakan: “Tidak dinukilkan kepada kami karamah siapapun dengan mutawatir kecuali Syekh ‘Abdul-Qādir”. Beliau ditanya, “Ini disamping akidahnya, kok bisa begitu?”. Beliau menjawab: “Kelaziman suatu mazhab bukan mazhab itu sendiri.” [Siyar A‘lām An-Nubalā’, 20/443; dan Al-Wāfī bil-Wafayāt karya Imam Ṣalāḥuddīn Aṣ-Ṣafadī, 19/27]

Disamping berbicara tentang karamah yang dimiliki oleh Sulṭānul-Awliyā’, keterangan diatas juga memiliki pesan tersurat lainnya, yakni si penanya merasa aneh kenapa dan bagaimana Sulṭānul-Awliyā’ bisa memiliki karamah dan/ mendapat kemuliaan seperti itu, padahal Sulṭānul-Awliyā’ tidak berakidah Asy‘ariyyah sebagaimana Sulṭānul-‘Ulamā’!

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Sulṭānul-Awliyā’ bermazhab Ḥanbali dalam fikih sekaligus akidah (salafi), serta gigih mempertahankan akidah Salaf. Misalnya sifat istiwā’, Beliau menerangkan dalam Al-Gunyah li-Ṭālibī Ṭarīq Al-Ḥaq (hal. 124):

وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية، ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة، لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك، بل المنقول عنهم حمله على الإطلاق
“Dan sudah seharusnya untuk memutlakkan sifat istiwā’ (bagi Allah) tanpa takwil. Bahwasanya Zat Allah ber-istiwā’ diatas Arasy, bukan dengan makna duduk dan menyentuh Arasy sebagaimana yang telah dilontarkan oleh sekte Mujassimah dan Karrāmiyyah. Sifat istiwā’ tersebut juga bukan maknanya al-‘uluww (ketinggian) dan ar-rif‘ah (keagungan) sebagaimana telah dikatakan oleh kaum Asy‘ariyyah (aliran tafwīḍ). Bukan pula maknanya al-istīlā’ (menguasai) dan al-galabah (mengalahkan yang lain) sebagaimana yang dilontarkan sekte Muktazilah (dan Asyā‘irah aliran takwil) karena syarak tidak mendatangkan keterangan tentang hal tersebut, juga tidak terdapat keterangan satu pun dari kalangan sahabat, tabiin dari kalangan para imam salafsaleh dari para ulama ahli hadis. Bahkan yang dikutip dari mereka adalah memahami nas ayat tersebut secara mutlak”.

Dari keterangan diatas sangat jelas bahwa Sulṭānul-Awliyā’ menolak pandangan akidahnya Mujassimah, Karrāmiyyah, Muktazilah, dan Asyā‘irah, tentang sifat istiwā’. Perihal ini juga dijelaskan panjang-lebar oleh Sulṭānul-Awliyā’ dalam kitabnya yang lain, Tuḥfatul-Mutqīn wa Sabīlul-‘Ārifìn.

Bukan hanya itu, Sulṭānul-Awliyā’ juga meyakini bahwa kalam Allah dengan suara seperti keyakinan Imam Ahmad, ini bertentangan dengan keyakinan mazhab Asy‘ariyyah dan bahkan Sulṭānul-Awliyā’ membidahkannya:

وهذه الآيات والأخبار تدل على أن كلام اللّه صوت لا كصوت الآدميين، كما أن علمه وقدرته وبقية صفاته لا تشبه صفات الآدميين، كذلك صوته.
وقد نص الإمام أحمد رحمه اللّه على إثبات الصوت في رواية جماعة من الأصحاب رضوان اللّه عليهم أجمعين.
خلاف ما قلت الأشعرية من أن كلام اللّه معنى قائم بنفسه، واللّه حسيب كل مبتدع ضال مضل،
“Ayat² dan khabar² ini menunjukkan bahwa kalam Allah ‘azza wa jalla ada suara yang tidak seperti suara manusia, sebagaimana Ilmu-Nya, Kekuasaan-Nya, dan Sifat-Nya (yang lain) tidak serupa dengan sifat manusia, (maka) demikian juga Suara-Nya.
Dan sungguh nas Imam Aḥmad tentang isbat suara dalam riwayat jamaah aṣḥāb riḍwān Allah ‘alayhim ajma‘īn.
Bertentangan dengan yang dilontarkan oleh Asy‘ariyyah bahwa kalam Allah adalah makna yang berdiri sendiri, dan Allah akan menghukum setiap mubtadi‘ (pelaku bidah) yang sesat lagi menyesatkan,...” [Al-Gunyah, hal. 131]

Keterangan diatas sangat jelas menyebutkan bahwa akidah Asyā‘irah yang menyebutkan bahwa kalam Allah tanpa suara dan/ qā’im bi-nafsih itu sesat lagi menyesatkan, karena bertentangan dengan ayat² dan khabar² yang ada. Sehingga amat wajar apabila Sulṭānul-Awliyā’ menyatakan tidak ada wali Allah yang tidak berakidah seperti akidah Imam Aḥmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Ḥāfiẓ Zaynuddīn Ibnu Rajab Al-Ḥanbalī (w. 795 H) dalam Aż-Żayl ‘alā Ṭabaqāt Al-Ḥanābilah (2/200):

وذكر الشيخ أبو زكريا يحيى بن يوسف الصرصري، الشاعر المشهور، عن شيخه العارف علي بن إدريس: أنه سأل الشيخ عبد القادر، فقال: يا سيدي، هل كان للّه ولي على غير اعتقاد أحمد بن حنبل. فقال: ما كان، ولا يكون.
Disebutkan oleh Syekh Abū Zakariyyā Yaḥya bin Yūsuf Aṣ-Ṣarṣarī, seorang Penyair terkenal, dari Mahagurunya Al-‘Ārif ‘Alī bin Idrīs: bahwasanya ia bertanya kepada Syekh ‘Abdul-Qādir: “Wahai Sidi, apakah ada Wali Allah yang tidak berakidah Imam Aḥmad bin Ḥanbal?”. Maka Sulṭānul-Awliyā’ menjawab: “Tidak pernah ada dan tidak akan ada”.

Dikitab yang sama (2/202) juga disebutkan:

ونقلت من خط السيف بن المجد الحافظ: سمعت الشيخ الزاهد علي بن سلمان البغدادي، المعرف بالخباز برباطه بالجانب الغربي من بغداد، يحكي عن الشيخ عبد القادر الجيلي، وناهيك به، فإنه صاحب المكاشفات، والكرامات التي لم تنتقل لأحد من أهل عصره، أنه قال: لا يكون وليّ لله تعالى إلا على اعتقاد أحمد رضي الله عنه.
...bahwa Sulṭānul-Awliyā’ berkata: “Tidak akan ada Wali Allah taala kecuali berada diatas i‘tiqād (akidah) Imam Aḥmad raḍiyallāhu ‘anhu”.

Dengan kata lain, Sulṭānul-Awliyā’ hendak mengatakan bahwa boleh jadi ada ulama yang keilmuannya diakui umat namun tidak berakidah Imam Aḥmad, akan tetapi tidak pernah ada dan tidak akan ada yang mencapai level Wali Allah.

Demikianlah Akidah Sulṭānul-Awliyā’ dan sikapnya terhadap mazhab Asyā‘irah, agar menjadi perhatian dan renungan kita bersama. Semoga Allah merahmati para ulama yang disebutkan diatas dan mengampuni ketergelinciran para ulama yang teperdaya dengan Ilmu Kalam dalam memahami Akidah Islam, amīn.

Sekian dulu, semoga berfaedah.

Semangat Hari Raya Jumat,
Alfan Edogawa