Jumat, 30 Agustus 2019

Apakah adanya kekurangan yg ada pada diri seseorang dalam salah satu diantara karakter golongan yg selamat lantas mengeluarkan orang tersebut dari firqotun najiyah?

1259. DAN APAKAH ADANYA KEKURANGAN (YANG ADA PADA DIRI SESEORANG) DALAM SALAH SATU DI ANTARA KARAKTER GOLONGAN YANG SELAMAT LANTAS MENGELUARKAN ORANG TERSEBUT DARI AL-FIRQATUN NAJIYAH?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-`Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya: “Apakah karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al-Firqah An-Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari Al-Firqatun An-Najiyah?”.

Maka beliau menjawab: “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, dan mu`amalah. Dalam keempat perkara inilah engkau dapati GOLONGAN YANG SELAMAT nampak ciri mereka ini begitu sangat menonjol.

Adapun dalam hal aqidah, engkau akan mendapati mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallahu `alaihi wa sallam- yaitu meyakini tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.

Adapun dalam hal ibadah, engkau akan mdapati golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga engkau tidak akan menjumpai adanya perbuatan menciptakan kebid`ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat beradab dengan adab yang paling tinggi terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah.

Sedangkan dalam hal akhlak, Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. MEREKA TAMPIL ISTIMEWA DIBANDINGKAN SELAIN MEREKA DENGAN AKHLAK YANG MULIA, seperti contohnya: mencintai kebaikan untuk kaum muslimin, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.

Dan dalam hal mu’amalah, Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- di dalam sabdanya:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Artinya: “Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka berdua”. (Riwayat Al-Bukhari no. 2079, dan Muslim no. 1532 dari Hakim bin Hizam radhiyallahu`anhu).

ADANYA KEKURANGAN PADA SEBAGIAN KARAKTER INI TIDAK LANTAS MENGELUARKAN INDIVIDU TERSEBUT DARI KEBERADAANNYA SEBAGAI BAGIAN DARI GOLONGAN YANG SELAMAT, NAMUN SETIAP TINGKATAN ORANG AKAN MENDAPATKAN BALASAN SESUAI AMAL YANG MEREKA PERBUAT. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid`ah, terkadang dengan sebab bid`ah-bid`ah yang diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat.

ADAPUN DALAM MASALAH AKHLAK DAN MU’AMALAH MAKA TIDAKLAH SESEORANG DIKELUARKAN DARI GOLONGAN YANG SELAMAT INI SEMATA-MATA KARENA KEKURANGAN DIRINYA DALAM DUA MASALAH INI, MESKIPUN HAL ITU MENYEBABKAN KEDUDUKANNYA MENJADI TURUN.

Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah Ta`ala kepada kita di dalam firman-Nya:

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

Artinya: “Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya”. (Surat Asy-SyUura: 13).

Dan Allah memberitakan bahwasanya Nabi Muhammad -shallallahu `alaihi wa sallam- lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Allah `Azza wa jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka”. (Surat Al-An`am: 159).

Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat –Ahlus Sunnah wal Jama`ah-, Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu TIDAKLAH MEMBANGKITKAN RASA DENGKI, PERMUSUHAN ATAUPUN KEBENCIAN DI ANTARA MEREKA. AKAN TETAPI MEREKA MEYAKINI BAHWASANYA MEREKA ADALAH BERSAUDARA MESKIPUN TERJADI PERSELISIHAN INI DI ANTARA MEREKA. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta. Sang imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu, sedangkan sang makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam-.

Dan terjadinya  perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak `ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam-. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun berpesan kepada para sahabatnya: “Janganlah kalian shalat `Ashar kecuali di Bani Quraizhah”. (Riwayat Al-Bukhari no. 946 dan Muslim no. 1770). Maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka pada waktu shalat `Ashar sudah hampir habis, di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat `Ashar sehingga tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu shalat. Mereka beralasan karena Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- telah bersabda: “Janganlah kalian shalat `Ashar kecuali di Bani Quraizhah”. Ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya, mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul -shallallahu `alaihi wa sallam- ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya –dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabishallallahu `alaihi wa sallam- tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. DAN HAL ITU TIDAKLAH MEMBUAT MEREKA MEMUSUHI DAN MEMBENCI SHAHABAT LAIN SEMATA-MATA KARENA PERBEDAAN MEREKA DALAM MEMAHAMI DALIL INI.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada sunnah SUPAYA MENJADI UMAT YANG BERSATU PADU DAN JANGANLAH TERJADI TAHAZZUB (TINDAKAN BERGOLONG-GOLONGAN). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya.

SAYA JUGA BERPANDANGAN BAHWASANYA AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH WAJIB UNTUK BERSATU, BAHKAN MESKIPUN MEREKA BERBEDA PENDAPAT DALAM HAL-HAL YANG MEREKA PERSELISIHKAN, SELAMA HAL ITU MEMANG DIBANGUN BERDASARKAN DALIL-DALIL MENURUT PEMAHAMAN YANG MEREKA CAPAI. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. MAKA YANG TERPENTING ADALAH TERWUJUDNYA KETERIKATAN HATI DAN KESATUAN KALIMAT. Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidaklah demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat”. (Fatawa Arkanil Islam halaman 22-26 Cetakan Dar Ats-Tsurayya, Karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-`Utsaimin).

|Abu Uwais Musaddad
|Kotaraya, Sulawesi Tengah Kamis 28 Dzulhijjah 1440 H/29 Agustus 2019 M.