Minggu, 25 Agustus 2019

Mengambil pendapat yg paling ringan yg tercela

MENGAMBIL PENDAPAT YANG PALING RINGAN YANG TERCELA

Para ulama telah bersepakat bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk sengaja mencari keringanan-keringanan dalam syariat dari pendapat-pendapat para ulama yang lemah. Asy-Syaikh as-Safaariniiy (w. 1188 H) dalam Lawaamiul Anwaar Bahiyyah (2/466 –pen. Muasasah al-Haafiqiin) menukil perkataan beberapa ulama terkait mencari-cari rukhsoh :

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: لَا يَجُوزُ لِلْعَامِّيِّ تَتَبُّعُ الرُّخَصَ إِجْمَاعًا. وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: لَوْ أَنَّ رَجُلًا عَمِلَ بِكُلِّ رُخْصَةٍ؛ يَعْمَلُ بِمَذْهَبِ أَهْلِ الْكُوفَةِ فِي النَّبِيذِ، وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ فِي السَّمَاعِ، وَأَهْلِ مَكَّةَ فِي الْمُتْعَةِ لَكَانَ فَاسِقًا. وَقَالَ مَعْمَرٌ: لَوْ أَنَّ رَجُلًا يَأْخُذُ بِقَوْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فِي السَّمَاعِ – يَعْنِي الْغِنَاءَ – وَإِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ، وَبَقَوْلِ أَهْلِ مَكَّةَ فِي الْمُتْعَةِ وَالصَّرْفِ، وَبَقَوْلِ أَهْلِ الْكُوفَةِ فِي الْمُسْكِرِ؛ كَانَ أَشَرَّ عِبَادِ اللَّهِ تَعَالَى. وَقَالَ سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ: لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ – أَوْ قَالَ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ – اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

"Imam Ibnu Abdil Bar berkata : ‘tidak boleh bagi orang awam mencari-cari rukhshoh, berdasarkan kesepakatan ulama’.
Imam Ahmad berkata : ‘seandainya seseorang mengerjakan semua keringanan, mengambil keringanan madzhab ahlu kufah terkait nabiidz (minuman keras dari Kurma), madzhab Madinah terkait musik, madzhab Mekkah terkait nikah mut’ah, niscaya ia adalah seorang Fasik’.
Ma’mar berkata : ‘seandainya seseorang mengambil keringanan ulama Madinah tentang musik dan berhubungan dengan istri lewat dubur, lalu mengambil pendapatnya ulama Mekkah tentang Mut’ah dan shorf, lalu berpegang dengan pendapatnya ulama Kufah tentang minuman keras, niscaya ia akan menjadi hamba Allah yang paling jelek’.
Sulaiman at-Taimiy berkata : ‘seandainya ia mengambil keringanan seluruh ulama atau –beliau berkata, semua ketergelinciran ulama - berarti ia telah mengumpulkan kejelekan seluruhnya’. -selesai-.

Suatu ketika Ismail al-Qoodhi masuk menemui kholifah pada waktu itu yang bernama al-Mu’tadhodi billah, kemudian sang kalifah menunjukkan kepadanya sebuah kitab yang berisi kumpulan keringanan-keringanan dari ketergeliciran pendapatnya para ulama, maka Ismail al-Qoodhi pun berkata kepadanya :

مصنف هذا زنديق ! فقال : ولِمَ ؟ قلت : لأن من أباح المسكر لم يبح المتعة ، ومن أباح المتعة لم يبح الغناء ، وما من عالم إلا وله زلة ، ومن أخذ بكل زلل العلماء ذهب دينه

“penulis kitab ini seorang zindik!” sang khalifah bertanya : “kok bisa?”, jawabnya : “karena ulama yang membolehkan minuman keras, tidak membolehkan nikah Mut’ah, yang membolehkan Mut’ah, tidak membolehkan musik, tidaklah seorang ulama pun, kecuali pasti memiliki ketergelinciran. Barangsiapa yang mengambil setiap ketergelinciran para ulama, maka agamanya telah hilang”. (http://www.jazan.org/vb/showthread.php?t=197382).

Asy-Syaikh Sulaiman bin Samhaan (w. 1349 H) ketika menjawab pertanyaan apa yang dimaksud dengan rukhshoh yang tercela, dimana pelaku yang mencari-cari rukhshoh ini dikatakan sebagai orang zindik, maka kesimpulan jawaban beliau dalam kitabnya Manhaj Ahlul Haq (hal. 125 –pen. Maktabah al-Furqoon) adalah sebagai berikut :

فمن أخذ بشيء من هذه المسائل التي رخّص فيها بعض العلماء من غير دليل شرعي, وقصده في ذلك اتباع ما يهواه, لا ما يحبه الله ويرضاه فقد تزندق, لما في ذلك من المسائل التي جاءت الرخصة فيها عن الشارع _عليه الصلاة والسلام_ فالأخذ برخصة الله في ذلك هو الأحب إلى الله تعالى, كما جاء في الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال:” إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تجتنب مناهيه ”  أو كما قال.
"Barangsiapa yang berpegang kepada permasalah-permasalahan yang sebagian ulama memberikan keringanan padanya tanpa dalil syar’i, dan ia mengikuti pendapat tersebut dengan hawa nafsunya, apa yang tidak disukai dan diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka itu perbuatan zindik. Namun tatkala permasalahan tersebut memang datang rukhshohnya dari syariat Nabi sholallahu alaihi wa salam, maka mengambil keringanan dari Allah adalah perbuatan yang lebih dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana datang dalam hadits dari Nabi sholallahu alaihi wa salam : “sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai untuk diambil rukhsohnya, sebagaimana Dia mencintai untuk menjauhkan diri dari apa yang dilarangnya” –selesai-.

Hadits yang dibawakan oleh asy-Syaikh diatas, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad (no. 5866 –pen. Ar Risalah) dan selainnya dari Ibnu Umar rodhiyallahu anhu secara marfu’ kepada Nabi sholallahu alaihi wa salam dengan lafadz :

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

"Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil rukhshoh-Nya, sebagaimana Dia benci untuk melakukan kemaksiatan kepada-Nya."
(dishahihkan oleh Imam Al Albani dan asy-Syaikh Syu’aib Arnauth).

Dalam riwayat Imam Ibnu Hibban dan selainnya, dengan lafadz :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يحب أن تؤتى عزائمه

"Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil rukhshoh-Nya, sebagaimana Dia menyukai juga untuk melakukan Azimah-Nya."
(dishahihkan oleh Imam Al Albani).

Abu Sa'id Neno Triyono